Selasa, 04 Desember 2018

Problematika Ilmu Sosial, Dasar Filosofi, Adopsi, Inovasi serta Solusinya


“Problematika Ilmu Sosial, Dasar Filosofi, Adopsi, Inovasi serta Solusinya”

OLEH:
SUMADI

Ilmu-ilmu sosial
Telah kita ketahui semua sumber ilmu pengetahuan adalah philosophia (filsafat). Baik ilmu-ilmu alam mupun ilmu-ilmu social, biladi lihat dari perkembangannya, bermula dari ilmu filsafat, dari filsafat itu kemudian lahirlah tiga cabang ilmu pengitahuan :
  1. Natural sciences (ilmu-ilmu alamiyah), yang meliputi : fisika, kimia, astronomi, biologi, botani dan lain-lain.
  2. Social sciences (ilmu-ilmu sosial), sosiologi,ekonomi, politik, antropologi, sejarah, psikologi, geografi dan lain-lain.
  3. Humanitas,(ilmu-ilmu budaya) meliputi: bahasa, agama, kesusastraan, kesenian, da lain-lain.
  4.      Ilmu social dasar
Ilmu Sosial Dasar (ISD) adalah suatu program peljaran baru yang dikembangkan di perguruan tinggi. Pengembangan Ilmu Sosial Dasar ini sejalan dengan relisasi perkembangan ide dan pembaruan system pendidikan yang bersifat dinamis dan inovatif. Ilmu-ilmu Sosial Dasar (ISD) ini dipergunakan dalam pendekatan sekaligus sebagai sarana jalan keluar untuk mencari pemecahan masalah sosial yang berkembang dalam kehidupan masyarakat.
Melalui penelaan dan pendalaman Subject-oriented.tersebut, proses pendalaman bidang- bidang ilmu menuju spesialisasi keahlian telah berlangsung. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa antara ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu sosial dasar (ISD) tidak terdapat perbedaan yang prinsipil sepanjang menyangkut konsep dasar atau pengetahuan dasar ilmu-ilmu sosial. Perbedaan itu terjadi pada pendekatan bidang studinya saja. Ilmu-ilmu sosial dasar bersumber pada konsep dasr ilmu-ilmu sosial yang terintegrasi. ISD dipergunakan mencari pemecahan masalah kemasyarakat melalui pendekatan interdisipliner maupun multidisipliner ilmu-ilmu sosial. Di pihak lain, pengantar-pengantar ilmu-ilmu sosial disajikan secara teoritis, yang menyangkut ruang lingkup, metode dan sistematisasinya.
Latar belakang Ilmu Sosial Dasar (ISD) dimulai sejak terjadinya kritik-kritik yang ditunjukkan pada system pendidikan di perguruan tinggi oleh sejumlah cendikiawan, terutama sarjana pendidikan sosial dan kebudayaan. Mereka menganggap system pendidikan yang tengah berlangsung saat itu berbau colonial. Selain itu, masih merupakan warisan pendidiakn pemerintah Belanda, yaitu kelanjutan dari politik balas budi yang dianjurkan oleh Conrad Theodore Van Deventer, untuk menghasilkan tenaga terampil tukang-tukang yang mengisi birokrasi mereka dibidang adminstrasi, pedagang, tehnik dan keahlian lain mengeksploitasi kekayaan Negara. Padahal tenaga ahli yang dihasilkan oleh perguruan tinggi diharapkan memiliki tiga jenis kemampuan yang meliputi personal, akademik dan professional.
RUANG LINGKUP PEMBAHASAN
Berpangkal pada tujuan di atas, ada dua masalah yang dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan untuk menetukkan ruang lingkup pembahasan mata kuliah ilmu sosial dasar, yaitu :
a.   ada berbagai aspek pada kenyataan yang merupakan suatu masalah sosial. Biasanya, masalah sosial dapat ditangggapi dengan pendekataan yang berbeda-beda oleh bidang- bidang pengetahuna keahlian yang berbeda-beda pula, baik sebagai pendekatan tersendiri, mapupun gabungan (antar bidang).
b.   Adanya berbagai golongan dan kesatuan sosial dalam masyarakat yang masing-masing mempunyai kepentingan kebutuhan serta pola-pola pemikiran dan pola-pola tingkah laku sendiri, tetapi memilki banyak persamaan kepentingan kebutuhan serta persamaaan dalam pola-pola pemikran dan tingkah laku yang menyebabkanadanya pertentangan maupun hubungan-hubungan setia kawan dan kerja sama dalam masyarakat itu.
Masalah sosial yang dihadapi oleh setiap masyarakat manusia tidaklah sama antara yang satu satu dan yang lainnya. Hal itu disebabakan perbedaan tinkat perkembangan kebudayaan dan masyarakatnya, serta keadaan lingkungan alamnya tempat masyarakat itu hidup, masalah tersebut dapat terwujud sebagai masalah social, moral, politik, ekonomi, agama ataupun masalah lainnya.
Yang membedakan masalah sosial dari masalah lainnya adalah masalah sosial selalu berkaitan dengan nilai-nilai moral dan pranata sosial, serta selalu berkaitan dengan hubungan manusia dan dengan konteks-konteks normatif tempat hubungan manusia terwujud.
Dengan demikian, suatu masalah sosial ini terutama di tekankan pada adanya kondisi atau keadaan tertentu dalam kehidupan sosial waraga masyarakat yang bersangkutan. Kondisi atau keadaan sosial tertentu sebenarnya merupakan hasil dari proses kehidupan manusia yang berusaha untuk memenuhi kebutuhan jasmaninnya, kebutuhan-kebutuhan sosial dan kebutuhan-kebutuhan kejiwaan. Dalam usaha untuk pemenuhan kebutuhan tersebut, manusia menggunakan kebudayaan sebagai model petunjuk dalam menggunakan lingkungan alam dan sosial masyarakat.
Masalah-masalah sosial dan kajian dalam ilmu sosial dasar
Dalam kata masalah itu sendiri memiliki suatu definisi yaitu suatu soal yang harus diselesaikan,dalam masalah sosial  diartikan bahwa masalah sosial yang terjadi di masyarakat dapat berdampak ke sebagian mayarkat dan di situasi dan kondisi seperti itu dapat diatasi dengan kebersamaan
Contoh-contoh masalah sosial yang ada dimasyarkat khusunya di Indonesia.

Kemiskinan
Kemiskinan adalah dimana ketidak mampuan dalam mencapai sesuatu yg diharapkan.dalam kemiskinan itu sendiri mempunyai faktor-faktor yang mempengaruhi sperti; tingkat pendidikan dan pekerjan yang semakin sedikit, dalam pekerjaan itu sendiri  sekarang mempunyai standar untuk diterima sebagai karyawan  dan adanya kontrak pegawai.
Pendidikan
Di Indonesia dengan pendidikan yang kurang merata banyak sekali anak yang berhenti sekolah bahkan ada yg belum pernah mengenyam pendidikan, sedangkan pendidikan sangat berarti bagi kelanjutan hidup. Pemerintah memberikan anggaran dana untuk sekolah namun dalam beberapa fakta masih banyak anak yg beum bisa mengenyam pendidikan
Kejahatan
Indonesia dalam presenatse kejahatan cukup tinggi  apalai di kota-kota besar, kejahatan ini biasanya bermotifkan ekonomi, kejahatan itu sendiri memiliki pelaku yang dari orang yg tidak terpelajar dan terpelajar.
Penganguran
Pengangguran adalah  ketidak mampuan bersaing dalam dunia kerja, dan ini menjadi masalah serius untuk di beberapa negara berkembang. Biasanya penganguran bertambah tapi tempat kerja tetap bahkan berkurang, dan penduduk yang dari desa memadati ibu kota berharap mendapat kerja yang layak.
Keadilan
Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Menurut sebagian besar teori, keadilan memiliki tingkat kepentingan yang besar. John Rawls, filsuf Amerika Serikat yang dianggap salah satu filsuf politik terkemuka abad ke-20, menyatakan bahwa “Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada sistem pemikiran” . Tapi, menurut kebanyakan teori juga, keadilan belum lagi tercapai: “Kita tidak hidup di dunia yang adil”. Kebanyakan orang percaya bahwa ketidakadilan harus dilawan dan dihukum, dan banyak gerakan sosial dan politis di seluruh dunia yang berjuang menegakkan keadilan.
Definisi-definisi beberapa istilah umum dalam Ilmu Sosial Dasar
a)      Paradigma
Kumpulan tata nilai yang membentuk pola pikir seseorang sebagai titik tolak pandangannya sehingga akan membentuk citra subjektif seseorang mengenai realita dan akhirnya menentukan bagaimana sesorang menanggapi realita tersebut.
Contoh:
Fanatisme akan sebuah kelompok
b)     Teori
Sebuah sistem konsep abstrak yang mengindikasikan adanya hubungan diantara konsep-konsep tersebut yang membantu seseorang untuk memahanmi sebuah fenomena.
Contoh:
 Teori Fungsionalis ( Functionalist Theory )
Konsep yang berkembang dari teori ini adalah cultural lag (kesenjangan budaya). Konsep ini mendukung Teori Fungsionalis untuk menjelaskan bahwa perubahan sosial tidak lepas dari hubungan antara unsur-unsur kebudayaan dalam masyarakat. Menurut teori ini, beberapa unsur kebudayaan bisa saja berubah dengan sangat cepat sementara unsur yang lainnya tidak dapat mengikuti kecepatan perubahan unsur tersebut. Maka, yang terjadi adalah ketertinggalan unsur yang berubah secara perlahan tersebut. Ketertinggalan ini menyebabkan kesenjangan sosial atau cultural lag .
c)      Konsep
Merupakan penyusun utama dalam pembentukkan pengetahuan ilmiah dan filsafat pemikiran manusia.
Contoh:
Konsep UUD yang bertahan sampai saat ini.
d)    Prinsip
Kebenaran yang menjadi pokok dasar berfikir dan bertindak.
Contoh:Prinsip ekonomi dorongan atau alasan seseorang melakukan tindakan ekonomi dengan tujuan mendapatkan sesuatu
e)      Fakta
Suatu informasi yang bersifat nyata atau benar-benar terjadi,Fakta selalu disertai dengan bukti yang mendukung kebenarannya.

Contoh:
Fakta bahwa Aldof Hitler adalah pemimpin NAZI
f)       Hipotesis
Jawaban sementara terhadap masalah yang masih bersifat praduga karena masih harus dibuktikan kebenarannya.
Contoh:
Hipotesis sering sekali digunakan pada saat melakukan penelitian Ilmiah yang memuat dugaan-dugaan yang kita sangka pada sebuah penelitian.
g)      Postulat
Pernyataan yang disepakati benar tanpa perlu adanya pembuktian kebenaran.
Contoh:
Manusia sebagai makhluk sangat membutuhkan oxygen
h)     Persepsi
Sebuah proses saat individu mengatur dan menginterpretasikan kesan-kesan sensoris mereka guna memberikan arti bagi lingkungan mereka.
Contoh:
Persepsi manusia mengenai surga dan neraka

i)        Sistem
  1. Suatu kesatuan yang terdiri dari komponen atau elemen yang dihubungkan bersama untuk memudahkan aliran informasi,materi atau energi
  2. Kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan yang berada dalam suatu wilayah serta memiliki item-item penggerak
Contoh:
Negara merupakan sebuah sistem yang harus memiliki sekurang-kurangnya 3 komponen utama,yaitu: pemerintah yang berdaulat,wilayah yang dikuasai serta penduduk yang mendiami wilayahtersebut.
j)        Ratifikasi
Ratifikasi adalah proses adopsi perjanjian internasional, atau konstitusi atau dokumen yang bersifat nasional lainnya (seperti amandemen terhadap konstitusi) melalui persetujuan dari tiap entitas kecil di dalam bagiannya.
Contoh:
Ratifikasi Indonesia mengenai statuta Roma yang memuat dasar-dasar hukum internasional

Beberapa Masalah Sosial Penting
*Kemiskinan, yaitu suatu keadaan seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental ataupun fisiknya dalam kelompok tersebut.
*Kejahatan, terbentuk melalui proses imitasi pelaksanaan peran sosial, diferensiasi, identifikasi dan kekecewaan yang agresif.
*Disorganisasi Keluarga, yaitu keretakan hubungan keluarga karena anggota-anggotanya gagal memenuhi kewajiban-kewajiban yang sesuai dengan peranan sosialnya.
*Peperangan, yaitu bentuk pertentangan dahsyat sehingga merugikan dan menimbulkan disorganisasi baik di negara yang menang maupun di pihak yang kalah.
Mengapa masalah laten sosial bisa terjadi ?

Hal ini disebabkan adanya ketidak sesuaian tindakan dengan norma dan nilai yang berlaku di dalam msayarakat tersebut namun di anggap sebagai masalah yang biasa-biasa saja sehingga menjadi sebuah kebisaan yang berakar menjadi budaya dan dalam jangka waktu yang lama.

Lalubagaimanasolusinya?

Hal ini memerlukan kesabaran untuk memecahkan permasalahan ini dengan berbagai tahapan, karena jika langsung mengkritik dan mendobrak terhadap masalah tersebut, masyarakat sekitarpun tidak akan terima, tahapan berikut menurut saya yang harus dilakukan adalah
:
1. Tahap pendekatan masalah.
Dalam kasus ini kita tidak harus tergesa gesa atau mengambil keputusan dengan cepat, tetapi terlebih dahulu kita melakukan pendekatan secara langsung pada masalah atau masyarakat sekitar yang banyak melakukan penyimpangan
. 
2. Tahap pengenalan pengenalan masalah.
Setelah kita melakukan pendekatan secara bertahap dan teratur, langkah selanjutnya kita uji masalah-masalah yang ada dilingkungan sekitar. Kita cari apa sebab dari kasus-kasus yang ada dimasyarakat.

3. Tahap penyuluhan.
setelah kita mengetahui apa sebab sebab dari masalah yang ada pada masyarakat, baru kita melakukan penyuluhan tentang problem laten social tersebut.

4. Pemberian solusi misalkan dengan membuat peraturan dan perundangan.
Langkah terakhir setelah kita melakukan ketiga point diatas adalah dengan memberikan solusi solusi dari setiap masalah yang ada dissekitar ( lingkungan masyarakat ). Salah satu dari solusi menangani laten social problem adalah dengan membuat dan mentaati nilai dan norma yang ada dimasyarakat.



Adopsi, dalam proses penyuluhan (pertanian), pada hakekatnya dapat diartikan sebagai proses penerimaan inovasi dan atau perubahan perilaku baik yang berupa: pengetahuan (cognitive), sikap (affective), maupun ketrampilan (psycho-motoric) pada diri seseorang setelah menerima "inovasi" yang disampaikan penyuluh oleh masyarakat sasarannya.
Penerimaan di sini mengandung arti tidak sekadar "tahu", tetapi sampai benar-benar dapat melaksanakan atau menerap-kannya dengan benar serta menghayatinya dalam kehidupan dan usahataninya. Penerimaan inovasi tersebut, biasanya dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung oleh orang lain, sebagai cerminan dari adanya perubahan: sikap, pengeta-huan, dan atau ketrampilannya.
Pengertian adopsi sering rancu dengan "adaptasi" yang berarti penyesuaian. Di dalam proses adopsi, dapat juga berlangsung proses penyesuaian, tetapi adaptasi itu sendiri lebih merupakan proses yang berlangsung secara alami untuk melakukan penyesuaian terhadap kondisi lingkungan. Sedang adopsi, benar-benar merupakan proses penerimaan sesuatu yang "baru" (inovasi), yaitu menerima sesuatu yang "baru" yang ditawarkan dan diupayakan oleh pihak lain (penyuluh).
Masalah sosial dalam kalangan remaja merupakan fenomena yang semakin membimbangkan kita pada hari ini. Masalah seperti penagihan dadah, salah laku pelajar, pergaulan bebas dan sebagainya semakin berleluasa dan kian meningkat. terdapat banyak faktor yang menyebabkan berlakunya masalah sosial dalam kalangan remaja ini.
Salah satu daripanya ialah krisis keluarga yang menyebabkan kwalan sosial ke atas anak-anak diabaikan. Ibu bapa yang sering bertengkar sudah pasti tidak dapat mengasuh dan mendidik anak-anak mereka dengan baik dan sempurna. Keadaan ini bertambah buruk apabila ada dalam kalangan ibu bapa yang sibuk dengan tugas mereka di pejabat sehingga mengabaikan tanggungjawab mereka untuk mengawasi tingkah laku anak-anak mereka. Akibatnya, terdapat anak-anak yang melarikan diri daripada rumah, bergaul dengan rakan-rakan yang tidak sepatutnya  dan dari situlah bermulanya segala masalah sosial yang disebut di atas.
Di samping ibu bapa, masalah ini juga berpunca daripada pengaruh media massa. Dalam zaman teknologi yang berkembang pesat ini, para remaja mudah terdedah kepada pelbagai pengaruh yang negatif melalui internet dan banyak saluran yang laim sehingga minda mereka mudah diracuni oleh unsur-unsur yang kurang sihat. Di sampin itu, tuntutan modenisasi yang turut memberikan tekanan kepada remaja yang inginkan kebebasan untuk lepas daripada kongkongan ibu bapa dan menuntut hak individu juga memyebabkan remaja menolak autoriti ibu bapa yang mengawal tingkah laku mereka.
Masalah sosial ini juga berkait rapat dengan kemerosotan disiplin di sekolah. Disebabkan ada segelintir pihak sekolah yang tidak mengenakan hukuman yang tegas terhadap pelajar-pelajar yang melanggar disiplin, maka mereka ini akan berani untuk melakukan perbuatan yang sama. Tabiat buruk ini akan dibawa oleh mereka apabila meninggalkan bangku persekolahan kelak. Hal ini sudah tentu akan memberikan persepsi yang negatif oleh masyarakat terhadap mereka dan juga menyukarkan proses kemasukan ke pendidikan tinggi serta alam pekerjaan memandangkan testimoni pelajar oleh pihak sekolah bersifat negatif.
Untuk mengurangkan masalah sosial ini, ibu bapa haruslah mendidik dan menerapkan nilai-nilai murni serta ajaran-ajaran  agama yang sempurna kepada anak-anak supaya mereka menjadi remaja yang bermoral dan berakhlak mulia. Ibu bapa perlu memahami masalah anak-anak mereka dan menjadikan anak mereka sebagai kawan dan bukannya lawan. Selain itu, ahli keluarga yang lain seperti abang dan kakak juga berperanan dalam memastikan adik-beradik dipantau dengan sempurna.
Di peringkat sekolah pula, para guru amat berperanan dalam mengawal pelajar mereka daripada melakukan gejala sosial. Sikap lepas tangan sesetengah guru seharusnya tidak dicontohi kerana pelajar merupakan tanggungjawab mereka ketika berada di sekolah. Para guru juga harus peka dan sentiasa terbuka kepada mendengar masalah pelajar serta menasihati mereka secara baik. Di samping itu, disiplin di sekolah juga perlu dipertingkatkan. Hubungan erat antara ibu bapa dan guru perlu dipertingkatan supaya ibu bapa sentiasa mendapat maklum balas daripada guru yang mengajar anak-anak mereka. Pihak sekolah juga seharusnya memperhebatkan Unit Kaunseling untuk membantu pelajar-pelajar yang bermasalah supaya mereka tidak berasa terpinggir.
Kesimpulannya, untuk membendung masalah sosial ini daripada terus menular, pihak-pihak yang terlibat harus berganding bahu dan memainkan peranan masing-masing. Jika semua pihak dapat mengemblengkan usaha dalam mengatasi masalah sosial dalam kalangan remaja ini, sudah pasti masalah ini dapat diselesaikan sehingga ke pakar umbi.
PENGERTIAN TENTANG INOVASI

Inti dari seiap upaya pembangunan yang disampaikan melalui kegiatan penyuluhan, pada dasarnya ditujukan untuk tercapainya perubahan-perubahan perilaku masyarakat demi terwujudnya perbaikan mutu hidup yang mencakup banyak aspek, baik: ekonomi, sosial, budaya, ideologi, politik maupun pertahanan dan keamanan.
Karena itu, pesan-pesan pembangunan yang disuluhkan haruslah mampu mendorong atau mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan yang memiliki sifat "pembaharuan" yang biasa disebut dengan istilah "inovativensess".

Rogers dan Shoemaker (1971) mengartikan inovasi sebagai: ide-ide baru, praktek-praktek baru, atau obyek-obyek yang dapat dirasakan sebagai sesuatu yang baru oleh individu atau masyarakat sasaran penyuluhan. Sedang Lionberger dan Gwin (1982) mengartikan inovasi tidak sekadar sebagai sesuatu yang baru, tetapi lebih luas dari itu, yakni sesuatu yang dinilai baru atau dapat mendorong terjadinya pembaharuan dalam masyarakat atau pada lokalitas tertentu.
Pengertian "baru" disini, mengandung makna bukan sekadar "baru diketahui" oleh pikiran (cognitive), akan tetapi juga baru karena belum dapat diterima secara luas oleh seluruh warga masyarakat dalam arti sikap (attitude), dan juga baru dalam pengertian belum diterima dan dilaksanakan/diterapkan oleh seluruh warga masyarakat setempat.

Pengertian inovasi tidak hanya terbatas pada benda atau barang hasil produksi saja, tetapi mencakup: ideologi, kepercayaan, sikap hidup, informasi, perilaku, atau gerakan-gerakan menuju kepada proses perubahan di dalam segala bentuk tata kehidupan masyarakat. Dengan demikian, pengertian inovasi dapat semakin diperluas menjadi:

"Sesuatu ide, produk, informasi teknologi,kelembagaan, peri-laku, nilai-nilai, dan praktek-praktek baru yang belum banyak diketahui, diterima, dan digunakan/diterapkan/dilaksanakan oleh sebagian besar warga masyarakat dalam suatu lokalitas tertentu, yang dapat digunakan atau mendorong terjadinya perubahan-perubahan di segala aspek kehidupan masyarakat demi selalu terwujudnya perbaikan-perbaikaan mutu hidup setiap individu dan seluruh warga masyarakat yang ber-sangkutan". (Mardikanto, 1988)".

Pengertian "baru" yang melekat pada istilah inovasi tersebut bukan selalu berarti baru diciptakan, tetapi dapat berupa sesuatu yang sudah "lama" dikenal, diterima, atau digunakan/diterapkan oleh masyarakat di luar sistem sosial yang menganggapnya sebagai sesuatu yang masih "baru".
Pengertian “baru” juga tidak selalu harus datang dari luar, tetapi dapat berupa teknologi setempat (indegenuous technol-ogy) atau kebiasaan setempat (kearifan tradisional) yang sudah lama ditinggalkan


PENGERTIAN ADOPSI

Adopsi, dalam proses penyuluhan (pertanian), pada hakekatnya dapat diartikan sebagai proses penerimaan inovasi dan atau perubahan perilaku baik yang berupa: pengetahuan (cognitive), sikap (affective), maupun ketrampilan (psycho-motoric) pada diri seseorang setelah menerima "inovasi" yang disampaikan penyuluh oleh masyarakat sasarannya.
Penerimaan di sini mengandung arti tidak sekadar "tahu", tetapi sampai benar-benar dapat melaksanakan atau menerap-kannya dengan benar serta menghayatinya dalam kehidupan dan usahataninya. Penerimaan inovasi tersebut, biasanya dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung oleh orang lain, sebagai cerminan dari adanya perubahan: sikap, pengeta-huan, dan atau ketrampilannya.
Pengertian adopsi sering rancu dengan "adaptasi" yang berarti penyesuaian. Di dalam proses adopsi, dapat juga berlangsung proses penyesuaian, tetapi adaptasi itu sendiri lebih merupakan proses yang berlangsung secara alami untuk melakukan penyesuaian terhadap kondisi lingkungan. Sedang adopsi, benar-benar merupakan proses penerimaan sesuatu yang "baru" (inovasi), yaitu menerima sesuatu yang "baru" yang ditawarkan dan diupayakan oleh pihak lain (penyuluh).


Filosofi ilmu sosial mengetengahkan tentang penafsiran, konfirmasi, penjelasan dan reduksi yang muncul dalam teori sosial. Bagian awal filosofi ilmu sosial ini menguji/membahas tentang berbagai aspek dan isu yang muncul dalam ilmu sosial.
Filosofi Ilmu Sosial menjadi penting karena telah mencatat isu filosofis yang mempunyai urgensi besar bagi berbagai praktisi ilmu sosial.
Dibandingkan dengan ilmu alam, ilmu sosial relatif lebih rentan. Dalam ilmu sosial, ada teori yang bersifat menjelaskan atau memprediksi secara mapan, seperti halnya teori relativitas atau mekanika kuantum dalam ilmu fisika, atau sintesis neo‑Darwinian dalam biologi. Kerentanan tersebut mencerminkan metodologi nilai sosial yang belum mapan, meskipun para sosiolog sudah mencoba mengeliminir kekeliruan metodologinya. Para sosiolog sudah mengemukakan penjelasan yang luas tentang perbedaan IImu sosial dan Ilmu alam. Para sosiolog semakin peka terhadap penemuan‑penemuan sosial ke arah penyimpangan ideologi dan kompleksitas masyarakat. Mereka mengakui bahwa penjelasan secara sistematis terhadap gejala sosial kadang‑kadang menyesatkan diri.Diakui pula bahwa diskusi dan pembahasan tentang isu‑isu sosial memang dirasa masih kurang.
Max Weber, seorang ahli sosiologi dari Jerman pernah menulis tentang metode dalam ilmu sosial. Tulisannya banyak mengupas hasil diskusi yang panjang tentang peran aspek‑aspek non‑ilmiah dan nilai‑nilai ilmu sosial, serta membantah pertanyaan tentang bagaimana fakta ilmu sosial harus dievaluasi. Dalam pandangan Weber, nilai‑nilai sosial merupakan bagian penting dari ilmu sosial. la juga mendukung pentingnya aspek politik dalam ilmu sosial. Menurut Weber, ilmu sosial tidak mungkin lepas dari nilai (value‑freedom).
Sementara itu, dalam, Historical Explanation in the Social Sciences, John Watkins menjelaskan bahwa prinsip‑prinsip metodologi sangat berpengaruh terhadap penelitian‑penelitian ilmiah dalam ilmu sosial. Namun, menurutnya prinsip‑prinsip itu ternyata belum cukup menjamin keberhasilan pengembangan ilmu sosial secara, ilmiah. Dalam hal ini, diperlukan juga aturan‑aturan formal dari suatu lembaga, terutama berkaitan dengan kebutuhan materi untuk mengembangkan ilmu sosial. la juga mengemukakan tentang prinsip metodhological individualism. Prinsip ini menjelaskan bahwa diperlukan bukti‑bukti mendasar untuk menjelaskan tentang gejala‑gejala sosial (seperti inflasi atau tiadanya pengangguran) sehingga diperoleh suatu kesimpulan dari hubungan antar individu. Watkins juga berpendapat bahwa manusia merupakan satu‑satunya agen dalam sejarah dan tidak ada faktor lain yang melebihi manusia biasa di dalam sejarah.
Dalam hal ini, Watkins mengemukakan dua alasan:
Pertama, metodhological individualism tidak melarang pembentukan karakteristik individual.
Kedua, metodhological individualism tidak membuktikan kebenarannya dengan terminologi holisme kemasyarakatan (sociological holism).
Watkins menghubungkan antara prinsip metodologi dengan metodhological individualism. la sepertinya tidak percaya bahwa prinsip metodhological individualism dapat mengenal obyek melalui praduga, tanpa menyembunyikan fakta empiris. Dalam. hal ini, Watkins memanfaatkan dugaan testabilitas. la mengikuti pandangan , bahwa suatu teori dikatakan teruji jika telah dibuktikan dengan bukti‑bukti penelitian empiris. Suatu definisi yang testabel akan menghasilkan teori yang ilmiah jika bisa diuji secara logika dengan berbagai observasi. Pertimbangan tersebut berlaku juga pada prinsip metodhological individualism sebagai konsekuensi dari kepedulian terhadap doktrin empiris. Dari pendapat Watkins dapat disimpulkan bahwa untuk menjawab isu‑isu sosial secara metodologis tidak bisa dijawab dengan praduga saja, namun metodologinya harus mempertimbangkan peraturan dan pengalaman‑pengalaman faktual untuk menjawab isu‑isu masyarakat dan mengembangkan ilmu‑ilmu sosial.
Richard Miller mempertentangkan pandangan tentang metodologi melalui pengujian doktrin yang dibahas oleh Max Weber dan John Watkins dalam tulisan : value freedom and metodhological individualism.
Dengan isu value freedom atau bebas nilai, Miller mengemukakan argumen:
Pertama alasan Weber tentang evaluasi terhadap komponen isi dari penjelasan ilmiah dan pelanggaran atas komitmen yang tidak ilmiah dalam pengakuan kebenaran teori, adalah tidak empiris dan tidak cukup ilmiah. la mendasarkan pada prinsip psikologi sosial, yaitu bahwa kekuatan sosial dapat menciptakan tekanan terhadap suatu teori sosial sehingga jauh dari kebenaran. Sedangkan tekanan balik atau dukungan dari teori sosial akan mampu merubah keadaan yang tetap (status quo)menjadi lebih produktif (ilmiah). Menurut Miller secara hipotesis penjelasan yang terbaik bagi ilmu sosial adalah yang bersifat tidak mengevaluasi.
Kedua, dalam keadaan yang terkait dengan pemantapan teori sosial perlu komitmen untuk melakukan perubahan sosial dalam rangka melawan masyarakat yang konservatif.
Miller juga berpendapat bahwa metodhological individualism dipengaruhi oleh suatu doktrin yang tidak benar dan secara, total tidak masuk akal. Sebenarnya prinsip Watkins bahwa penjelasan‑penjelasan terhadap gejala sosial yang akhirnya harus menuju kepada aspek psikologi, sumber daya dan hubungan antar individu adalah sangat bagus.
Namun, terminologi yang bersifat individu cenderung memberikan penjelasan yang tidak cukup obyektif. Oleh karena itu, Miller berpendapat bahwa dalam metodhological individualism perlu juga mempertimbangkan peran masyarakat empiris yang kompleks
Miller juga mempertimbangkan dua pertanyaan yang merupakan isu umum, yaitu apakah suatu hipotesis dikatakan benar jika diikuti dengan penjelasan yang cukup ? ; apakah suatu hipotesis dapat diterima dengan memecahkan data empiris yang ada ? Berkenaan dengan pertanyaan tersebut, Miller menolak model positivist’s covering‑law dan kriteria pemahaman hermeneutic. Selanjutnya ia juga mendukung tradisi interpretasi yang diambil di antara Dilthey ke Habermas sebagai pemandu dalam memberikan penjelasan sosial.
Uraian akhir dari bagian ini menjelaskan pendapat Peter Railton tentang Marx and Objectivity of Science. Menurut Peter Railton, artikel Weber, Watkins dan Miller membahas tentang isu yang muncul dari suatu pertimbangan usaha untuk memperoleh pengetahuan ilmiah di bawah kendali masyarakat. Sementara itu, dalam pengembangan pengetahuan ilmiah sendiri terdapat institusi sosial yang dapat menjadi pokok penelitian ilmiah. Di sini dikenal sosiologi pengetahuan yang mengarahkan dan membangun lembaga ilmiah dengan mempertimbangkan konteks sosial. Kekuatan lembaga ilmiah ini diharapkan dapat menghasilkan informasi penting dalam penelitian ilmiah. Sebagai sarana ilmu sosial, ia mengusulkan pembongkaran akar ilmu sosial dengan pengembangan ilmiah, obyektif dan netral. Gagasannya ini telah diikuti dari berbagai perspektif, seperti satu tema perjuangan wanita yang mengkritik ilmu pengetahuan.
Satu versi dari sosiologi pengetahuan sering berpikir untuk mengikuti ideologi Marxis , yang mana ideologi tersebut dominan dalam masyarakat. Termasuk gagasan Railton ingin melayani kelompok yang dominan dalam masyarakat, meskipun tidak harus berbau Marxist. Railton menawarkan suatu solusi naturalistik yang ilmiah dan obyektif dengan membawa masyarakat ke arah industri kapitalistis, tanpa mengikis Marxist. Railton melihat kemungkinan kekuatan sosial yang mampu mengendalikan kebenaran, seperti kekuatan sosial yang sedang memutar‑balikkan kebenaran. Untuk mempertahankan analisisnya, Railton menawarkan suatu hipotesis yang obyektif dengan tidak mengesampingkan ketergantungan teori dan metodologi. la juga mempertimbangkan aspek‑aspek sosial yang kontekstual (empiris) untuk menguji hipotesisnya.
etiap ilmu mempunyai filsafatnya. Sebagaimana kita ketahui adanya filsafat hukum, filsafat sejarah, filsafat teknik dan demikian pula denagan filsafat ilmu social. Sebab filsafat merupakan suatu landasan pemikiran dari ilmu-ilmu yang bersangkutan, titik tolak bagaimana ilmu itu bermaksud mencapai tujuannya, yaitu kebenaran.
Selain itu, filsafat adalah syarat dari legalitas suatu ilmu pengetahuan. suatu ilmu pengetahuan tidak dapat dinyatakan sebagai disiplin ilmu bila didalamnya tidak ditemukan landasan ontologi, epistimologi, dan aksiologinya.
Dalam makalah ini kami menyajikan sedikit ulasan tentang filsafat ilmu social, yang dibahas satu per satu tentang sifat dasar dari realiatas yang terdalam (ontologi), hakikat (epistimologi), dan nilai yang mendasari asumsi-asumsi (aksiologi) ilmu social.
Ontologi Ilmu Sosial
Ontolgi secara etimlogis berasal dari bahasa yunani onto yang berarti sesuatu yang sungguh-sungguh ada, kenyataan yang sesungguhnya, dan logos yang berarti studi tentang, teori yang dibicarakan (Angeles,1981). Secara terminologis, ontologi diartikan dengan meta fisika umum. yaitu cabang filsafat yang mempelajari tentang sifat dasar dari kenyataan yang terdalam membahas asas-asas rasional dari kenyataan (Kattsoff,1986). Degan kata lain, permasalahan ontologi adalah menggali sesuatu dari yang nampak.
Pada dasarnya, ilmu merupakan hasil dari penjajahan dalam pengalaman manusia. Sehinhgga, ilmu bersifat terbatas pada pengalaman manusia itu sendiri. Ilmu tidak dapat memaparkan persoalan yang tidak berwujud.
Dalam persoalan ontologi, sebuah objek dapat dipaparkan melalui lima butir pertanyaan. Pertama, objek tersebut bersifat satu atau banyak. Kedua, bersifat transenden atau imanen. Ketiga, permanen atau baharu (berubah-ubah). Keempat, jasmani atau rohani. Kelima, objek tersebut bernilai atau tidak.
Dalam struktur realitas, ilmu sosial berada dalam level ke empat. yakni merupakan ilmu yang membahas dalam ranah relasi atas manusia. Dari situ dapat diketahui bahwa ilmu sosial merupakan ilmu yang ersifat banyak (plural). Sebab, ilmu sosial berjalan dalam pembahasan relasi atas manusia, dan pada dasarnya, manusia bersifat kompleks, berbeda satu sama lain. Setiap pribadi memiliki modelnya masing-masing, oleh karena itu, ilmu sosial pun bersifat banyak atau plural.
Setelah mengetahui objek dari ilmu social, dapat ditarik kesimpulan bahwa ilmu s0sial merupakan ilmu yang berada dalam struktur-struktur, dan mengambil bagian yang menentukan proses alam (imanen). Ilmu sosia bukan lah sessuatu yang berada jauh di atas hal-hal yang terdapat dalam pengalaman (transenden), seperti halnya Tuhan.
Berbeda dengan ilmu alam, ilmu sosial cendrung bersifat berubah-ubah, ilmu sosial memandang kebenaran tidak berifat mutlak, yang ada hanya mendekati kebenaran, Ia bergantung pada keadaan objek yang dikaji, dalam ilmu sosial saat ini, belum tentu sama dengan beberapa abad lalu atau yang akan datang. Ilmu sosial tidak dapat diprediksi seperti halnya ilmu alam karena objek-objek dari ilmu sosial berbeda dalam bentuk, struktur serta sifatnya.
Dalam buku filsafat komunikasi tulisan Dr. phil. Astrid S. Susanto, 1976. disebutkan, bahwa ilmu sosial bergerak dalam bidang mencari kebenaran ataupun pembentukan pikiran-pikiran yang dianggap benar dalam masyarakat. Sehingga dapat dilihat bahwa ilmu sosial berada dalam ruang lingkup rohani atau tidak nampak.
Dalam pertanyaan terakhir dalam ontologi yang memprtanyakan masalah bernilai atau tidaknya sebuah objek, tentunya ilmu sosial sangat bernilai. Hal itu dapat diketahui dengan berkembangbya ilmu sosial saat ini. Selain itu, ilmu sosial selalu menjadi kajian dan perdebatan hangat dalam forum-forum diskusi. Mengingat kembali objeknya bersifat unik dan sangat kompleks.
A.                   Epistimologi Ilmu Sosial
Epistimologi berasal dari bahasa yunani episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti ilmu atau teori. Artinya, epistimologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang hakikat sebuah pengetahuan. Dapat juga dikatakan bahwa epistimologi bekerja dalam ranah metodologis sebuah ilmu pengetahuan.
Ada dua pandangan tentang ilmu social khususnya yaitu.
1.Ilmu social bersifat universal. Artinya, ilmu social tidak tergantung pada apa, siapa, kapan dan dimana dikembangkan.
2.Klaim universalitas metode ilmu social itu hanyalah klaim naïf. Pandangan ini beranggapan bahwa ilmu social berkembang seiring perkembangan masyarakat. Artinya ilmu social tumbuh dan berkembang untuk menjawab problematika yang sedang dihadapi masyarakat. Universalitas tidak harus mengorbankan unsure keunikan suatu budaya.
Tapi pada dasarnya, Dalam kajian epistimologi, terdapat tiga hal yang menjadi acuan, yakni tentang asal muasal sebuah pengetahuan tersebut atau sumber pengetahuan, metode yang digunakan dalam menemukan pengetahuan, dan menguji validitas atau menguji pengetahuan tersebut.
Mengenai sumber suatu pengetahuan, ada dua sumber dasar yang melahirkan adanya sebuah ilmu pengetahuan, yaitu sumber pengetahuan yang berasal dari fisik (empiris), dan sumber pengetahuan yang berasal dari pemikiran (rasional).
Seperti yang dipaparkan oleh bapak sosiologi, Aguste comte, bahwa ilmu sosial adalah ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala yang muncul dalam masyarakat serta apa dampaknya. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa ilmu sosial bersumber dari sebuah pemikiran atau rasional. Sebab pada dasarnya yang dipelajari adalah inti dari kejadian atau gejala yang terjadi. Gejala-gejala yang ada dalam masyarakat merupakan sebuah dampak atau efek dari sesuatu, dan ilmu sosial mempelajari tentang sesuatu itu.
Secara metodis, ilmu sosial menggunakan metode induktif, dan metode deduktif. Ilmu sosial menggunakan kedua-duanya dalam menemukan sebuah ilmu pengetahuan.
Metode induktif yakni metode yang dilakukan dengan menarik suatu kesimpulan umum berdasarkan penemuan-penemuan khusus. Sedangkan metode deduktif dilakukan dengan menarik sesuatu yang khusus dari yang umum.
Dalam mempelajari tentang gejala-gejala sosial, biasanya dilakukan dengan menggunakan metode induktif, sebab metode induktif lebih mengacu pada sesuatu yang nampak (empiris), dan sebuah gejala merupakan hal yang empirik. Sedangkan metode deduiktif bersifat rasio, dan biasanya digunakan untuk meguak apa yang ada di balik gejala tersebut.
Untuk masalah faliditas ilmu sosial, tentunya sudah terbukti dengan keberadaan ilmu sosial sendiri saat ini. Dimana dalam ilmu ssia telah menunjukkn koherensi dan korespondensi. Yakni antara pernyataan yang dikeluarkan, singkron dengan realitas yang ada.
Aksiologi Ilmu Sosial
Aksiologi secara etimologis berasal dari kata axios yang berarti nilai dan logos yang berarti ilmu atau teori. Jadi aksiologi dapat diartikan sebagai ilmu atau teori yang mempelajari hakikat nilai. Landasan aksiologis yang dimaksud adalah pandangan tentang nilai yang mendasari asumsi asumsi ilmu social.
Polemic yang berkepanjangan yang menandai perkembangan ilmu-ilmu social adalah berkaitan dengan klaim bebas dan tidak bebas nilai dalam ilmu- ilmu social. Bebas nilai artinya ilmu social harus mengacu pada ilmu-ilmu alam yang berusaha menangkap hukum- hukum alam yang objektif yang tidak tercemari oleh kepentingan –kepentingan manusiawi. Ilmu social hendaknya mencari hukum-hukum sebagaimana dalam ilmu alam yang dapat diterapkan oleh siapa saja, dimana saja,dan kapan saja secara objektif. Kemudian pandangan bahwa ilmu social tidak bebas nilai atau tidak dapat dilepaskan dari nilai karena ilmu social tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, yang mau tidak mau terkait dengan nilai.
Problem tentang netralitas nilai dalam perspektif paradigma ilmu social adalah bahwa ilmu social tidak dapt dilepaskan dari nilai. Pertimbangannya adalah bahwa ilmu social pertama tumbuh dan berkembang dalam suatu kerangka budaya yang lekat dengan pertimbangan nilai. Argument ini diperkuat dengan kenyataan bahwa fenomena social berbeda dengan fenomena fisik yang bersifat mekanik.
Pada dasarnya, etos ilmu social adalah mencari kebenaran objektif atau mencari realism, yaitu suatu istilah yang salah satu artinya menunjuk pada suatu pandangan objektif tentang realitas (Gunnar Myrdal, 1981).
Objektivitas ilmu social ini adalah memandang kenyataan sebagaimana adanya (das sein) dengan menggunakan metode serta toeri social yang berdasarkan realitas objektif yang dijadikan lapangan penyelidikan. Lebih khusus lagi ilmu social dapat membebaskan diri dari warisan peninggalan yang kuat dari penulisan penulisan sebelumnya dalam bidang ilmiah yang digarap kadang kala mengandug orientasi normative dan teologis serta berlandaskan filsafat moral metafisika tentang hukum alam serta utilitarianisme yang menjadi sumber terbentuknya teori social. Selanjutnya pengaruh- pengaruh seluruh lingkungan kebudayaan, sosisal, ekonomi, politik dari masyarakat tempat ilmu social itu ditumbuh-kembangkan (Gunnar Myrdal, 1981), dan terakhir, pengaruh yang bersumber dari kepribadian sendiri, seperti yang dibentuk oleh tradisi- tradisi dan lingkungannya.
Pandangan yang benar adalah bahwa ilmu social harus membatasi dari muatan emosional, dengan lebih menekankan muatan rasional dalam memutuskan suatu masalh. Tujuan ilmu social adalah untuk menjelaskan , dan mengontrol fenomena social , namun semua itu diletakkan pada tujuan yang mulia, yaitu untuk kebaikan umat manusia. Nilai nilai social yang berkembang berdasarkan atas beberapa prinsip, diantaranya persamaan dan kebersamaan, keadilan social serta keterbukaan dan musyawarah.
Kesimpulan
Dari pemaparan singkat di atas, dapat diketahui tentang wujud atau sifat dasar , hakikat, dan hakikat nilai yang terdapat dalam ilmu social. Dan secara garis besarnya, dapat difahami tentang eksistensi ilmu social.
Sebagaimana tertera di atas, bahwa ilmu sosial merupakan ilmu yang berkebang berdasarkan rasio. Sedangkan hal yang bersifat empirik adalah merupakan sebuah dampak atau efek dari sesuatu, dan ilmu social berada dalam pembahasan sesuatu itu.
Secara metodologis, dalam ilmu social penggunaan metode digunakan secara kompleks. Hal itu dekarenakan objek ilmu social yang bersifat berebeda secara fisik, struktur, serta sifatnya.
Dalam tataran nilai, pada dasarnya ilmu social sama dengan ilmu yang lain. Yakni pengabdian kepada masyarakat. Perbedaannya hanya pada bidang geraknya, ilmu social bergerak dalam bidang mencari kebenaran a priori ataupun pembentukan pikiran-pikiran yang dianggap benar di masyarakat.
Menurut Soerjono Soekanto masalah sosial adalah suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial. Jika terjadi bentrokan antara unsur-unsur yang ada dapat menimbulkan gangguan hubungan sosial seperti kegoyahan dalam kehidupan kelompok atau masyarakat.
     
      Masalah sosial muncul akibat terjadinya perbedaan yang mencolok antara nilai dalam masyarakat dengan realita yang ada. Yang dapat menjadi sumber masalah sosial yaitu seperti proses sosial dan bencana alam. Adanya masalah sosial dalam masyarakat ditetapkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan khusus seperti tokoh masyarakat, pemerintah, organisasi sosial, musyawarah masyarakat, dan lain sebagainya.

Masalah sosial dapat dikategorikan menjadi 4 (empat) jenis faktor, yakni antara lain :


1. Faktor Ekonomi : Kemiskinan, pengangguran, dll.
2. Faktor Budaya : Perceraian, kenakalan remaja, dll.
3. Faktor Biologis : Penyakit menular, keracunan makanan, dsb.
4. Faktor Psikologis : penyakit syaraf, aliran sesat, dsb.


1. Faktor Ekonomi, faktor ini merupakan faktor terbesar terjadinya masalah sosial. Apalagi setelah terjadinya krisis global PHK mulai terjadi di mana-mana dan bisa memicu tindak kriminal karena orang sudah sulit mencari pekerjaan.
2.Faktor Budaya, Kenakalan remaja menjadi masalah sosial yang sampai saat ini sulit dihilangkan karena remaja sekarang suka mencoba hal-hal baru yang berdampak negatif seperti narkoba, padahal remaja adalah aset terbesar suatu bangsa merekalah yang meneruskan perjuangan yang telah dibangun sejak dahulu.
3.Faktor Biologis, Penyakit menular bisa menimbulkan masalah sosial bila penyakit tersebut sudah menyebar disuatu wilayah atau menjadi pandemik.
4.Faktor Psikologis, Aliran sesat sudah banyak terjadi di Indonesia dan meresahkan masyarakat walaupun sudah banyak yang ditangkap dan dibubarkan tapi aliran serupa masih banyak bermunculan di masyarakat sampai saat ini.

       Masalah sosial menemui pengertiaannya sebagai sebuah kondisi yang tidak diharapkan dan dianggap dapat merugikan kehidupan sosial serta bertentangan dengan standar sosial yang telah disepakati. Keberadaan masalah sosial ditengah kehidupan masyarakat dapat diketahui secara cermat melalui beberapa proses dan tahapan analitis, yang salah satunya berupa tahapan diagnosis. Dalam mendiagnosis masalah sosial diperlukan sebuah pendekatan sebagai perangkat untuk membaca aspek masalah secara konseptual. Eitzen membedakan adanya dua pendekatan yaitu person blame approach dan system blame approach (hlm. 153).
      Person blame approach merupakan suatu pendekatan untuk memahami masalah sosial pada level individu. Diagnosis masalah menempatkan individu sebagai unit analisanya. Sumber masalah sosial dilihat dari faktor-faktor yang melekat pada individu yang menyandang masalah. Melalui diagnosis tersebut lantas bisa ditemukan faktor penyebabnya yang mungkin berasal dari kondisi fisik, psikis maupun proses sosialisasinya.
      Sedang pendekatan kedua system blame approach merupakan unit analisis untuk memahami sumber masalah pada level sistem. Pendekatan ini mempunyai asumsi bahwa sistem dan struktur sosial lebih dominan dalam kehidupan bermasyarakat. Individu sebagai warga masyarakat tunduk dan dikontrol oleh sistem. Selaras dengan itu, masalah sosial terjadi oleh karena sistem yang berlaku didalamnya kurang mampu dalam mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi, termasuk penyesuaian antar komponen dan unsur dalam sistem itu sendiri.
       Dari kedua pendekatan tersebut dapat diketahui, bahwa sumber masalah dapat ditelusuri dari ”kesalahan" individu dan "kesalahan" sistem. Mengintegrasikan kedua pendekatan tersebut akan sangat berguna dalam rangka melacak akar masalah untuk kemudian dicarikan pemecahannya. Untuk mendiagnosis masalah pengangguran misalnya, secara lebih komprehensif tidak cukup dilihat dari faktor yang melekat pada diri penganggur saja seperti kurang inovatif atau malas mencari peluang, akan tetapi juga perlu dilihat sumbernya masalahnya dari level sistem baik sistem pendidikan, sistem produksi dan sistem perokonomian atau bahkan sistem sosial politik pada tingkat yang lebih luas.

        Anak jalanan: Dilema? Sebenarnya isltilah anak jalanan pertama kali diperkenalkan di Amerika Selatan atau Brazilia yang digunakan bagi kelompok anak-anak yang hidup dijalanan umumnya sudah tidak memiliki ikatan tali dengan keluarganya.Anak-anak pada kategori ini pada umumnya sudah terlibat pada aktivitas-aktivitas yang berbau criminal. Kelompok ini juga disebut dalam istilah kriminologi sebagai anak-anak dilinguent. Istilah ini menjadi rancu ketika dicoba digunakan di negara berkembang lainnya yang pada umumnya mereka masih memiliki ikatan dengan keluarga. UNICEF kemudian menggunakan istilah hidup dijalanan bagi mereka yang sudah tidak memiliki ikatan keluarga, bekerja dijalanan bagi mereka yang masih memiliki ikatan dengan keluarga. Di Amerika Serikat juga dikenal istilah Runauay children yang digunakan bagi anak-anak yang lari dari orang tuanya.
        Walaupun pengertian anak jalanan memiliki konotasi yang negatif di beberapa negara, namun pada dasarnya dapat juga diartikan sebagai anak-anak yang bekerja dijalanan yang bukan hanya sekedar bekerja di sela-sela waktu luang untuk mendapatkan penghasilan, melainkan anak yang karena pekerjaannya maka mereka tidak dapat tumbuh dan berkembang secara wajar baik secara jasmnai, rohani dan intelektualnya. Hal ini disebabkan antara lain karena jam kerja panjang, beban pekerjaan, lingkungan kerja dan lain sebagainya.
         Anak jalanan ini pada umumnya bekerja pada sector informal. Phenomena munculnya anak jalanan ini bukanlah karena adanya transformasi system social ekonomi dan masyarakat pertanian ke masyarakat pra-industri atau karena proses industrialisasi. Phenomena ini muncul dalam bentuk yang sangat eksploratif bersama dengan adanya transformasi social ekonomi masyarakat industrialsasi menuju masyarakat yang kapitalistik.
         Kaum marjinal ini selanjutnya mengalami distorsi nilai, diantaranta nilai tentang anak. Anak, dengan demikian bukan hanya dipandang sebagai beban, tetapi sekaligus dipandang sebagai factor ekonomi yang bisa dipakai untuk mengatasi masalah ekonomi keluarga. Dengan demikian, nilai anak dalam pandangan orang tua atau keluarga tidak lagi dilihat dalam kacamata pendidikan, tetapi dalam kepentingan ekonomi. Sementara itu, nilai pendidikan dan kasih saying semakin menurun. Anak dimotivasi untuk bekerja dan menghasilkan uang.
Dalam konteks permasalahan anak jalanan, masalah kemiskinan dianggap sebagai penyebab utama timbalnya anak jalanan ini. Hal ini dapat ditemukan dari latar belakang geografis, social ekonomi anak yang memang datang dari daerah-daerah dan keluarga miskin di pedesaan maupun kantong kumuh perkotaan. Namun, mengapa mereka tetap bertahan, dan terus saja berdatangan sejalan dengan pesatnya laju pembangunan?
         Ada banyak teori yang bisa menejlaskan kontradiksi-kontradiksi antara pembangunan dan keadilan-pemerataan, desa dan kota, kutub besar dan kutub kecil, sehingga lebih jauh bia terpetakan lebih jela persoalan hak asasi anak. Meskipun demikian, kemiskinan bukanlah satu-satunya factor penyebab timbulnya masalah anak jalanan. Dengan demikian, adanya sementara anggapan bahwa masalah anak jalanan akan hilang dengan sendirinya bila permasalahan kemiskinan ini telah dapat diatasi, merupakan pandangan keliru.


Masyarakat Dan Negara :
       Parillo menyatakan, kenyataan paling mendasar dalam kehidupan sosial adalah bahwa masyarakat terbentuk dalam suatu bangunan struktur. Melalui bangunan struktural tertentu maka dimungkinkan beberapa individu mempunyai kekuasaan, kesempatan dan peluang yang lebih baik dari individu yang lain (hlm. 191). Dari hal tersebut dapat dimengerti apabila kalangan tertentu dapat memperoleh manfaat yang lebih besar dari kondisi sosial yang ada sekaligus memungkinkan terpenuhinya segala bentuk kebutuhan, sementara dipihak lain masih banyak yang kekurangan.
      Masalah sosial sebagai kondisi yang dapat menghambat perwujudan kesejahteraan sosial pada gilirannya selalu mendorong adanya tindakan untuk melakukan perubahan dan perbaikan. Dalam konteks tersebut, upaya pemecahan sosial dapat dibedakan antara upaya pemecahan berbasis negara dan berbasis masyarakat. Negara merupakan pihak yang sepatutnya responsif terhadap keberadaan masalah sosial. Perwujudan kesejahteraan setiap warganya merupakan tanggung jawab sekaligus peran vital bagi keberlangsungan negara. Di lain pihak masyarakat sendiri juga perlu responsif terhadap masalah sosial jika menghendaki kondisi kehidupan berkembang ke arah yang semakin baik.
        Salah satu bentuk rumusan tindakan negara untuk memecahkan masalah sosial adalah melalui kebijakan sosial. Suatu kebijakan akan dapat dirumuskan dengan baik apabila didasarkan pada data dan informasi yang akurat. Apabila studi masalah sosial dapat memberikan informasi yang lengkap dan akurat maka bararti telah memberikan kontribusi bagi perumusan kebijakan sosial yang baik, sehingga bila diimplementasikan akan mampu menghasilkan pemecahan masalah yang efektif.
        Upaya pemecahan sosial sebagai muara penanganan sosial juga dapat berupa suatu tindakan bersama oleh masyarakat untuk mewujudkan suatu perubahan yang sesuai yang diharapkan. Dalam teorinya Kotler mengatakan, bahwa manusia dapat memperbaiki kondisi kehidupan sosialnya dengan jalan mengorganisir tindakan kolektif. Tindakan kolektif dapat dilakukan oleh masyarakat untuk melakukan perubahan menuju kondisi yang lebih sejahtera.
Cara Mengatasi Masalah Sosial di Masyarakat dengan Berbagai Solusi
  • Caraspot
Pada dasarnya cara mengatasi masalah sosial harus dimulai dari menuntaskan masalah kualitas hidup dari tiap individu. Jika hal ini dapat dilaksanakan secara totalitas, baik pada hal yang berbentuk fisik maupun non fisik maka manusia secara keseluruhan akan terhindar dari masalah sosial yang dapat menggangu ketentaraman hidup. Pengertian masalah sosial adalah suatu perbedaan antara apa yang diharapkan dan kenyataan yang terjadi atau terjadinya kesenjangan antara keadaan atau situasi yang ada dengan situasi yang menurut banyak orang yang seharusnya terjadi (Jenssen, 1992). Masalah sosial ini oleh banyak orang dipandang sebagai sesuatu keadaan yang tidak diinginkan/diharapkan.
Jelaslah bahwa jika suatu kesenjangan terjadi pada masyarakat maka pada waktu itulah masalah timbul. Untuk mengatasi ini kita tidak boleh dengan serta merta menyalahkan pihak pemerintah, ketua RT, atau yang lainnya yang umumnya selama ini kita keliru bahwa merekalah yang seharusnya bertanggungjawab. Untuk bisa berhasil maka seyogyanya sekecil apa pun ‘sebab’ yang ada, dari hulu ke hilir, harus dicari solusinya. Yang paling utama dalam hal ini adalah pada kualitas hidup tiap individu dalam masyarakat.
Mengenai kualitas hidup ini Al-Qurthuby dalam salah satu tulisannya menjelaskan dari berbagai pendapat pakar, bahwa
  • Menurut Ibn ‘Abbas, Sa’id bin Jubair, ‘Atha dan al-Dahhak bahwa kehidupan yang baik dan berkualitas ditandai dengan rezeki yang halal.
  • ‘Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa kehidupan yang baik adalah al-qama’at yakni menerima dan merasa cukup apa adanya.
  • Petunjuk pada ketaatan, karena yang demikian itu membawa kepada keredhaan Allah swt. Pendapat ini diungkapkan oelh al-Dahhak.
  • Mujahid, Qatadah dan Ibnu Zaid berpendapat bahwa kehidupan yang berkualitas adalah surge.
  • Adapula yang berpendapat bahwa kehidupan yang berkualitas adalah sa’adat (kebahagiaan). Dan diriwayatkan pula dari Ibn ‘Abbas yakni kelezatan ketaatan dan sebagainya.
Solusi Cara Mengatasi Masalah Sosial di Masyarakat
Ada beberapa pendapat yang terlah mengulas soal problematika masalah sosial ini. Dan Menariknya karena semuanya Caraspot ambil dari data valid dan dari sumber penelitian pakarnya.
1. Menurut Tesis Drs. Saifuddin
Tesis beliau yang ditujukan sebagai tugas akhir untuk Program Pascasarjana yang dijalani yang mana diberi judul “Petunjuk Manusia tentang Kualitas Hidup Manusia” memberikan banyak penjelasan yang berkaitan dengan problematikan sosial ini. Sebagai intisari dari hasil penelitiannya maka ada 3 hal yang wajib ditingkatkan setiap individu agar dapat hidup lebih baik,yaitu:
a. Peningkatan Keimanan
Peningkatan iman ini berlaku pada semua penganut agama. Walau dalam ajaran Islam dikemukakan bahwa iman merupakan dasar utama diterimanya segala amal yang dilakukan. Akan tetapi tidak hanya sebatas itu, iman juga merupakan sumber dinamika atau etos yang menggerakkan manusia dalam setiap tingkah lakunya.
Dalama Al-Qur’an disebutkan bahwa “Dial ah (Allah) yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada),…” (QS. Al-Fath ayat 4) .
Dapat dipahami dari ayat di atas bahwa di antara upaya yang dapat ditempuh manusia untuk mempertahankan diri secara konsisten agar dapat berimana secara terus-menerus adalah dengan jalan manusia harus berusaha menciptakan suasan lingkungan yang memungkinkannya hidup tentram dengan iman yang telah dimilikinya. Dalam hal ini manusia harus berusaha menjadikan dirinya sebagai subyek yang menentukan perkembangan dan perobahan masyarakatnya ke arah masyarakat yang aman dan sejahtera, masyarakat damai dan bukan obyek yang selalu defensive atau hanyut terbawa arus. Dengan kata lain dapat dipahami juga bahwa untuk cara mengatasi masalah sosial maka seseorang harus terus meningkatkan keimanannya karena dengan keimanan yang terus diusahakan berarti ia juga harus terus berusaha meningkatkan taraf hidupnya menjadi hidup yang lebih berkualitas.
Atas dasar di atas maka manusia berkewajiban untuk menciptakan suasan keimanan yang memungkinkan untuk hidup secara tentram dengan iman yang terus menerus, yakni dengna iman yang tidak hanya berarti pelaksanaan keagamaan dan kepercayaan yang terbatas pada rukun iman yang enam, tetapi juga iman yang memberi makna sebagai landasan esensial dan sebagai motivasi amal yang mempunyai pantulan dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian, iman perlu ditingkatkan sebagai landasan dan motivasi dalam beramal dan untuk mencapai kehiduapn yang sempurna dan yang lebih luhur.
b. Peningkatan Akhlaq al-Karimah
Akhlak merupakan bagian dari iman. Semakin tinggi keimanan manusia, mak aakan semakin tinggi nilai akhlak yang dimilikinya. Sebaliknya iman tanpa melahirkan akhlak atau moralitas, menandakan bahwa iman tersebut belum sempurna.  Bahkan, jika kita memahami hadis tentang orang yang nantinya dianggap bangkrut di hari kiamat karena selalu berprilaku buruk walau amal ibadahnya sangat banyak, maka bisa dikatakan bahwa nilai Akhlaq al-Karimah lebih tinggi kedudukannya dari pada amal-amal saleh yang dilakukan.
Di antara akhlak-akhlak yang perlu ditingkatkan dalam upaya peningkatan kualitas hidup manusia dan dalam hal ini sebagai cara mengatasi masalha sosial adalah pada akhlak yang mempunyai integritas pribadi dan akhlak yang mempunyai integritas dengan sesama makhluk.
Manusia yang berakhlak mulia, selalu melaksanakan kewajibannya, memberikan hak yang harus diberikan kepada yang berhak menerimanya. Ia melakukan kewajibannya terhadap dirinya sendiri, yang menjadi haknya, terhadap Tuhannya, yang menjadi hak Tuhannya, terhada sesame manusia, yang menjadi hak manusia lainnya, terhadap makhluk lain, yang menjadi haknya, terhadap alam dan lingkungannya dan terhadap segala yang ada secara harmonis. Ia akan menempati martabat yang mulia dalam pandangan masyarakat, dan mengisi dirinya dengna sifat-sifat yang terpuji dan menjauhkan dirinya dari sifat-sifat yang tercela. (Lihat, Dr. H. Rahmat Djatnika, Sistem Ethika Islami (Akhlak Mulia), Pustaka Islam, Surabaya, 1987, h. 11-12)
c. Peningkatan Amal Saleh
Amal saleh bukan hanya salat, puasa, mengaji dan segala yang berkaitan dengan perintah agama secara jelas, tapi juga segala hal dalam kehidupan ini yang bernilai baik dan positif. Bahkan dalam pandangan umum dapat dikatakan bahwa amal saleh merupakan perbuatan yang dilakukan dengan sadar dan mendatangkan manfaat serta menolak mudharat yang harus diukur dengan nilai-nilai Qur’ani.
Melakukan amal saleh dalam kaitannya dalam solusi mengatasi masalah sosial bisa dalam berbagai objek, baik itu kepada Tuhan, sesama manusia dan juga pada Bumi atau alam.  Amal saleh terhadap bumi adalah dengan mengolah bumi menjadi lebih baik dan bermanfaat secara berkesinambungan, sebab mengolah bumi merupakan bagian dari arti amal saleh yang dapat membuat kualitas hidup manusia di bumi menjadi lebih baik, baik itu pada diri pelakukan maupun pada lingkungan sosialnya. (Lihat, Quraish Shihab, Amal tanpa Iman, hal. 95)
Kualitas hidup manusia yang bertolak dari amal saleh haruslah dibarengi dengan iman agar tak sia-sia segala amalnya. Jika manusia mampu melakukan ini maka pandangan dan penglihatannya, tangan dan kakinya sebagai bagian dari pandangan, penglihatan, tangan dan kaki Tuhan. Dan sebaliknya, jika nilai keimanan tersebut diabaikan, maka ia akan hancur jatuh seperti kualitas binatang atau bahkan lebih hina. Sebagaimana dalam QS. At-Tin : 4-5.
2. Menurut Koento wibisono Siswomohardjo
Beliu telah mengemukakan rumusan manusia yang berkualitas sebagai cikal bakal lahirnya masyarakat sosial yang syarat pada ketentraman dan bebas atau kurang mengalami masalah sosial, yakni yang mengandung pengertian tentang sesuatu yang utuh-integral. Dalam arti manusia yang dicitrakan memiliki unsur-unsur kualitas berikut:
  1. Kesehatan jasmani dan rokhani
  2. Menguasai ilmu-pengetahuan dan keterampilan
  3. Iman, taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi luhur
  4. Kepribadian yang mantap dan mandiri
  5. Mempunyai tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Solusi Klasik Penanggulangan Problem Sosial :
Walau sejumlah pakar telah melakukan penelitian mengenai cara mengatasi masalah sosial, tapi tetap saja solusi klasik di bawah tak dapat ditinggalkan karena yang terjadi di masyarakat adalah fakta yang tak bisa diabaikan.
1. Penyediaan Lapangan Kerja – Selain pemerintah yang harus berperan aktif dalam menyediakan lapangan pekerjaan, setiap warga negara juga harus bisa mencari peluang usaha untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, di antaranya dengan banyak belajar teknik bisnis yang tepat, berusaha agar sukses menjawab pertanyaan interview kerja agar mudah diterima kerja, memperbanyak relasi, melengkapi kemampuan di bidangnya dan bidang lain yang sanggup ia lakukan dan banyak lagi hal lain yang bisa diusahakan untuk mendapatkan lapangan pekerjaan yang layak.
2. Menykseskan Program KB – Peran BKKBN dalam melakukan berbagai improvisasi teknik sosialisasi agar lebih banyak masyarakat yang sadar akan pentingnya KB sangatlah manjur dalam mengontrol laju pertumbuhan masyarakat. Tapi walau KB itu penting, tetap saja pemahaman ini tidak bisa ‘dipukul rata’ pada semua jenis keluarga. Buat keluarga yang mapan dari segi ekonomi dan mampu memenuhi kebutuhan pendidikan yang layak bisa jadi tidak terlalu berdampak pada timbulnya masalah sosial ini.
3. Terpenuhinya Kebutuhan Pendidikan – Kartu Pintar yang dibagikan bagi warga masyarakat adalah salah satu solusi untuk ini. Tapi jika bicara soal keberhasilan pendidikan maka ujung tombaknya ada pada para pendidik. Mereka harus bisa menjadi pendidik yang tidak hanya pintar mengajar tapi juga punya kemampuan mendidik yang baik.
4. Ekonomi – Selain tersedianya lapangan pekerjaan, mendidik masyarakat agar tertarik menjadi pebisnis juga menjadi andalan banyak negara berkembang saat ini dalam cara mengatasi masalah sosial di negaranya.
5. Layanan kesehatan yang memadai – Pemberian kartu berobat untuk warga miskin yang banyak dilakukan pemerintah saat ini bisa menjadi solusi buat mereka yang ‘terhimpit’ masalah ekonomi. Namun jika tidak dibarengi dengan sosialisasi pencegahan penyakit maka bisa jadi solusi ini bisa saja menimbulkan masalah baru karena dana yang digunakan diambil dari kas negara.
6. Hal lain : Penyediaan fasilitas umum yang memadai sering juga dirasakan sebagai solusi bagi masyarakat yang tinggal di daerah terpencil. Banyak juga yang menjadikan Transmigrasi sebagai solusi jika masalah sosial yang terjadi diakibatkan oleh lonjakan penduduk yang tak terbendung.
Demikian Cara Mengatasi Masalah Sosial pada masyarakat ini, semoga bisa menjadi rujukan valid bagi Anda semua. Namun, perlu kami pertegas kembali bahwa jalan keluar terbaik untuk ini tak lain dan tak bukan kembali pada individu masing-masing. Jika setiap orang mau berusaha dengan baik memperbaiki kualitas diri dan hidupnya maka bukan tidak mungkin kalau persoalan ini akan dituntaskan. Dan yang lebih penting dari itu semua adalah pada tataran tingkat keimanan seseorang. Semakin baik keimanan dan pengetahuan agamanya maka akan semakin sulit digoyahkan oleh keadaan dunia yang bagaimana pun, baik itu karena masalah pekerjaan, tetangga yang tidak baik, ekonomi, karena tidak KB, dan sebagainya. Semua keadaan tersebut hanya akan berlalu begitu saja karena orang yang beriman akan selalu memegang prinsip ‘Syukur dalam segala kondisi dan keadaan”. Lalu kira-kira persoalan apa lagi yang berdampak pada seseorang jika pemikiran seperti ini sudah tertanam dalam dirinya.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar