“Problematika
Ilmu Sosial, Dasar Filosofi, Adopsi, Inovasi serta Solusinya”
OLEH:
SUMADI
Ilmu-ilmu sosial
Telah kita ketahui semua sumber ilmu pengetahuan
adalah philosophia (filsafat). Baik ilmu-ilmu alam mupun ilmu-ilmu
social, biladi lihat dari perkembangannya, bermula dari ilmu filsafat, dari
filsafat itu kemudian lahirlah tiga cabang ilmu pengitahuan :
- Natural sciences (ilmu-ilmu alamiyah), yang meliputi : fisika,
kimia, astronomi, biologi, botani dan lain-lain.
- Social sciences (ilmu-ilmu sosial), sosiologi,ekonomi, politik,
antropologi, sejarah, psikologi, geografi dan lain-lain.
- Humanitas,(ilmu-ilmu budaya) meliputi: bahasa, agama,
kesusastraan, kesenian, da lain-lain.
- Ilmu social dasar
Ilmu Sosial Dasar (ISD) adalah suatu program peljaran
baru yang dikembangkan di perguruan tinggi. Pengembangan Ilmu Sosial Dasar ini
sejalan dengan relisasi perkembangan ide dan pembaruan system pendidikan yang
bersifat dinamis dan inovatif. Ilmu-ilmu Sosial Dasar (ISD) ini dipergunakan
dalam pendekatan sekaligus sebagai sarana jalan keluar untuk mencari pemecahan
masalah sosial yang berkembang dalam kehidupan masyarakat.
Melalui
penelaan dan pendalaman Subject-oriented.tersebut, proses pendalaman bidang-
bidang ilmu menuju spesialisasi keahlian telah berlangsung. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa antara ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu sosial dasar
(ISD) tidak terdapat perbedaan yang prinsipil sepanjang menyangkut konsep dasar
atau pengetahuan dasar ilmu-ilmu sosial. Perbedaan itu terjadi pada pendekatan
bidang studinya saja. Ilmu-ilmu sosial dasar bersumber pada konsep dasr
ilmu-ilmu sosial yang terintegrasi. ISD dipergunakan mencari pemecahan masalah
kemasyarakat melalui pendekatan interdisipliner maupun multidisipliner
ilmu-ilmu sosial. Di pihak lain, pengantar-pengantar ilmu-ilmu sosial disajikan
secara teoritis, yang menyangkut ruang lingkup, metode dan sistematisasinya.
Latar
belakang Ilmu Sosial Dasar (ISD) dimulai sejak terjadinya kritik-kritik yang
ditunjukkan pada system pendidikan di perguruan tinggi oleh sejumlah
cendikiawan, terutama sarjana pendidikan sosial dan kebudayaan. Mereka
menganggap system pendidikan yang tengah berlangsung saat itu berbau colonial.
Selain itu, masih merupakan warisan pendidiakn pemerintah Belanda, yaitu
kelanjutan dari politik balas budi yang dianjurkan oleh Conrad Theodore Van
Deventer, untuk menghasilkan tenaga terampil tukang-tukang yang mengisi
birokrasi mereka dibidang adminstrasi, pedagang, tehnik dan keahlian lain
mengeksploitasi kekayaan Negara. Padahal tenaga ahli yang dihasilkan oleh
perguruan tinggi diharapkan memiliki tiga jenis kemampuan yang meliputi
personal, akademik dan professional.
RUANG LINGKUP PEMBAHASAN
Berpangkal
pada tujuan di atas, ada dua masalah yang dapat dipakai sebagai bahan
pertimbangan untuk menetukkan ruang lingkup pembahasan mata kuliah ilmu sosial
dasar, yaitu :
a.
ada berbagai aspek pada kenyataan yang merupakan suatu masalah sosial.
Biasanya, masalah sosial dapat ditangggapi dengan pendekataan yang berbeda-beda
oleh bidang- bidang pengetahuna keahlian yang berbeda-beda pula, baik sebagai
pendekatan tersendiri, mapupun gabungan (antar bidang).
b.
Adanya berbagai golongan dan kesatuan sosial dalam masyarakat yang
masing-masing mempunyai kepentingan kebutuhan serta pola-pola pemikiran dan
pola-pola tingkah laku sendiri, tetapi memilki banyak persamaan kepentingan
kebutuhan serta persamaaan dalam pola-pola pemikran dan tingkah laku yang
menyebabkanadanya pertentangan maupun hubungan-hubungan setia kawan dan kerja
sama dalam masyarakat itu.
Masalah
sosial yang dihadapi oleh setiap masyarakat manusia tidaklah sama antara yang
satu satu dan yang lainnya. Hal itu disebabakan perbedaan tinkat perkembangan
kebudayaan dan masyarakatnya, serta keadaan lingkungan alamnya tempat
masyarakat itu hidup, masalah tersebut dapat terwujud sebagai masalah social,
moral, politik, ekonomi, agama ataupun masalah lainnya.
Yang
membedakan masalah sosial dari masalah lainnya adalah masalah sosial selalu
berkaitan dengan nilai-nilai moral dan pranata sosial, serta selalu berkaitan
dengan hubungan manusia dan dengan konteks-konteks normatif tempat hubungan
manusia terwujud.
Dengan
demikian, suatu masalah sosial ini terutama di tekankan pada adanya kondisi
atau keadaan tertentu dalam kehidupan sosial waraga masyarakat yang
bersangkutan. Kondisi atau keadaan sosial tertentu sebenarnya merupakan hasil
dari proses kehidupan manusia yang berusaha untuk memenuhi kebutuhan
jasmaninnya, kebutuhan-kebutuhan sosial dan kebutuhan-kebutuhan kejiwaan. Dalam
usaha untuk pemenuhan kebutuhan tersebut, manusia menggunakan kebudayaan
sebagai model petunjuk dalam menggunakan lingkungan alam dan sosial masyarakat.
Masalah-masalah sosial dan kajian dalam ilmu sosial
dasar
Dalam
kata masalah itu sendiri memiliki suatu definisi yaitu suatu soal yang harus
diselesaikan,dalam masalah sosial diartikan bahwa masalah sosial yang
terjadi di masyarakat dapat berdampak ke sebagian mayarkat dan di situasi dan
kondisi seperti itu dapat diatasi dengan kebersamaan
Contoh-contoh
masalah sosial yang ada dimasyarkat khusunya di Indonesia.
Kemiskinan
Kemiskinan
adalah dimana ketidak mampuan dalam mencapai sesuatu yg diharapkan.dalam
kemiskinan itu sendiri mempunyai faktor-faktor yang mempengaruhi sperti;
tingkat pendidikan dan pekerjan yang semakin sedikit, dalam pekerjaan itu
sendiri sekarang mempunyai standar untuk diterima sebagai karyawan
dan adanya kontrak pegawai.
Pendidikan
Di
Indonesia dengan pendidikan yang kurang merata banyak sekali anak yang berhenti
sekolah bahkan ada yg belum pernah mengenyam pendidikan, sedangkan pendidikan
sangat berarti bagi kelanjutan hidup. Pemerintah memberikan anggaran dana untuk
sekolah namun dalam beberapa fakta masih banyak anak yg beum bisa mengenyam
pendidikan
Kejahatan
Indonesia
dalam presenatse kejahatan cukup tinggi apalai di kota-kota besar, kejahatan
ini biasanya bermotifkan ekonomi, kejahatan itu sendiri memiliki pelaku yang
dari orang yg tidak terpelajar dan terpelajar.
Penganguran
Pengangguran
adalah ketidak mampuan bersaing dalam dunia kerja, dan ini menjadi
masalah serius untuk di beberapa negara berkembang. Biasanya penganguran
bertambah tapi tempat kerja tetap bahkan berkurang, dan penduduk yang dari desa
memadati ibu kota berharap mendapat kerja yang layak.
Keadilan
Keadilan
adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik
menyangkut benda atau orang. Menurut sebagian besar teori, keadilan memiliki
tingkat kepentingan yang besar. John Rawls, filsuf Amerika Serikat yang
dianggap salah satu filsuf politik terkemuka abad ke-20, menyatakan bahwa
“Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari institusi sosial, sebagaimana
halnya kebenaran pada sistem pemikiran” . Tapi, menurut kebanyakan teori juga,
keadilan belum lagi tercapai: “Kita tidak hidup di dunia yang adil”. Kebanyakan
orang percaya bahwa ketidakadilan harus dilawan dan dihukum, dan banyak gerakan
sosial dan politis di seluruh dunia yang berjuang menegakkan keadilan.
Definisi-definisi
beberapa istilah umum dalam Ilmu Sosial Dasar
a) Paradigma
Kumpulan
tata nilai yang membentuk pola pikir seseorang sebagai titik tolak pandangannya
sehingga akan membentuk citra subjektif seseorang mengenai realita dan akhirnya
menentukan bagaimana sesorang menanggapi realita tersebut.
Contoh:
Fanatisme
akan sebuah kelompok
b) Teori
Sebuah
sistem konsep abstrak yang mengindikasikan adanya hubungan diantara
konsep-konsep tersebut yang membantu seseorang untuk memahanmi sebuah fenomena.
Contoh:
Teori Fungsionalis ( Functionalist
Theory )
Konsep
yang berkembang dari teori ini adalah cultural lag (kesenjangan budaya).
Konsep ini mendukung Teori Fungsionalis untuk menjelaskan bahwa perubahan
sosial tidak lepas dari hubungan antara unsur-unsur kebudayaan dalam
masyarakat. Menurut teori ini, beberapa unsur kebudayaan bisa saja berubah
dengan sangat cepat sementara unsur yang lainnya tidak dapat mengikuti
kecepatan perubahan unsur tersebut. Maka, yang terjadi adalah ketertinggalan
unsur yang berubah secara perlahan tersebut. Ketertinggalan ini menyebabkan
kesenjangan sosial atau cultural lag .
c) Konsep
Merupakan
penyusun utama dalam pembentukkan pengetahuan ilmiah dan filsafat pemikiran
manusia.
Contoh:
Konsep
UUD yang bertahan sampai saat ini.
d) Prinsip
Kebenaran
yang menjadi pokok dasar berfikir dan bertindak.
Contoh:Prinsip
ekonomi dorongan atau alasan seseorang melakukan tindakan ekonomi dengan tujuan
mendapatkan sesuatu
e) Fakta
Suatu
informasi yang bersifat nyata atau benar-benar terjadi,Fakta selalu disertai
dengan bukti yang mendukung kebenarannya.
Contoh:
Fakta
bahwa Aldof Hitler adalah pemimpin NAZI
f) Hipotesis
Jawaban
sementara terhadap masalah yang masih bersifat praduga karena masih harus
dibuktikan kebenarannya.
Contoh:
Hipotesis
sering sekali digunakan pada saat melakukan penelitian Ilmiah yang memuat
dugaan-dugaan yang kita sangka pada sebuah penelitian.
g) Postulat
Pernyataan
yang disepakati benar tanpa perlu adanya pembuktian kebenaran.
Contoh:
Manusia
sebagai makhluk sangat membutuhkan oxygen
h) Persepsi
Sebuah
proses saat individu mengatur dan menginterpretasikan kesan-kesan sensoris
mereka guna memberikan arti bagi lingkungan mereka.
Contoh:
Persepsi
manusia mengenai surga dan neraka
i) Sistem
- Suatu kesatuan yang terdiri
dari komponen atau elemen yang dihubungkan bersama untuk memudahkan aliran
informasi,materi atau energi
- Kesatuan bagian-bagian yang
saling berhubungan yang berada dalam suatu wilayah serta memiliki
item-item penggerak
Contoh:
Negara
merupakan sebuah sistem yang harus memiliki sekurang-kurangnya 3 komponen
utama,yaitu: pemerintah yang berdaulat,wilayah yang dikuasai serta penduduk
yang mendiami wilayahtersebut.
j)
Ratifikasi
Ratifikasi
adalah proses adopsi perjanjian internasional, atau konstitusi atau dokumen
yang bersifat nasional lainnya (seperti amandemen terhadap konstitusi) melalui
persetujuan dari tiap entitas kecil di dalam bagiannya.
Contoh:
Ratifikasi
Indonesia mengenai statuta Roma yang memuat dasar-dasar hukum internasional
Beberapa Masalah Sosial Penting
*Kemiskinan,
yaitu suatu keadaan seseorang tidak sanggup memelihara
dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu
memanfaatkan tenaga mental ataupun fisiknya dalam kelompok tersebut.
*Kejahatan,
terbentuk melalui proses imitasi pelaksanaan peran sosial, diferensiasi,
identifikasi dan kekecewaan yang agresif.
*Disorganisasi
Keluarga, yaitu keretakan hubungan keluarga karena anggota-anggotanya gagal
memenuhi kewajiban-kewajiban yang sesuai dengan peranan sosialnya.
*Peperangan,
yaitu bentuk pertentangan dahsyat sehingga merugikan dan menimbulkan disorganisasi
baik di negara yang menang maupun di pihak yang kalah.
Mengapa masalah laten sosial bisa terjadi ?
Hal ini disebabkan adanya ketidak sesuaian tindakan dengan norma dan nilai yang berlaku di dalam msayarakat tersebut namun di anggap sebagai masalah yang biasa-biasa saja sehingga menjadi sebuah kebisaan yang berakar menjadi budaya dan dalam jangka waktu yang lama.
Lalubagaimanasolusinya?
Hal ini memerlukan kesabaran untuk memecahkan permasalahan ini dengan berbagai tahapan, karena jika langsung mengkritik dan mendobrak terhadap masalah tersebut, masyarakat sekitarpun tidak akan terima, tahapan berikut menurut saya yang harus dilakukan adalah
:
1. Tahap pendekatan masalah.
1. Tahap pendekatan masalah.
Dalam kasus ini kita tidak harus tergesa gesa atau
mengambil keputusan dengan cepat, tetapi terlebih dahulu kita melakukan
pendekatan secara langsung pada masalah atau masyarakat sekitar yang banyak melakukan
penyimpangan
.
2. Tahap pengenalan pengenalan masalah.
2. Tahap pengenalan pengenalan masalah.
Setelah kita melakukan pendekatan secara bertahap dan
teratur, langkah selanjutnya kita uji masalah-masalah yang ada dilingkungan
sekitar. Kita cari apa sebab dari kasus-kasus yang ada dimasyarakat.
3. Tahap penyuluhan.
setelah kita mengetahui apa sebab sebab dari masalah
yang ada pada masyarakat, baru kita melakukan penyuluhan tentang problem laten
social tersebut.
4. Pemberian solusi misalkan dengan membuat peraturan dan perundangan.
Langkah terakhir setelah kita melakukan ketiga point
diatas adalah dengan memberikan solusi solusi dari setiap masalah yang ada
dissekitar ( lingkungan masyarakat ). Salah satu dari solusi menangani laten
social problem adalah dengan membuat dan mentaati nilai dan norma yang ada
dimasyarakat.
Adopsi, dalam proses penyuluhan (pertanian), pada
hakekatnya dapat diartikan sebagai proses penerimaan inovasi dan atau perubahan
perilaku baik yang berupa: pengetahuan (cognitive), sikap (affective), maupun
ketrampilan (psycho-motoric) pada diri seseorang setelah menerima
"inovasi" yang disampaikan penyuluh oleh masyarakat sasarannya.
Penerimaan di sini mengandung arti tidak sekadar "tahu", tetapi sampai benar-benar dapat melaksanakan atau menerap-kannya dengan benar serta menghayatinya dalam kehidupan dan usahataninya. Penerimaan inovasi tersebut, biasanya dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung oleh orang lain, sebagai cerminan dari adanya perubahan: sikap, pengeta-huan, dan atau ketrampilannya.
Pengertian adopsi sering rancu dengan "adaptasi" yang berarti penyesuaian. Di dalam proses adopsi, dapat juga berlangsung proses penyesuaian, tetapi adaptasi itu sendiri lebih merupakan proses yang berlangsung secara alami untuk melakukan penyesuaian terhadap kondisi lingkungan. Sedang adopsi, benar-benar merupakan proses penerimaan sesuatu yang "baru" (inovasi), yaitu menerima sesuatu yang "baru" yang ditawarkan dan diupayakan oleh pihak lain (penyuluh).
Penerimaan di sini mengandung arti tidak sekadar "tahu", tetapi sampai benar-benar dapat melaksanakan atau menerap-kannya dengan benar serta menghayatinya dalam kehidupan dan usahataninya. Penerimaan inovasi tersebut, biasanya dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung oleh orang lain, sebagai cerminan dari adanya perubahan: sikap, pengeta-huan, dan atau ketrampilannya.
Pengertian adopsi sering rancu dengan "adaptasi" yang berarti penyesuaian. Di dalam proses adopsi, dapat juga berlangsung proses penyesuaian, tetapi adaptasi itu sendiri lebih merupakan proses yang berlangsung secara alami untuk melakukan penyesuaian terhadap kondisi lingkungan. Sedang adopsi, benar-benar merupakan proses penerimaan sesuatu yang "baru" (inovasi), yaitu menerima sesuatu yang "baru" yang ditawarkan dan diupayakan oleh pihak lain (penyuluh).
Masalah
sosial dalam kalangan remaja merupakan fenomena yang semakin membimbangkan kita
pada hari ini. Masalah seperti penagihan dadah, salah laku pelajar, pergaulan
bebas dan sebagainya semakin berleluasa dan kian meningkat. terdapat banyak
faktor yang menyebabkan berlakunya masalah sosial dalam kalangan remaja ini.
Salah
satu daripanya ialah krisis keluarga yang menyebabkan kwalan sosial ke atas
anak-anak diabaikan. Ibu bapa yang sering bertengkar sudah pasti tidak dapat
mengasuh dan mendidik anak-anak mereka dengan baik dan sempurna. Keadaan ini
bertambah buruk apabila ada dalam kalangan ibu bapa yang sibuk dengan tugas
mereka di pejabat sehingga mengabaikan tanggungjawab mereka untuk mengawasi
tingkah laku anak-anak mereka. Akibatnya, terdapat anak-anak yang melarikan
diri daripada rumah, bergaul dengan rakan-rakan yang tidak sepatutnya dan
dari situlah bermulanya segala masalah sosial yang disebut di atas.
Di
samping ibu bapa, masalah ini juga berpunca daripada pengaruh media massa.
Dalam zaman teknologi yang berkembang pesat ini, para remaja mudah terdedah
kepada pelbagai pengaruh yang negatif melalui internet dan banyak saluran yang
laim sehingga minda mereka mudah diracuni oleh unsur-unsur yang kurang sihat.
Di sampin itu, tuntutan modenisasi yang turut memberikan tekanan kepada remaja
yang inginkan kebebasan untuk lepas daripada kongkongan ibu bapa dan menuntut
hak individu juga memyebabkan remaja menolak autoriti ibu bapa yang mengawal
tingkah laku mereka.
Masalah sosial ini juga berkait rapat dengan kemerosotan disiplin di
sekolah. Disebabkan ada segelintir pihak sekolah yang tidak mengenakan hukuman
yang tegas terhadap pelajar-pelajar yang melanggar disiplin, maka mereka ini
akan berani untuk melakukan perbuatan yang sama. Tabiat buruk ini akan dibawa
oleh mereka apabila meninggalkan bangku persekolahan kelak. Hal ini sudah tentu
akan memberikan persepsi yang negatif oleh masyarakat terhadap mereka dan juga
menyukarkan proses kemasukan ke pendidikan tinggi serta alam pekerjaan
memandangkan testimoni pelajar oleh pihak sekolah bersifat negatif.
Untuk mengurangkan masalah sosial ini, ibu bapa haruslah mendidik dan
menerapkan nilai-nilai murni serta ajaran-ajaran agama yang sempurna kepada
anak-anak supaya mereka menjadi remaja yang bermoral dan berakhlak mulia. Ibu
bapa perlu memahami masalah anak-anak mereka dan menjadikan anak mereka sebagai
kawan dan bukannya lawan. Selain itu, ahli keluarga yang lain seperti abang dan
kakak juga berperanan dalam memastikan adik-beradik dipantau dengan sempurna.
Di peringkat sekolah pula, para guru amat berperanan dalam mengawal pelajar
mereka daripada melakukan gejala sosial. Sikap lepas tangan sesetengah guru
seharusnya tidak dicontohi kerana pelajar merupakan tanggungjawab mereka ketika
berada di sekolah. Para guru juga harus peka dan sentiasa terbuka kepada
mendengar masalah pelajar serta menasihati mereka secara baik. Di samping itu,
disiplin di sekolah juga perlu dipertingkatkan. Hubungan erat antara ibu bapa
dan guru perlu dipertingkatan supaya ibu bapa sentiasa mendapat maklum balas
daripada guru yang mengajar anak-anak mereka. Pihak sekolah juga seharusnya
memperhebatkan Unit Kaunseling untuk membantu pelajar-pelajar yang bermasalah
supaya mereka tidak berasa terpinggir.
Kesimpulannya, untuk membendung masalah sosial ini daripada terus menular,
pihak-pihak yang terlibat harus berganding bahu dan memainkan peranan
masing-masing. Jika semua pihak dapat mengemblengkan usaha dalam mengatasi
masalah sosial dalam kalangan remaja ini, sudah pasti masalah ini dapat
diselesaikan sehingga ke pakar umbi.
PENGERTIAN TENTANG INOVASI
Inti dari seiap upaya pembangunan yang disampaikan melalui kegiatan penyuluhan, pada dasarnya ditujukan untuk tercapainya perubahan-perubahan perilaku masyarakat demi terwujudnya perbaikan mutu hidup yang mencakup banyak aspek, baik: ekonomi, sosial, budaya, ideologi, politik maupun pertahanan dan keamanan.
Karena itu, pesan-pesan pembangunan yang disuluhkan haruslah mampu mendorong atau mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan yang memiliki sifat "pembaharuan" yang biasa disebut dengan istilah "inovativensess".
Rogers dan Shoemaker (1971) mengartikan inovasi sebagai: ide-ide baru, praktek-praktek baru, atau obyek-obyek yang dapat dirasakan sebagai sesuatu yang baru oleh individu atau masyarakat sasaran penyuluhan. Sedang Lionberger dan Gwin (1982) mengartikan inovasi tidak sekadar sebagai sesuatu yang baru, tetapi lebih luas dari itu, yakni sesuatu yang dinilai baru atau dapat mendorong terjadinya pembaharuan dalam masyarakat atau pada lokalitas tertentu.
Pengertian "baru" disini, mengandung makna bukan sekadar "baru diketahui" oleh pikiran (cognitive), akan tetapi juga baru karena belum dapat diterima secara luas oleh seluruh warga masyarakat dalam arti sikap (attitude), dan juga baru dalam pengertian belum diterima dan dilaksanakan/diterapkan oleh seluruh warga masyarakat setempat.
Pengertian inovasi tidak hanya terbatas pada benda atau barang hasil produksi saja, tetapi mencakup: ideologi, kepercayaan, sikap hidup, informasi, perilaku, atau gerakan-gerakan menuju kepada proses perubahan di dalam segala bentuk tata kehidupan masyarakat. Dengan demikian, pengertian inovasi dapat semakin diperluas menjadi:
"Sesuatu ide, produk, informasi teknologi,kelembagaan, peri-laku, nilai-nilai, dan praktek-praktek baru yang belum banyak diketahui, diterima, dan digunakan/diterapkan/dilaksanakan oleh sebagian besar warga masyarakat dalam suatu lokalitas tertentu, yang dapat digunakan atau mendorong terjadinya perubahan-perubahan di segala aspek kehidupan masyarakat demi selalu terwujudnya perbaikan-perbaikaan mutu hidup setiap individu dan seluruh warga masyarakat yang ber-sangkutan". (Mardikanto, 1988)".
Pengertian "baru" yang melekat pada istilah inovasi tersebut bukan selalu berarti baru diciptakan, tetapi dapat berupa sesuatu yang sudah "lama" dikenal, diterima, atau digunakan/diterapkan oleh masyarakat di luar sistem sosial yang menganggapnya sebagai sesuatu yang masih "baru".
Pengertian “baru” juga tidak selalu harus datang dari luar, tetapi dapat berupa teknologi setempat (indegenuous technol-ogy) atau kebiasaan setempat (kearifan tradisional) yang sudah lama ditinggalkan
PENGERTIAN ADOPSI
Adopsi, dalam proses penyuluhan (pertanian), pada hakekatnya dapat diartikan sebagai proses penerimaan inovasi dan atau perubahan perilaku baik yang berupa: pengetahuan (cognitive), sikap (affective), maupun ketrampilan (psycho-motoric) pada diri seseorang setelah menerima "inovasi" yang disampaikan penyuluh oleh masyarakat sasarannya.
Penerimaan di sini mengandung arti tidak sekadar "tahu", tetapi sampai benar-benar dapat melaksanakan atau menerap-kannya dengan benar serta menghayatinya dalam kehidupan dan usahataninya. Penerimaan inovasi tersebut, biasanya dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung oleh orang lain, sebagai cerminan dari adanya perubahan: sikap, pengeta-huan, dan atau ketrampilannya.
Pengertian adopsi sering rancu dengan "adaptasi" yang berarti penyesuaian. Di dalam proses adopsi, dapat juga berlangsung proses penyesuaian, tetapi adaptasi itu sendiri lebih merupakan proses yang berlangsung secara alami untuk melakukan penyesuaian terhadap kondisi lingkungan. Sedang adopsi, benar-benar merupakan proses penerimaan sesuatu yang "baru" (inovasi), yaitu menerima sesuatu yang "baru" yang ditawarkan dan diupayakan oleh pihak lain (penyuluh).
Inti dari seiap upaya pembangunan yang disampaikan melalui kegiatan penyuluhan, pada dasarnya ditujukan untuk tercapainya perubahan-perubahan perilaku masyarakat demi terwujudnya perbaikan mutu hidup yang mencakup banyak aspek, baik: ekonomi, sosial, budaya, ideologi, politik maupun pertahanan dan keamanan.
Karena itu, pesan-pesan pembangunan yang disuluhkan haruslah mampu mendorong atau mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan yang memiliki sifat "pembaharuan" yang biasa disebut dengan istilah "inovativensess".
Rogers dan Shoemaker (1971) mengartikan inovasi sebagai: ide-ide baru, praktek-praktek baru, atau obyek-obyek yang dapat dirasakan sebagai sesuatu yang baru oleh individu atau masyarakat sasaran penyuluhan. Sedang Lionberger dan Gwin (1982) mengartikan inovasi tidak sekadar sebagai sesuatu yang baru, tetapi lebih luas dari itu, yakni sesuatu yang dinilai baru atau dapat mendorong terjadinya pembaharuan dalam masyarakat atau pada lokalitas tertentu.
Pengertian "baru" disini, mengandung makna bukan sekadar "baru diketahui" oleh pikiran (cognitive), akan tetapi juga baru karena belum dapat diterima secara luas oleh seluruh warga masyarakat dalam arti sikap (attitude), dan juga baru dalam pengertian belum diterima dan dilaksanakan/diterapkan oleh seluruh warga masyarakat setempat.
Pengertian inovasi tidak hanya terbatas pada benda atau barang hasil produksi saja, tetapi mencakup: ideologi, kepercayaan, sikap hidup, informasi, perilaku, atau gerakan-gerakan menuju kepada proses perubahan di dalam segala bentuk tata kehidupan masyarakat. Dengan demikian, pengertian inovasi dapat semakin diperluas menjadi:
"Sesuatu ide, produk, informasi teknologi,kelembagaan, peri-laku, nilai-nilai, dan praktek-praktek baru yang belum banyak diketahui, diterima, dan digunakan/diterapkan/dilaksanakan oleh sebagian besar warga masyarakat dalam suatu lokalitas tertentu, yang dapat digunakan atau mendorong terjadinya perubahan-perubahan di segala aspek kehidupan masyarakat demi selalu terwujudnya perbaikan-perbaikaan mutu hidup setiap individu dan seluruh warga masyarakat yang ber-sangkutan". (Mardikanto, 1988)".
Pengertian "baru" yang melekat pada istilah inovasi tersebut bukan selalu berarti baru diciptakan, tetapi dapat berupa sesuatu yang sudah "lama" dikenal, diterima, atau digunakan/diterapkan oleh masyarakat di luar sistem sosial yang menganggapnya sebagai sesuatu yang masih "baru".
Pengertian “baru” juga tidak selalu harus datang dari luar, tetapi dapat berupa teknologi setempat (indegenuous technol-ogy) atau kebiasaan setempat (kearifan tradisional) yang sudah lama ditinggalkan
PENGERTIAN ADOPSI
Adopsi, dalam proses penyuluhan (pertanian), pada hakekatnya dapat diartikan sebagai proses penerimaan inovasi dan atau perubahan perilaku baik yang berupa: pengetahuan (cognitive), sikap (affective), maupun ketrampilan (psycho-motoric) pada diri seseorang setelah menerima "inovasi" yang disampaikan penyuluh oleh masyarakat sasarannya.
Penerimaan di sini mengandung arti tidak sekadar "tahu", tetapi sampai benar-benar dapat melaksanakan atau menerap-kannya dengan benar serta menghayatinya dalam kehidupan dan usahataninya. Penerimaan inovasi tersebut, biasanya dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung oleh orang lain, sebagai cerminan dari adanya perubahan: sikap, pengeta-huan, dan atau ketrampilannya.
Pengertian adopsi sering rancu dengan "adaptasi" yang berarti penyesuaian. Di dalam proses adopsi, dapat juga berlangsung proses penyesuaian, tetapi adaptasi itu sendiri lebih merupakan proses yang berlangsung secara alami untuk melakukan penyesuaian terhadap kondisi lingkungan. Sedang adopsi, benar-benar merupakan proses penerimaan sesuatu yang "baru" (inovasi), yaitu menerima sesuatu yang "baru" yang ditawarkan dan diupayakan oleh pihak lain (penyuluh).
Filosofi ilmu sosial mengetengahkan tentang penafsiran, konfirmasi,
penjelasan dan reduksi yang muncul dalam teori sosial. Bagian awal filosofi
ilmu sosial ini menguji/membahas tentang berbagai aspek dan isu yang muncul
dalam ilmu sosial.
Filosofi Ilmu Sosial menjadi penting karena telah mencatat isu filosofis
yang mempunyai urgensi besar bagi berbagai praktisi ilmu sosial.
Dibandingkan dengan ilmu alam, ilmu sosial relatif lebih rentan. Dalam ilmu
sosial, ada teori yang bersifat menjelaskan atau memprediksi secara mapan,
seperti halnya teori relativitas atau mekanika kuantum dalam ilmu fisika, atau
sintesis neo‑Darwinian dalam biologi. Kerentanan tersebut mencerminkan
metodologi nilai sosial yang belum mapan, meskipun para sosiolog sudah mencoba
mengeliminir kekeliruan metodologinya. Para sosiolog sudah mengemukakan
penjelasan yang luas tentang perbedaan IImu sosial dan Ilmu alam. Para sosiolog
semakin peka terhadap penemuan‑penemuan sosial ke arah penyimpangan ideologi
dan kompleksitas masyarakat. Mereka mengakui bahwa penjelasan secara sistematis
terhadap gejala sosial kadang‑kadang menyesatkan diri.Diakui pula bahwa diskusi
dan pembahasan tentang isu‑isu sosial memang dirasa masih kurang.
Max Weber, seorang ahli sosiologi dari Jerman pernah menulis tentang metode
dalam ilmu sosial. Tulisannya banyak mengupas hasil diskusi yang panjang
tentang peran aspek‑aspek non‑ilmiah dan nilai‑nilai ilmu sosial, serta
membantah pertanyaan tentang bagaimana fakta ilmu sosial harus dievaluasi.
Dalam pandangan Weber, nilai‑nilai sosial merupakan bagian penting dari ilmu
sosial. la juga mendukung pentingnya aspek politik dalam ilmu sosial. Menurut
Weber, ilmu sosial tidak mungkin lepas dari nilai (value‑freedom).
Sementara itu, dalam, Historical Explanation in the Social Sciences,
John Watkins menjelaskan bahwa prinsip‑prinsip metodologi sangat berpengaruh
terhadap penelitian‑penelitian ilmiah dalam ilmu sosial. Namun, menurutnya
prinsip‑prinsip itu ternyata belum cukup menjamin keberhasilan pengembangan
ilmu sosial secara, ilmiah. Dalam hal ini, diperlukan juga aturan‑aturan formal
dari suatu lembaga, terutama berkaitan dengan kebutuhan materi untuk
mengembangkan ilmu sosial. la juga mengemukakan tentang prinsip metodhological
individualism. Prinsip ini menjelaskan bahwa diperlukan bukti‑bukti mendasar
untuk menjelaskan tentang gejala‑gejala sosial (seperti inflasi atau tiadanya
pengangguran) sehingga diperoleh suatu kesimpulan dari hubungan antar individu.
Watkins juga berpendapat bahwa manusia merupakan satu‑satunya agen dalam sejarah
dan tidak ada faktor lain yang melebihi manusia biasa di dalam sejarah.
Dalam hal ini, Watkins mengemukakan dua alasan:
Pertama, metodhological individualism tidak melarang
pembentukan karakteristik individual.
Kedua, metodhological individualism tidak
membuktikan kebenarannya dengan terminologi holisme kemasyarakatan (sociological
holism).
Watkins menghubungkan antara prinsip metodologi dengan metodhological
individualism. la sepertinya tidak percaya bahwa prinsip metodhological
individualism dapat mengenal obyek melalui praduga, tanpa menyembunyikan
fakta empiris. Dalam. hal ini, Watkins memanfaatkan dugaan testabilitas. la
mengikuti pandangan , bahwa suatu teori dikatakan teruji jika telah dibuktikan
dengan bukti‑bukti penelitian empiris. Suatu definisi yang testabel akan
menghasilkan teori yang ilmiah jika bisa diuji secara logika dengan berbagai
observasi. Pertimbangan tersebut berlaku juga pada prinsip metodhological
individualism sebagai konsekuensi dari kepedulian terhadap doktrin empiris.
Dari pendapat Watkins dapat disimpulkan bahwa untuk menjawab isu‑isu sosial
secara metodologis tidak bisa dijawab dengan praduga saja, namun metodologinya
harus mempertimbangkan peraturan dan pengalaman‑pengalaman faktual untuk
menjawab isu‑isu masyarakat dan mengembangkan ilmu‑ilmu sosial.
Richard Miller mempertentangkan pandangan tentang metodologi melalui
pengujian doktrin yang dibahas oleh Max Weber dan John Watkins dalam tulisan : value
freedom and metodhological individualism.
Dengan isu value freedom atau bebas nilai, Miller mengemukakan
argumen:
Pertama alasan Weber tentang evaluasi terhadap komponen isi
dari penjelasan ilmiah dan pelanggaran atas komitmen yang tidak ilmiah dalam
pengakuan kebenaran teori, adalah tidak empiris dan tidak cukup ilmiah. la
mendasarkan pada prinsip psikologi sosial, yaitu bahwa kekuatan sosial dapat
menciptakan tekanan terhadap suatu teori sosial sehingga jauh dari kebenaran.
Sedangkan tekanan balik atau dukungan dari teori sosial akan mampu merubah
keadaan yang tetap (status quo)menjadi lebih produktif (ilmiah). Menurut
Miller secara hipotesis penjelasan yang terbaik bagi ilmu sosial adalah yang
bersifat tidak mengevaluasi.
Kedua, dalam keadaan yang terkait dengan pemantapan teori
sosial perlu komitmen untuk melakukan perubahan sosial dalam rangka melawan
masyarakat yang konservatif.
Miller juga berpendapat bahwa metodhological individualism
dipengaruhi oleh suatu doktrin yang tidak benar dan secara, total tidak masuk
akal. Sebenarnya prinsip Watkins bahwa penjelasan‑penjelasan terhadap gejala
sosial yang akhirnya harus menuju kepada aspek psikologi, sumber daya dan
hubungan antar individu adalah sangat bagus.
Namun, terminologi yang bersifat individu cenderung memberikan penjelasan
yang tidak cukup obyektif. Oleh karena itu, Miller berpendapat bahwa dalam metodhological
individualism perlu juga mempertimbangkan peran masyarakat empiris yang
kompleks
Miller juga mempertimbangkan dua pertanyaan yang merupakan isu umum, yaitu
apakah suatu hipotesis dikatakan benar jika diikuti dengan penjelasan yang
cukup ? ; apakah suatu hipotesis dapat diterima dengan memecahkan data empiris
yang ada ? Berkenaan dengan pertanyaan tersebut, Miller menolak model positivist’s
covering‑law dan kriteria pemahaman hermeneutic. Selanjutnya ia juga
mendukung tradisi interpretasi yang diambil di antara Dilthey ke Habermas
sebagai pemandu dalam memberikan penjelasan sosial.
Uraian akhir dari bagian ini menjelaskan pendapat Peter Railton tentang Marx
and Objectivity of Science. Menurut Peter Railton, artikel Weber, Watkins
dan Miller membahas tentang isu yang muncul dari suatu pertimbangan usaha untuk
memperoleh pengetahuan ilmiah di bawah kendali masyarakat. Sementara itu, dalam
pengembangan pengetahuan ilmiah sendiri terdapat institusi sosial yang dapat
menjadi pokok penelitian ilmiah. Di sini dikenal sosiologi pengetahuan yang
mengarahkan dan membangun lembaga ilmiah dengan mempertimbangkan konteks
sosial. Kekuatan lembaga ilmiah ini diharapkan dapat menghasilkan informasi
penting dalam penelitian ilmiah. Sebagai sarana ilmu sosial, ia mengusulkan
pembongkaran akar ilmu sosial dengan pengembangan ilmiah, obyektif dan netral.
Gagasannya ini telah diikuti dari berbagai perspektif, seperti satu tema
perjuangan wanita yang mengkritik ilmu pengetahuan.
Satu versi dari sosiologi pengetahuan sering berpikir untuk mengikuti
ideologi Marxis , yang mana ideologi tersebut dominan dalam masyarakat.
Termasuk gagasan Railton ingin melayani kelompok yang dominan dalam masyarakat,
meskipun tidak harus berbau Marxist. Railton menawarkan suatu solusi
naturalistik yang ilmiah dan obyektif dengan membawa masyarakat ke arah
industri kapitalistis, tanpa mengikis Marxist. Railton melihat kemungkinan
kekuatan sosial yang mampu mengendalikan kebenaran, seperti kekuatan sosial yang
sedang memutar‑balikkan kebenaran. Untuk mempertahankan analisisnya, Railton
menawarkan suatu hipotesis yang obyektif dengan tidak mengesampingkan
ketergantungan teori dan metodologi. la juga mempertimbangkan aspek‑aspek
sosial yang kontekstual (empiris) untuk menguji hipotesisnya.
etiap ilmu mempunyai filsafatnya. Sebagaimana kita
ketahui adanya filsafat hukum, filsafat sejarah, filsafat teknik dan demikian
pula denagan filsafat ilmu social. Sebab filsafat merupakan suatu landasan
pemikiran dari ilmu-ilmu yang bersangkutan, titik tolak bagaimana ilmu itu
bermaksud mencapai tujuannya, yaitu kebenaran.
Selain itu, filsafat adalah syarat dari legalitas
suatu ilmu pengetahuan. suatu ilmu pengetahuan tidak dapat dinyatakan sebagai
disiplin ilmu bila didalamnya tidak ditemukan landasan ontologi, epistimologi,
dan aksiologinya.
Dalam makalah ini kami menyajikan sedikit ulasan
tentang filsafat ilmu social, yang dibahas satu per satu tentang sifat dasar
dari realiatas yang terdalam (ontologi), hakikat (epistimologi), dan nilai yang
mendasari asumsi-asumsi (aksiologi) ilmu social.
Ontologi Ilmu Sosial
Ontolgi secara etimlogis berasal dari bahasa yunani onto
yang berarti sesuatu yang sungguh-sungguh ada, kenyataan yang sesungguhnya, dan
logos yang berarti studi tentang, teori yang dibicarakan (Angeles,1981).
Secara terminologis, ontologi diartikan dengan meta fisika umum. yaitu cabang
filsafat yang mempelajari tentang sifat dasar dari kenyataan yang terdalam
membahas asas-asas rasional dari kenyataan (Kattsoff,1986). Degan kata lain,
permasalahan ontologi adalah menggali sesuatu dari yang nampak.
Pada dasarnya, ilmu merupakan hasil dari penjajahan
dalam pengalaman manusia. Sehinhgga, ilmu bersifat terbatas pada pengalaman
manusia itu sendiri. Ilmu tidak dapat memaparkan persoalan yang tidak berwujud.
Dalam persoalan ontologi, sebuah objek dapat
dipaparkan melalui lima butir pertanyaan. Pertama, objek tersebut
bersifat satu atau banyak. Kedua, bersifat transenden atau imanen. Ketiga,
permanen atau baharu (berubah-ubah). Keempat, jasmani atau rohani. Kelima,
objek tersebut bernilai atau tidak.
Dalam struktur realitas, ilmu sosial berada dalam
level ke empat. yakni merupakan ilmu yang membahas dalam ranah relasi atas
manusia. Dari situ dapat diketahui bahwa ilmu sosial merupakan ilmu yang
ersifat banyak (plural). Sebab, ilmu sosial berjalan dalam pembahasan relasi
atas manusia, dan pada dasarnya, manusia bersifat kompleks, berbeda satu sama
lain. Setiap pribadi memiliki modelnya masing-masing, oleh karena itu, ilmu
sosial pun bersifat banyak atau plural.
Setelah mengetahui objek dari ilmu social, dapat
ditarik kesimpulan bahwa ilmu s0sial merupakan ilmu yang berada dalam
struktur-struktur, dan mengambil bagian yang menentukan proses alam (imanen).
Ilmu sosia bukan lah sessuatu yang berada jauh di atas hal-hal yang terdapat
dalam pengalaman (transenden), seperti halnya Tuhan.
Berbeda dengan ilmu alam, ilmu sosial cendrung
bersifat berubah-ubah, ilmu sosial memandang kebenaran tidak berifat mutlak,
yang ada hanya mendekati kebenaran, Ia bergantung pada keadaan objek yang
dikaji, dalam ilmu sosial saat ini, belum tentu sama dengan beberapa abad lalu
atau yang akan datang. Ilmu sosial tidak dapat diprediksi seperti halnya ilmu
alam karena objek-objek dari ilmu sosial berbeda dalam bentuk, struktur serta
sifatnya.
Dalam buku filsafat komunikasi tulisan
Dr. phil. Astrid S. Susanto, 1976. disebutkan, bahwa ilmu sosial bergerak dalam
bidang mencari kebenaran ataupun pembentukan pikiran-pikiran yang dianggap benar
dalam masyarakat. Sehingga dapat dilihat bahwa ilmu sosial berada dalam ruang
lingkup rohani atau tidak nampak.
Dalam pertanyaan terakhir dalam ontologi yang
memprtanyakan masalah bernilai atau tidaknya sebuah objek, tentunya ilmu sosial
sangat bernilai. Hal itu dapat diketahui dengan berkembangbya ilmu sosial saat
ini. Selain itu, ilmu sosial selalu menjadi kajian dan perdebatan hangat dalam
forum-forum diskusi. Mengingat kembali objeknya bersifat unik dan sangat
kompleks.
A.
Epistimologi Ilmu Sosial
Epistimologi berasal dari bahasa yunani episteme
yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti ilmu atau teori.
Artinya, epistimologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang hakikat
sebuah pengetahuan. Dapat juga dikatakan bahwa epistimologi bekerja dalam ranah
metodologis sebuah ilmu pengetahuan.
Ada dua pandangan tentang ilmu
social khususnya yaitu.
1.Ilmu social bersifat universal.
Artinya, ilmu social tidak tergantung pada
apa, siapa, kapan dan dimana dikembangkan.
2.Klaim universalitas metode ilmu social itu hanyalah
klaim naïf. Pandangan ini beranggapan bahwa ilmu social berkembang seiring
perkembangan masyarakat. Artinya ilmu social tumbuh dan berkembang untuk
menjawab problematika yang sedang dihadapi masyarakat. Universalitas tidak
harus mengorbankan unsure keunikan suatu budaya.
Tapi pada dasarnya, Dalam kajian epistimologi,
terdapat tiga hal yang menjadi acuan, yakni tentang asal muasal sebuah
pengetahuan tersebut atau sumber pengetahuan, metode yang digunakan dalam
menemukan pengetahuan, dan menguji validitas atau menguji pengetahuan tersebut.
Mengenai sumber suatu pengetahuan, ada dua sumber
dasar yang melahirkan adanya sebuah ilmu pengetahuan, yaitu sumber pengetahuan
yang berasal dari fisik (empiris), dan sumber pengetahuan yang berasal dari
pemikiran (rasional).
Seperti yang dipaparkan oleh bapak sosiologi, Aguste
comte, bahwa ilmu sosial adalah ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala
yang muncul dalam masyarakat serta apa dampaknya. Dari sini dapat ditarik
kesimpulan bahwa ilmu sosial bersumber dari sebuah pemikiran atau rasional.
Sebab pada dasarnya yang dipelajari adalah inti dari kejadian atau gejala yang
terjadi. Gejala-gejala yang ada dalam masyarakat merupakan sebuah dampak atau
efek dari sesuatu, dan ilmu sosial mempelajari tentang sesuatu itu.
Secara metodis, ilmu sosial menggunakan metode
induktif, dan metode deduktif. Ilmu sosial menggunakan kedua-duanya dalam
menemukan sebuah ilmu pengetahuan.
Metode induktif yakni metode yang dilakukan dengan
menarik suatu kesimpulan umum berdasarkan penemuan-penemuan khusus. Sedangkan
metode deduktif dilakukan dengan menarik sesuatu yang khusus dari yang umum.
Dalam mempelajari tentang gejala-gejala sosial,
biasanya dilakukan dengan menggunakan metode induktif, sebab metode induktif lebih
mengacu pada sesuatu yang nampak (empiris), dan sebuah gejala merupakan hal
yang empirik. Sedangkan metode deduiktif bersifat rasio, dan biasanya digunakan
untuk meguak apa yang ada di balik gejala tersebut.
Untuk masalah faliditas ilmu sosial, tentunya sudah
terbukti dengan keberadaan ilmu sosial sendiri saat ini. Dimana dalam ilmu ssia
telah menunjukkn koherensi dan korespondensi. Yakni antara pernyataan yang
dikeluarkan, singkron dengan realitas yang ada.
Aksiologi Ilmu Sosial
Aksiologi secara etimologis
berasal dari kata axios yang berarti nilai dan logos yang berarti
ilmu atau teori. Jadi aksiologi dapat diartikan sebagai ilmu atau teori yang
mempelajari hakikat nilai. Landasan aksiologis yang dimaksud adalah pandangan
tentang nilai yang mendasari asumsi asumsi ilmu social.
Polemic yang berkepanjangan yang
menandai perkembangan ilmu-ilmu social adalah berkaitan dengan klaim bebas dan
tidak bebas nilai dalam ilmu- ilmu social. Bebas nilai artinya ilmu social
harus mengacu pada ilmu-ilmu alam yang berusaha menangkap hukum- hukum alam
yang objektif yang tidak tercemari oleh kepentingan –kepentingan manusiawi.
Ilmu social hendaknya mencari hukum-hukum sebagaimana dalam ilmu alam yang
dapat diterapkan oleh siapa saja, dimana saja,dan kapan saja secara objektif.
Kemudian pandangan bahwa ilmu social tidak bebas nilai atau tidak dapat
dilepaskan dari nilai karena ilmu social tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat, yang mau tidak mau terkait dengan nilai.
Problem tentang netralitas nilai
dalam perspektif paradigma ilmu social adalah bahwa ilmu social tidak dapt
dilepaskan dari nilai. Pertimbangannya adalah bahwa ilmu social pertama tumbuh
dan berkembang dalam suatu kerangka budaya yang lekat dengan pertimbangan
nilai. Argument ini diperkuat dengan kenyataan bahwa fenomena social berbeda
dengan fenomena fisik yang bersifat mekanik.
Pada dasarnya, etos ilmu social
adalah mencari kebenaran objektif atau mencari realism, yaitu suatu istilah
yang salah satu artinya menunjuk pada suatu pandangan objektif tentang realitas
(Gunnar Myrdal, 1981).
Objektivitas ilmu social ini
adalah memandang kenyataan sebagaimana adanya (das sein) dengan menggunakan
metode serta toeri social yang berdasarkan realitas objektif yang dijadikan
lapangan penyelidikan. Lebih khusus lagi ilmu social dapat membebaskan diri
dari warisan peninggalan yang kuat dari penulisan penulisan sebelumnya dalam
bidang ilmiah yang digarap kadang kala mengandug orientasi normative dan
teologis serta berlandaskan filsafat moral metafisika tentang hukum alam serta
utilitarianisme yang menjadi sumber terbentuknya teori social. Selanjutnya
pengaruh- pengaruh seluruh lingkungan kebudayaan, sosisal, ekonomi, politik
dari masyarakat tempat ilmu social itu ditumbuh-kembangkan (Gunnar Myrdal,
1981), dan terakhir, pengaruh yang bersumber dari kepribadian sendiri, seperti
yang dibentuk oleh tradisi- tradisi dan lingkungannya.
Pandangan yang benar adalah bahwa
ilmu social harus membatasi dari muatan emosional, dengan lebih menekankan
muatan rasional dalam memutuskan suatu masalh. Tujuan ilmu social adalah untuk
menjelaskan , dan mengontrol fenomena social , namun semua itu diletakkan pada
tujuan yang mulia, yaitu untuk kebaikan umat manusia. Nilai nilai social yang
berkembang berdasarkan atas beberapa prinsip, diantaranya persamaan dan
kebersamaan, keadilan social serta keterbukaan dan musyawarah.
Kesimpulan
Dari pemaparan singkat di atas, dapat diketahui
tentang wujud atau sifat dasar , hakikat, dan hakikat nilai yang terdapat dalam
ilmu social. Dan secara garis besarnya, dapat difahami tentang eksistensi ilmu
social.
Sebagaimana
tertera di atas, bahwa ilmu sosial merupakan ilmu yang berkebang berdasarkan
rasio. Sedangkan hal yang bersifat empirik adalah merupakan sebuah dampak atau
efek dari sesuatu, dan ilmu social berada dalam pembahasan sesuatu itu.
Secara
metodologis, dalam ilmu social penggunaan metode digunakan secara kompleks. Hal
itu dekarenakan objek ilmu social yang bersifat berebeda secara fisik,
struktur, serta sifatnya.
Dalam
tataran nilai, pada dasarnya ilmu social sama dengan ilmu yang lain. Yakni
pengabdian kepada masyarakat. Perbedaannya hanya pada bidang geraknya, ilmu
social bergerak dalam bidang mencari kebenaran a priori ataupun
pembentukan pikiran-pikiran yang dianggap benar di masyarakat.
Menurut Soerjono Soekanto masalah sosial adalah suatu
ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat, yang
membahayakan kehidupan kelompok sosial. Jika terjadi bentrokan antara
unsur-unsur yang ada dapat menimbulkan gangguan hubungan sosial seperti kegoyahan
dalam kehidupan kelompok atau masyarakat.
Masalah sosial muncul
akibat terjadinya perbedaan yang mencolok antara nilai dalam masyarakat dengan
realita yang ada. Yang dapat menjadi sumber masalah sosial yaitu seperti proses
sosial dan bencana alam. Adanya masalah sosial dalam masyarakat ditetapkan oleh
lembaga yang memiliki kewenangan khusus seperti tokoh masyarakat, pemerintah,
organisasi sosial, musyawarah masyarakat, dan lain sebagainya.
Masalah sosial dapat dikategorikan menjadi 4 (empat)
jenis faktor, yakni antara lain :
1. Faktor Ekonomi : Kemiskinan, pengangguran, dll.
2. Faktor Budaya : Perceraian, kenakalan remaja, dll.
3. Faktor Biologis : Penyakit menular, keracunan makanan, dsb.
4. Faktor Psikologis : penyakit syaraf, aliran sesat, dsb.
2. Faktor Budaya : Perceraian, kenakalan remaja, dll.
3. Faktor Biologis : Penyakit menular, keracunan makanan, dsb.
4. Faktor Psikologis : penyakit syaraf, aliran sesat, dsb.
1. Faktor Ekonomi, faktor ini merupakan faktor
terbesar terjadinya masalah sosial. Apalagi setelah terjadinya krisis global
PHK mulai terjadi di mana-mana dan bisa memicu tindak kriminal karena orang
sudah sulit mencari pekerjaan.
2.Faktor Budaya, Kenakalan remaja menjadi masalah
sosial yang sampai saat ini sulit dihilangkan karena remaja sekarang suka
mencoba hal-hal baru yang berdampak negatif seperti narkoba, padahal remaja
adalah aset terbesar suatu bangsa merekalah yang meneruskan perjuangan yang
telah dibangun sejak dahulu.
3.Faktor Biologis, Penyakit menular bisa
menimbulkan masalah sosial bila penyakit tersebut sudah menyebar disuatu
wilayah atau menjadi pandemik.
4.Faktor Psikologis, Aliran sesat sudah banyak
terjadi di Indonesia dan meresahkan masyarakat walaupun sudah banyak yang
ditangkap dan dibubarkan tapi aliran serupa masih banyak bermunculan di
masyarakat sampai saat ini.
Masalah
sosial menemui pengertiaannya sebagai sebuah kondisi yang tidak diharapkan
dan dianggap dapat merugikan kehidupan sosial serta bertentangan dengan standar
sosial yang telah disepakati. Keberadaan masalah sosial ditengah kehidupan
masyarakat dapat diketahui secara cermat melalui beberapa proses dan tahapan
analitis, yang salah satunya berupa tahapan diagnosis. Dalam mendiagnosis
masalah sosial diperlukan sebuah pendekatan sebagai perangkat untuk membaca
aspek masalah secara konseptual. Eitzen membedakan adanya dua pendekatan yaitu
person blame approach dan system blame approach (hlm. 153).
Person blame approach
merupakan suatu pendekatan untuk memahami masalah sosial pada level individu.
Diagnosis masalah menempatkan individu sebagai unit analisanya. Sumber masalah
sosial dilihat dari faktor-faktor yang melekat pada individu yang menyandang
masalah. Melalui diagnosis tersebut lantas bisa ditemukan faktor penyebabnya
yang mungkin berasal dari kondisi fisik, psikis maupun proses sosialisasinya.
Sedang pendekatan kedua
system blame approach merupakan unit analisis untuk memahami sumber masalah
pada level sistem. Pendekatan ini mempunyai asumsi bahwa sistem dan struktur
sosial lebih dominan dalam kehidupan bermasyarakat. Individu sebagai warga
masyarakat tunduk dan dikontrol oleh sistem. Selaras dengan itu, masalah sosial
terjadi oleh karena sistem yang berlaku didalamnya kurang mampu dalam
mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi, termasuk penyesuaian antar
komponen dan unsur dalam sistem itu sendiri.
Dari kedua
pendekatan tersebut dapat diketahui, bahwa sumber masalah dapat ditelusuri dari
”kesalahan" individu dan "kesalahan" sistem. Mengintegrasikan
kedua pendekatan tersebut akan sangat berguna dalam rangka melacak akar masalah
untuk kemudian dicarikan pemecahannya. Untuk mendiagnosis masalah pengangguran
misalnya, secara lebih komprehensif tidak cukup dilihat dari faktor yang
melekat pada diri penganggur saja seperti kurang inovatif atau malas mencari
peluang, akan tetapi juga perlu dilihat sumbernya masalahnya dari level sistem
baik sistem pendidikan, sistem produksi dan sistem perokonomian atau bahkan
sistem sosial politik pada tingkat yang lebih luas.
Anak
jalanan: Dilema? Sebenarnya isltilah anak jalanan pertama kali
diperkenalkan di Amerika Selatan atau Brazilia yang digunakan bagi kelompok
anak-anak yang hidup dijalanan umumnya sudah tidak memiliki ikatan tali dengan
keluarganya.Anak-anak pada kategori ini pada umumnya sudah terlibat pada
aktivitas-aktivitas yang berbau criminal. Kelompok ini juga disebut dalam
istilah kriminologi sebagai anak-anak dilinguent. Istilah ini menjadi rancu
ketika dicoba digunakan di negara berkembang lainnya yang pada umumnya mereka
masih memiliki ikatan dengan keluarga. UNICEF kemudian menggunakan istilah
hidup dijalanan bagi mereka yang sudah tidak memiliki ikatan keluarga, bekerja dijalanan
bagi mereka yang masih memiliki ikatan dengan keluarga. Di Amerika Serikat juga
dikenal istilah Runauay children yang digunakan bagi anak-anak yang lari dari
orang tuanya.
Walaupun
pengertian anak jalanan memiliki konotasi yang negatif di beberapa negara,
namun pada dasarnya dapat juga diartikan sebagai anak-anak yang bekerja
dijalanan yang bukan hanya sekedar bekerja di sela-sela waktu luang untuk
mendapatkan penghasilan, melainkan anak yang karena pekerjaannya maka mereka
tidak dapat tumbuh dan berkembang secara wajar baik secara jasmnai, rohani dan
intelektualnya. Hal ini disebabkan antara lain karena jam kerja panjang, beban
pekerjaan, lingkungan kerja dan lain sebagainya.
Anak
jalanan ini pada umumnya bekerja pada sector informal. Phenomena munculnya anak
jalanan ini bukanlah karena adanya transformasi system social ekonomi dan
masyarakat pertanian ke masyarakat pra-industri atau karena proses
industrialisasi. Phenomena ini muncul dalam bentuk yang sangat eksploratif
bersama dengan adanya transformasi social ekonomi masyarakat industrialsasi
menuju masyarakat yang kapitalistik.
Kaum
marjinal ini selanjutnya mengalami distorsi nilai, diantaranta nilai tentang
anak. Anak, dengan demikian bukan hanya dipandang sebagai beban, tetapi
sekaligus dipandang sebagai factor ekonomi yang bisa dipakai untuk mengatasi
masalah ekonomi keluarga. Dengan demikian, nilai anak dalam pandangan orang tua
atau keluarga tidak lagi dilihat dalam kacamata pendidikan, tetapi dalam
kepentingan ekonomi. Sementara itu, nilai pendidikan dan kasih saying semakin
menurun. Anak dimotivasi untuk bekerja dan menghasilkan uang.
Dalam konteks permasalahan anak jalanan, masalah
kemiskinan dianggap sebagai penyebab utama timbalnya anak jalanan ini. Hal ini
dapat ditemukan dari latar belakang geografis, social ekonomi anak yang memang
datang dari daerah-daerah dan keluarga miskin di pedesaan maupun kantong kumuh
perkotaan. Namun, mengapa mereka tetap bertahan, dan terus saja berdatangan
sejalan dengan pesatnya laju pembangunan?
Ada
banyak teori yang bisa menejlaskan kontradiksi-kontradiksi antara pembangunan
dan keadilan-pemerataan, desa dan kota, kutub besar dan kutub kecil, sehingga
lebih jauh bia terpetakan lebih jela persoalan hak asasi anak. Meskipun
demikian, kemiskinan bukanlah satu-satunya factor penyebab timbulnya masalah
anak jalanan. Dengan demikian, adanya sementara anggapan bahwa masalah anak
jalanan akan hilang dengan sendirinya bila permasalahan kemiskinan ini telah
dapat diatasi, merupakan pandangan keliru.
Masyarakat Dan Negara :
Parillo
menyatakan, kenyataan paling mendasar dalam kehidupan sosial adalah bahwa
masyarakat terbentuk dalam suatu bangunan struktur. Melalui bangunan struktural
tertentu maka dimungkinkan beberapa individu mempunyai kekuasaan, kesempatan
dan peluang yang lebih baik dari individu yang lain (hlm. 191). Dari hal
tersebut dapat dimengerti apabila kalangan tertentu dapat memperoleh manfaat
yang lebih besar dari kondisi sosial yang ada sekaligus memungkinkan terpenuhinya
segala bentuk kebutuhan, sementara dipihak lain masih banyak yang kekurangan.
Masalah sosial sebagai
kondisi yang dapat menghambat perwujudan kesejahteraan sosial pada gilirannya
selalu mendorong adanya tindakan untuk melakukan perubahan dan perbaikan. Dalam
konteks tersebut, upaya pemecahan sosial dapat dibedakan antara upaya pemecahan
berbasis negara dan berbasis masyarakat. Negara merupakan pihak yang sepatutnya
responsif terhadap keberadaan masalah sosial. Perwujudan kesejahteraan setiap
warganya merupakan tanggung jawab sekaligus peran vital bagi keberlangsungan
negara. Di lain pihak masyarakat sendiri juga perlu responsif terhadap masalah
sosial jika menghendaki kondisi kehidupan berkembang ke arah yang semakin baik.
Salah satu bentuk
rumusan tindakan negara untuk memecahkan masalah sosial adalah melalui
kebijakan sosial. Suatu kebijakan akan dapat dirumuskan dengan baik apabila
didasarkan pada data dan informasi yang akurat. Apabila studi masalah sosial
dapat memberikan informasi yang lengkap dan akurat maka bararti telah
memberikan kontribusi bagi perumusan kebijakan sosial yang baik, sehingga bila
diimplementasikan akan mampu menghasilkan pemecahan masalah yang efektif.
Upaya
pemecahan sosial sebagai muara penanganan sosial juga dapat berupa suatu
tindakan bersama oleh masyarakat untuk mewujudkan suatu perubahan yang sesuai
yang diharapkan. Dalam teorinya Kotler mengatakan, bahwa manusia dapat
memperbaiki kondisi kehidupan sosialnya dengan jalan mengorganisir tindakan kolektif.
Tindakan kolektif dapat dilakukan oleh masyarakat untuk melakukan perubahan
menuju kondisi yang lebih sejahtera.
Cara
Mengatasi Masalah Sosial di Masyarakat dengan Berbagai Solusi
- Caraspot
Pada dasarnya cara mengatasi masalah sosial harus
dimulai dari menuntaskan masalah kualitas hidup dari tiap individu. Jika hal
ini dapat dilaksanakan secara totalitas, baik pada hal yang berbentuk fisik
maupun non fisik maka manusia secara keseluruhan akan terhindar dari masalah
sosial yang dapat menggangu ketentaraman hidup. Pengertian masalah sosial
adalah suatu perbedaan antara apa yang diharapkan dan kenyataan yang terjadi
atau terjadinya kesenjangan antara keadaan atau situasi yang ada dengan situasi
yang menurut banyak orang yang seharusnya terjadi (Jenssen, 1992). Masalah
sosial ini oleh banyak orang dipandang sebagai sesuatu keadaan yang tidak
diinginkan/diharapkan.
Jelaslah bahwa jika suatu kesenjangan terjadi pada
masyarakat maka pada waktu itulah masalah timbul. Untuk mengatasi ini kita
tidak boleh dengan serta merta menyalahkan pihak pemerintah, ketua RT, atau
yang lainnya yang umumnya selama ini kita keliru bahwa merekalah yang
seharusnya bertanggungjawab. Untuk bisa berhasil maka seyogyanya sekecil apa
pun ‘sebab’ yang ada, dari hulu ke hilir, harus dicari solusinya. Yang paling
utama dalam hal ini adalah pada kualitas hidup tiap individu dalam masyarakat.
Mengenai kualitas hidup ini Al-Qurthuby dalam salah
satu tulisannya menjelaskan dari berbagai pendapat pakar, bahwa
- Menurut Ibn ‘Abbas, Sa’id bin
Jubair, ‘Atha dan al-Dahhak bahwa kehidupan yang baik dan berkualitas
ditandai dengan rezeki yang halal.
- ‘Ali bin Abi Thalib berpendapat
bahwa kehidupan yang baik adalah al-qama’at yakni menerima dan merasa
cukup apa adanya.
- Petunjuk pada ketaatan, karena
yang demikian itu membawa kepada keredhaan Allah swt. Pendapat ini
diungkapkan oelh al-Dahhak.
- Mujahid, Qatadah dan Ibnu Zaid
berpendapat bahwa kehidupan yang berkualitas adalah surge.
- Adapula yang berpendapat bahwa kehidupan
yang berkualitas adalah sa’adat (kebahagiaan). Dan diriwayatkan pula dari
Ibn ‘Abbas yakni kelezatan ketaatan dan sebagainya.
Solusi Cara Mengatasi Masalah Sosial di Masyarakat
Ada beberapa pendapat yang terlah mengulas soal
problematika masalah sosial ini. Dan Menariknya karena semuanya Caraspot ambil
dari data valid dan dari sumber penelitian pakarnya.
1. Menurut Tesis Drs. Saifuddin
Tesis beliau yang ditujukan sebagai tugas akhir untuk
Program Pascasarjana yang dijalani yang mana diberi judul “Petunjuk Manusia
tentang Kualitas Hidup Manusia” memberikan banyak penjelasan yang berkaitan
dengan problematikan sosial ini. Sebagai intisari dari hasil penelitiannya maka
ada 3 hal yang wajib ditingkatkan setiap individu agar dapat hidup lebih
baik,yaitu:
a. Peningkatan Keimanan
Peningkatan iman ini berlaku pada semua penganut
agama. Walau dalam ajaran Islam dikemukakan bahwa iman merupakan dasar utama
diterimanya segala amal yang dilakukan. Akan tetapi tidak hanya sebatas itu,
iman juga merupakan sumber dinamika atau etos yang menggerakkan manusia dalam
setiap tingkah lakunya.
Dalama Al-Qur’an disebutkan bahwa “Dial ah (Allah) yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada),…” (QS. Al-Fath ayat 4) .
Dalama Al-Qur’an disebutkan bahwa “Dial ah (Allah) yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada),…” (QS. Al-Fath ayat 4) .
Dapat dipahami dari ayat di atas bahwa di antara upaya
yang dapat ditempuh manusia untuk mempertahankan diri secara konsisten agar
dapat berimana secara terus-menerus adalah dengan jalan manusia harus berusaha
menciptakan suasan lingkungan yang memungkinkannya hidup tentram dengan iman
yang telah dimilikinya. Dalam hal ini manusia harus berusaha menjadikan dirinya
sebagai subyek yang menentukan perkembangan dan perobahan masyarakatnya ke arah
masyarakat yang aman dan sejahtera, masyarakat damai dan bukan obyek yang
selalu defensive atau hanyut terbawa arus. Dengan kata lain dapat dipahami juga
bahwa untuk cara mengatasi masalah sosial maka seseorang harus terus
meningkatkan keimanannya karena dengan keimanan yang terus diusahakan berarti
ia juga harus terus berusaha meningkatkan taraf hidupnya menjadi hidup yang
lebih berkualitas.
Atas dasar di atas maka manusia berkewajiban untuk
menciptakan suasan keimanan yang memungkinkan untuk hidup secara tentram dengan
iman yang terus menerus, yakni dengna iman yang tidak hanya berarti pelaksanaan
keagamaan dan kepercayaan yang terbatas pada rukun iman yang enam, tetapi juga
iman yang memberi makna sebagai landasan esensial dan sebagai motivasi amal
yang mempunyai pantulan dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian, iman perlu
ditingkatkan sebagai landasan dan motivasi dalam beramal dan untuk mencapai
kehiduapn yang sempurna dan yang lebih luhur.
b. Peningkatan Akhlaq al-Karimah
Akhlak merupakan bagian dari iman. Semakin tinggi
keimanan manusia, mak aakan semakin tinggi nilai akhlak yang dimilikinya.
Sebaliknya iman tanpa melahirkan akhlak atau moralitas, menandakan bahwa iman
tersebut belum sempurna. Bahkan, jika kita memahami hadis tentang orang
yang nantinya dianggap bangkrut di hari kiamat karena selalu berprilaku buruk
walau amal ibadahnya sangat banyak, maka bisa dikatakan bahwa nilai Akhlaq
al-Karimah lebih tinggi kedudukannya dari pada amal-amal saleh yang dilakukan.
Di antara akhlak-akhlak yang perlu ditingkatkan dalam
upaya peningkatan kualitas hidup manusia dan dalam hal ini sebagai cara
mengatasi masalha sosial adalah pada akhlak yang mempunyai integritas pribadi
dan akhlak yang mempunyai integritas dengan sesama makhluk.
Manusia yang berakhlak mulia, selalu melaksanakan
kewajibannya, memberikan hak yang harus diberikan kepada yang berhak
menerimanya. Ia melakukan kewajibannya terhadap dirinya sendiri, yang menjadi
haknya, terhadap Tuhannya, yang menjadi hak Tuhannya, terhada sesame manusia,
yang menjadi hak manusia lainnya, terhadap makhluk lain, yang menjadi haknya,
terhadap alam dan lingkungannya dan terhadap segala yang ada secara harmonis.
Ia akan menempati martabat yang mulia dalam pandangan masyarakat, dan mengisi
dirinya dengna sifat-sifat yang terpuji dan menjauhkan dirinya dari sifat-sifat
yang tercela. (Lihat, Dr. H. Rahmat Djatnika, Sistem Ethika Islami (Akhlak
Mulia), Pustaka Islam, Surabaya, 1987, h. 11-12)
c. Peningkatan Amal Saleh
Amal saleh bukan hanya salat, puasa, mengaji dan
segala yang berkaitan dengan perintah agama secara jelas, tapi juga segala hal
dalam kehidupan ini yang bernilai baik dan positif. Bahkan dalam pandangan umum
dapat dikatakan bahwa amal saleh merupakan perbuatan yang dilakukan dengan
sadar dan mendatangkan manfaat serta menolak mudharat yang harus diukur dengan
nilai-nilai Qur’ani.
Melakukan amal saleh dalam kaitannya dalam solusi
mengatasi masalah sosial bisa dalam berbagai objek, baik itu kepada Tuhan,
sesama manusia dan juga pada Bumi atau alam. Amal saleh terhadap bumi
adalah dengan mengolah bumi menjadi lebih baik dan bermanfaat secara
berkesinambungan, sebab mengolah bumi merupakan bagian dari arti amal saleh
yang dapat membuat kualitas hidup manusia di bumi menjadi lebih baik, baik itu
pada diri pelakukan maupun pada lingkungan sosialnya. (Lihat, Quraish Shihab,
Amal tanpa Iman, hal. 95)
Kualitas hidup manusia yang bertolak dari amal saleh
haruslah dibarengi dengan iman agar tak sia-sia segala amalnya. Jika manusia
mampu melakukan ini maka pandangan dan penglihatannya, tangan dan kakinya
sebagai bagian dari pandangan, penglihatan, tangan dan kaki Tuhan. Dan
sebaliknya, jika nilai keimanan tersebut diabaikan, maka ia akan hancur jatuh
seperti kualitas binatang atau bahkan lebih hina. Sebagaimana dalam QS. At-Tin
: 4-5.
2. Menurut Koento wibisono Siswomohardjo
Beliu telah mengemukakan rumusan manusia yang
berkualitas sebagai cikal bakal lahirnya masyarakat sosial yang syarat pada
ketentraman dan bebas atau kurang mengalami masalah sosial, yakni yang
mengandung pengertian tentang sesuatu yang utuh-integral. Dalam arti manusia
yang dicitrakan memiliki unsur-unsur kualitas berikut:
- Kesehatan jasmani dan rokhani
- Menguasai ilmu-pengetahuan dan
keterampilan
- Iman, taqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa dan berbudi luhur
- Kepribadian yang mantap dan
mandiri
- Mempunyai tanggungjawab
kemasyarakatan dan kebangsaan.
Solusi Klasik
Penanggulangan Problem Sosial :
Walau sejumlah pakar telah melakukan penelitian
mengenai cara mengatasi masalah sosial, tapi tetap saja solusi klasik di bawah
tak dapat ditinggalkan karena yang terjadi di masyarakat adalah fakta yang tak
bisa diabaikan.
1. Penyediaan
Lapangan Kerja – Selain pemerintah yang harus berperan aktif dalam
menyediakan lapangan pekerjaan, setiap warga negara juga harus bisa mencari
peluang usaha untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, di antaranya dengan banyak
belajar teknik bisnis yang tepat, berusaha agar sukses menjawab pertanyaan interview kerja agar mudah diterima kerja, memperbanyak relasi,
melengkapi kemampuan di bidangnya dan bidang lain yang sanggup ia lakukan dan
banyak lagi hal lain yang bisa diusahakan untuk mendapatkan lapangan pekerjaan
yang layak.
2. Menykseskan
Program KB – Peran BKKBN dalam melakukan berbagai improvisasi
teknik sosialisasi agar lebih banyak masyarakat yang sadar akan pentingnya KB
sangatlah manjur dalam mengontrol laju pertumbuhan masyarakat. Tapi walau KB
itu penting, tetap saja pemahaman ini tidak bisa ‘dipukul rata’ pada semua
jenis keluarga. Buat keluarga yang mapan dari segi ekonomi dan mampu memenuhi
kebutuhan pendidikan yang layak bisa jadi tidak terlalu berdampak pada
timbulnya masalah sosial ini.
3. Terpenuhinya
Kebutuhan Pendidikan – Kartu Pintar yang dibagikan bagi warga masyarakat
adalah salah satu solusi untuk ini. Tapi jika bicara soal keberhasilan
pendidikan maka ujung tombaknya ada pada para pendidik. Mereka harus bisa
menjadi pendidik yang tidak hanya pintar mengajar tapi juga punya kemampuan
mendidik yang baik.
4. Ekonomi – Selain tersedianya lapangan pekerjaan, mendidik
masyarakat agar tertarik menjadi pebisnis juga menjadi andalan banyak negara
berkembang saat ini dalam cara mengatasi masalah sosial di negaranya.
5. Layanan
kesehatan yang memadai – Pemberian kartu berobat untuk warga miskin yang
banyak dilakukan pemerintah saat ini bisa menjadi solusi buat mereka yang
‘terhimpit’ masalah ekonomi. Namun jika tidak dibarengi dengan sosialisasi
pencegahan penyakit maka bisa jadi solusi ini bisa saja menimbulkan masalah
baru karena dana yang digunakan diambil dari kas negara.
6. Hal lain : Penyediaan fasilitas umum yang memadai sering juga
dirasakan sebagai solusi bagi masyarakat yang tinggal di daerah terpencil.
Banyak juga yang menjadikan Transmigrasi sebagai solusi jika masalah sosial
yang terjadi diakibatkan oleh lonjakan penduduk yang tak terbendung.
Demikian Cara Mengatasi Masalah Sosial pada masyarakat
ini, semoga bisa menjadi rujukan valid bagi Anda semua. Namun, perlu kami
pertegas kembali bahwa jalan keluar terbaik untuk ini tak lain dan tak bukan
kembali pada individu masing-masing. Jika setiap orang mau berusaha dengan baik
memperbaiki kualitas diri dan hidupnya maka bukan tidak mungkin kalau persoalan
ini akan dituntaskan. Dan yang lebih penting dari itu semua adalah pada tataran
tingkat keimanan seseorang. Semakin baik keimanan dan pengetahuan agamanya maka
akan semakin sulit digoyahkan oleh keadaan dunia yang bagaimana pun, baik itu
karena masalah pekerjaan, tetangga yang tidak baik, ekonomi, karena tidak KB,
dan sebagainya. Semua keadaan tersebut hanya akan berlalu begitu saja karena
orang yang beriman akan selalu memegang prinsip ‘Syukur dalam segala kondisi
dan keadaan”. Lalu kira-kira persoalan apa lagi yang berdampak pada seseorang
jika pemikiran seperti ini sudah tertanam dalam dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar