Selasa, 04 Desember 2018

HAMBATAN DAN TANTANGAN DALAM PEMBELAJARAN IPS TERPADU DI SMP N 3 KARANGJATI KAB NGAWI



HAMBATAN DAN TANTANGAN DALAM PEMBELAJARAN IPS TERPADU DI SMP N 3 KARANGJATI KAB NGAWI
OLEH:
ASTI PRASMAWATI

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pendidikan IPS memiliki peranan besar dalam membangun suatu negara. Pendidikan IPS yang berkualitas tentu akan menghasilkan generasi penerus yang berbobot untuk pengembangan negara. Dan setiap individu wajib terlibat dalam pendidikan, khususya pembelajaran IPS yang dituntut berperan serta secara maksimal guna meningkatkan mutu pendidikan.
Perbaikan mutu pendidikan tentu saja akan terus berlangsung demi sebuah pencapaian yang diinginkan. Dan untuk menunjang perbaikan tersebut, pendidikan menuntut hadirnya seorang guru yang memiliki kriteria tinggi demi menaikkan kualitas peserta didik. Guru berperan penting selama proses pendidikan. Guru harus bisa membangun sebuah kolaborasi dengan siswa agar terjadi interaksi yang pada akhirnya akan menimbulkan suasana belajar yang kondusif.
Namun nyatanya, salah satu permasalahan mengapa pendidikan IPS begitu sulit untuk diintegrasikan, salah satunya terletak dari peran guru itu sendiri.Dalam penyajian materi, guru lebih banyak berceramah panjang lebar sehingga pendidikan IPS dianggap kurang menarik oleh siswa.Adanya pengkotak-kotakan terhadap jenis mata pelajaran seperti geografi, sejarah, sosiologi, ekonomi membuat siswa terasa terbebani dengan seluruh mata pelajaran yang dipisah-pisahkan tersebut.Dan dengan sistem kurikulum yang terus berubah sehingga berdampak pada bobot dari pendidikan IPS itu sendiri.
Belum lagi jika guru tidak memahami dengan jelas isi dari materi yang akan disampaikan. Karena Salah satu komponen pendukung bagi keberhasilan peningkatan mutu pendidikan IPS adalah Kompetensi Pedagogik dan profesionalisme guru merupakan kompetensi yang mutlak perlu dikuasai guru.Kompetensi pedagogik pada dasarnya adalah kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran peserta didik.
lmu Pengetahuan Sosial merupakan mata pelajaran yang bersumber dari kehidupansosial masyarakat yang diseleksi dengan menggunakan konsep-konsep ilmu sosialyang digunakan untuk kepentingan pembelajaran.
Kehidupan sosial masyarakat senantiasa mengalami perubahan-perubahan dari waktuke waktu.Perubahan tersebut dapat dilihat baik dalam konteks keruangan (tempattinggal) maupun konteks waktu.Berbagai perubahan yang terjadi dalam kehidupanmasyarakat harus dapat ditangkap oleh lembaga pendidikan yang kemudian menjadisumber bahan materi pembelajaran.Sumber bahan pelajaran secara formal dapat dituangkan dalam bentuk kurikulum.
Kurikulum IPS yang dikembangkan hendaknya memiliki landasan filosofis yang jelas.Landasan filosofis yang digunakan hendaknya melihat kondisi nyata yang terjadi dimasyarakat.Kondisi masyarakat yang terjadi saat ini adalah masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan.Perubahan-perubahan tersebut disebabkan olehadanya interaksi sosial baik antar individu maupun kelompok.
Dalam konteks yang lebih luas perubahan yang terjadi melahirkan globalisasi.Dalamglobalisasi terjadi pola interaksi yang serba cepat melewati batas-batas keruangan danwaktu.Hubungan antarindividu maupun kelompok dalam globalisasi ini melahirkan suatu pola hubungan yang kompetitif. Individu maupun kelompok dalam polahubungan ini akan terjadi adanya hubungan yang saling mempengaruhi. Sistem nilai yang dipegang oleh masing-masing individu maupun kelompok akan salingberpengaruh dalam pola hubungan tersebut. Hal yang harus dihindari dalam polahubungan seperti ini adalah adanya hubungan yang bersifat eksploitatif dan hegemonikelompok yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan dan keadilan.Selainitu, harus pula dihindari adanya ketercerabutan nilai-nilai yang dimiliki oleh suatumasyarakat yang berdampak pada hilangnya identitas atau jati diri dari masyarakattersebut.
`Dalam mencermati perubahan-perubahan tersebut maka kurikulum IPS harus memiliki landasan filosofis humanistik.Dalam prinsip tersebut, IPS harus menjunjung tinggisifat-sifat dasar kemanusiaan.Prinsip-prinsip dasar kemanusian tersebut meliputikeadilan, kesetaraan, kearifan, dan keragaman. Kurikulum IPS harus mampumembangun jati diri bangsa yang berbasis pada kearifan lokal untuk menuju padamasa depan. Globalisasi yang terjadi baik pada masa sekarang maupun di masa depanharus disikapi baik secara lokal maupun mondial. Masyarakat yang akan dibentuk daripendidikan IPS ini adalah masyarakat yang mendunia yang tetap berpijak padakearifan lokal.
Dalam kearifan lokal, tumbuh adanya kesadaran keruangan dankesadaran waktu.Kesadaran ruang yang dimaksud adalah menyadari dimana diatinggal, sedangkan kesadaran waktu yaitu memahami bahwa dia hidup dalam suatumasyarakat yang berubah.Jadi, globalisasi tidak mencerabut akar-akar budaya yang dimilikinya.

Pendidikan IPS juga harus mampu mengatasi masalah-masalah sosial kontemporerpada masyarakat seperti rendahnya etos kerja dan menurunnya jiwa kewirausahaan.Hal tersebutsesuai dengan hakikat IPS yaitu bidang studi tentang tingkah laku kelompok umat manusia (the study of the group behavior of human beings) (Calhoun1971:42). yang sumber-sumbernya digali dari kehidupan nyata di masyarakat. Untuk itu pembelajaran IPS yang diramu dalam kurikulum harus memiliki peran pentingdalam menyiapkan peserta didik mengembangkan nilai-nilai kerja keras, hemat, jujur,disiplin, kecintaan pada diri dan lingkungannya serta memiliki semangatkewirausahaan (Nana Supriatna, 2007:2).
Hal itu senada dengan pendapat NursidSumaatmaja yang menyatakan bahwa mata pelajaran IPS bertujuan untukmengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadidi masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpanganyang terjadi, dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik yangmenimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa kehidupan masyarakat (1980:20).
Sesuai dengan UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional danperaturan pemerintah yang mengatur tingkat satuan pendidikan (dasar sampaimenengah), maka batasan ruang lingkup materi (scope) IPS yang harus dikaji siswaperlu diperhatikan. Dari pokok kajian yang ada, mana yang harus dipelajari siswa dan mana yang tidak perlu mereka pelajari. Hal pokok tersebut adalah sesuatu yang mautidak mau merupakan bagian dasar dari mereka yangakan belajar disiplin ilmu itu (Hamid Hasan, 1996).
Atas dasar pemikiran di atas, maka dalam rangka melaksanakan pengkajian kurikulummata pelajaran IPS jenjang pendidikan dasar dan menengah, naskah akademik inidisusun untuk melakukan pengembangan model kurikulum ke depan yang menjaditanggung jawab Pusat Kurikulum.
Landasan yuridis penyusunan naskah akademik ini adalah sebagai berikut.
1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
3. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar
Isi
4. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Standar
Kompetensi Lulusan (SKL)
5. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2006 Tentang
Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006
Tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah Serta
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Standar
Koelaksanaan Kurikulum 2006 atau yang dikenal dengan sebutan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) terdapat beberapa hal yang patut dicermati
yaitu :
1. Keragaman Pelaksanaan
Pelaksanaan KTSP di sekolah-sekolah terdapat keragaman, khususnyakeragaman dalam pelaksanaan di setiap jenjang. Ada sekolah yangmelaksanakan sekaligus semua jenjang yaitu di SD langsung dilaksanakan darikelas 1 sampai dengan kelas 6 ; di SMP dari kelas VII sampai dengan kelas IX; dan di SMA dari kelas X sampai dengan kelas XII. Selain itu ada pulasekolah-sekolah yang melaksanakan secara berjenjang perkelas, misalnya diSMP pada tahun 2006 dilaksanakan hanya di kelas VII dan di kelas VIII padatahun 2007 sedangkan di kelas IX baru akan dilaksanakan pada tahun 2008.Begitu pula halnya di SMA, pelaksanaan di kelas X pada tahun 2006, kelas XItahun 2007, dan kelas XII baru tahun 2008.Keragaman pelaksanaan tersebut memiliki berbagai alasan. Sekolah yangmelaksanakan KTSP secara keseluruhan pada semua jenjang beralasan agarkurikulum yang dilaksanakan di sekolah tersebut seragam dan merasa siapuntuk melaksanakannya.Sedangkan sekolah yang melaksanakan secaraberjenjang dengan alasan mengkuti peraturan sebagaimana diatur dalamPermendiknas no. 23 yang mengatakan pelaksanaan KTSP dilakukan secaraberjenjang dan membolehkan bagi sekolah yang siap untuk melaksanakan diseluruh jenjang.Alasan lainnya adalah ketidaksiapan sekolah-sekolah tersebutuntuk melaksanakan KTSP secara menyeluruh pada semua jenjang.
2. Tugas guru mengajar
Guru yang mengajar IPS baik di SD, SMP dan SMA mengikuti padapengorganisasian materi kurikulum IPS. Pengorganisasian kurikulum IPS diSD lebih bersifat terpadu atau integrasi, jadi pelaksanaan pengajaran IPS di SDdipegang oleh satu orang guru. Perubahan pengorganisasian materi IPS padaKTSP ini adalah di SMP. IPS di SMP diorganisasikan menjadi IPS Terpadu,sehingga berimplikasi pada tugas guru yang mengajar. Dalam hal bagaimanaguru IPS di SMP mengajar terjadi keragaman.Ada sekolah yang mengajarkanIPS di SMP dipegang oleh satu orang.Konsekuensinya, guru tersebutharus`mengajar sejarah, ekonomi, geografi dan sosiologi. Pelaksanaan sepertiitu beralasan bahwa mata pelajaran IPS merupakan mata pelajaran yang satu,bukan mata pelajaran yang dipisah-pisahkan walaupun materinya bersumberdari sejarah, ekonomi, geografi dan sosiologi. Selain itu ada pula SMP yangmengajarkan IPS, dipegang oleh beberapa orang guru sesuai dengandisiplinnya, yaitu sejarah, ekonomi, geografi dan sosiologi.Jadi pelaksanaanpengajaran IPS dibagi ke dalam empat bidang studi. Alasan pelaksanaan yangdemikian pertama untuk pemerataan guru mata pelajaran (sejarah, ekonomi,geografi dan sosiologi), kedua pentingnya profesionalisme penguasaan materioleh guru. Mata pelajaran apabila diajarkan oleh guru yang bukan disiplinnyaakan menjadi kurang berkualitas, misalnya sejarah diajarkan oleh guru yangberlatar belakang pendidikan geografi atau sebaliknya. Sedangkan pengajaranIPS di SMA dalam implementasi penugasan guru tidak terjadi perubahansebagaimana halnya di SMP, karena pengorganisasian materi IPS di SMA
sudah terpisah-pisah secara disiplin. Jadi ada guru yang secarakhusus`mengajar sejarah, ekonomi, geografi dan sosiologi.
3. Pemahaman Standar Isi
Secara teoretis sebagaimana tercantum dalam Permendiknas No. 22 bahwastandar isi merupakan cakupan lingkup materi minimal dan tingkat kompetensiminimal untuk mencapai kompetensi lulusan minimal pada jenjang dan jenispendidikan tertentu.Dengan demikian sekolah atau satuan pendidikan dimintauntuk menjabarkan materi sebagaimana yang ada dalam standar isi disesuaikandengan kondisi sekolah.Pemahaman standar isi di lapangan terdapat dua bentuk pelaksanaan.Bentukpertama yaitu Standar Kompetensi dan kompetensi dasar lebih banyakdipahami sebagai materi yang harus diberikan di sekolah tanpa pengembanganlebih lanjut yang disesuaikan dengan kondisi sekolah.Pemahaman seperti ituberakibat pada pembelajaran guru lebih berorientasi pada materi, bukan padakompetensi.Hal ini terjadi disebabkan penyampaian materi IPS di sekolahlebih banyak berdasar pada buku teks, bukan pada dokumen standar isi.Sehingga KTSP yang dikembangkan di sekolah belum menggambarkan KTSPyang memiliki ciri khas sekolah atau daerah tersebut.Sebab buku-buku teksyang digunakan lebih banyak memaparkan materi yang masih bersifat umumyang bisa berlaku pada semua sekolah atau daerah.Bentuk kedua, sekolah yang mencoba memahami standar isi sebagaikompetensi yang harus dikembangkan di sekolah. Materi yang ada di dalam
dokumen KTSP hanyalah merupakan materi standar yang harus dikembangkanoleh guru atau satuan pendidikan. Dalam pengembangannya ini melihatkekhasan dari satuan pendidikannya atau daerahnya.Model pengembanganseperti ini berarti sekolah telah mengembangkan KTSP sebagaimana yangdikehendaki.

B. Permasalahan-Permasalahan Pelaksanaan Standar Isi (SI) IPS

Pelaksanaan KTSP mata pelajaran IPS yang diberlakukan sejak tahun 2006menimbulkan berbagai permasalahan di lapangan. Masalah-masalah tersebutadalah:
1. Sosialisasi KTSP belum merata
Berdasarkan temuan di lapangan khususnya ketika dilakukan berbagaipelatihan yang berkenaan dengan pelaksanaan KTSP baik yang dilaksanakanoleh Dinas Pendidikan (Propinsi/Kabupaten/Kota) maupun oleh MusyawarahGuru Mata Pelajaran (MGMP) di berbagai daerah, tidak jarang ditemukan guruyang belum paham tentang KTSP.Bila ditelusuri kegiatan sosialisasi iniberawal dari beberapa orang guru dari berbagai daerah diundang oleh BSNP.Kemudian mereka dijadikan penatar KTSP untuk tingkat nasional dan daerah.Informasi itu diestafetkan kembali di tingkat propinsi sampai daerah.Di daerahtidak seluruh guru dapat mengikuti kegiatan sosialisasi.Kalaupun ada, barupada tataran MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) bagi mereka yangaktif di MGMP.Sebenarnya estafet informasi itu sudah baik, namun tatkalamereka kembali ke sekolah masing-masing, guru yang diharapkan jadimediator untuk guru-gurunya di sekolah tidak dan atau kurang memberikaninformasi yang telah didapatnya itu.Pada akhirnya tidak sedikit sekolahmengundang para pejabat terkait diundang, mulai dari Kepala Sekolah, SubdinDikdasmen, Pengawas, dan Pakar Kurikulum untuk menjelaskan tentangdokumen KTSP. Tetapi kegiatan ini hanya dilaksanakan oleh sekolah yang
memiliki dana. Bagi sekolah yang tidak memiliki dana, jelas KTSP hanyasebatas yang mereka dengar sehingga pehamanan pada KTSP sangat minim.Demikian juga dengan pedoman petunjuk teknisKTSP yang belumdisosialisasikan menambah kaburnya implementasi kurikulum. Pada akhirnyatidak seluruh sekolah sudah menerapkan KTSP.
2. Guru masih berorientasi pada buku teks, tidak mengacu pada dokumen
kurikulum
Dokumen kurikulum (KTSP) yang dikeluarkan oleh BSNP melalui dinaspendidikan, baik tingkat pusat dan daerah telah menyebar ke berbagai sekolahsebagai pelaksana dan pengembang kurikulum. Berbagai media, cara dansarana untuk menyebarkan kurikulum itu telah ditempuh oleh BSNP, sepertiworkshop, pelatihan, seminar, dan lain sebagainya. Sasaran dari penggunaan
berbagai media dan kegiatan itu diharapkan agar pelaksana kurikulum (guru)memahami dan melaksanakan proses belajar mengajar yang mengacu padakurikulum. Tetapi berdasarkan penemuan di lapangan ketika melakukanpelatihan-pelatihan yang berkenaan dengan PBM, masih banyak guru dalamPBM tidak mengacu pada kurikulum.Mereka lebih memilih pada buku teksyang dianggap sudah menjabarkan kurikulum.Untuk itu tidak jarang guru yangtahu kurikulum hanya pada batas wacana, bukan pada dokumen kurikulumyang sebenarnya.Buku teks menjadi sarana yang memadai dalammenjabarkan kurikulum.Kondisi ini jelas salah, karena seharusnya guru sendiriyang harus menjabarkan dan mengembangkan kurikulum.
3. Dokumen Kurikulum
Standar isi Mata Pelajaran IPS yang memuat Standar Kompetensi dan
Kompetensi Dasar terdapat dua masalah yaitu sequens dan isi atau content.
a. Sequens
Sequens yang digunakan tidak jelas konsepnya apakah menggunakan
pendekatan kronologis, kausalitas, tematis, dan lainnya. Ketidakjelasan
penggunaan konsep sequens berdampak pada materi yang tidak jelas
urutannya, apakah diurut berdasarkan keluasan ruang lingkup materi, unsur
kronologi waktu atau yang lainnya. Terdapat sequens materi yang tidak
berurutan, baik SK dan KD tingkat SD, SMP dan SMA. Berikut ini beberapa
contoh urutan SK dan KD yang tidak jelas urutannya. Misalnya di SD pada
Kelas 3 Semester 2 urutannya yang semula menguraikan contoh jual beli di
lingkungan di rumah dan sekolah (KD. No. 2.3) baru kemudian dibahas
sejarah uang (KD. No. 2.4), sebaiknya dibahas dahulu sejarah uang baru
kemudian dibahas contoh-contoh praktek jual beli.
Urutan yang digunakan dalam IPS SMP tidak jelas konsepnya apakah konsep
Kurikulum IPS Terpadu, Korelasi, atau Terpisah-Pisah. Walaupun diberi
nama IPS Terpadu akan tetapi dalam kenyataannya SK dan KD tetap
terpisah-pisah antara Sejarah, Ekonomi, Geografi dan Sosiologi, sehingga
materi yang tercantum dalam SK dan KD tidak berurutan. Ada upaya untuk
memadukan dalam suatu tema yang diuraikan dalam KD yang beragam,
misalnya KD nya tersebut ada aspek sejarah dan Geografi. Tetapi cara
memadukannya tersebut kurang tepat, misalnya pada kelas VII semester 1
KD No. 1.1. dan No. 1.2. tidak ada kaitannya kalau melihat SK No. 1. SK
nya lebih dekat dengan geografi sedangkan KD. No. 1.2.berisikan sejarah.
Pada sisi lain ada SK yang hanya sejarah, geografi, ekonomi, dan sosiologi.
Seperti pada Kelas VII semester 2, SK no. 4, 5 dan 6. SK no. 4 geografi, SK
no. 5 sejarah dan SK no. 6 ekonomi.

Sequens untuk SMA nampak tidak jelas dalam mata pelajaran Sejarah di
Jurusan IPA dan Bahasa sebaiknya disamakan dengan sequens pada jurusan
IPS. Hal ini penting agar ada penyeragaman materi sebab misi pelajaran
sejarah adalah membangun jati diri bangsa dengan menanamkan nilai-nilai
kebangsaan.
b.Materi (content)
Pada umumnya materi mata pelajaran IPS dan alokasi waktu yang disediakan
kurang proporsional. Waktu yang diberikan sangat singkat sedangkan materi
yang harus diberikan cukup banyak. Misalnya jumlah mata pelajaran sejarah di
Program IPA SMA hanya satu jam sementara materi yang harus diberikan
cukup banyak. Begitu pula pelajaran Geografi pada kelas 1 hanya diberikan
waktu 1 jam. Begitu pula dalam mata pelajaran Ekonomi, KD pada mata
pelajaran ekonomi kelas XII IPS terlalu padat. Pada Kelas X materi pelajaran
ekonomi terlalu banyak, alokasi jamnya tidak cukup.
Selain alokasi waktu yang tidak proporsional, terdapat juga sebaran materi
yang tidak merata, khususnya pada IPS di SD dan SMP. Semestinya proporsi
sebaran materi sejarah, geografi, ekonomi, dan sosiologi merata pada setiap
semester dan kelas. Misalnya materi IPS SD untuk kelas V hampir seluruhnya
materi sejarah. Begitu pula IPS SMP, pada kelas VII semester 1 materi Sejarah
sangat sedikit, hanya ada dalam satu KD dan itupun berada dalam SK yang
lebih cocok untuk geografi.
4. Penyusunan Program Silabus dan RPP
Guru dalam menyusun Silabus dan RPP belum banyak memperlihatkan
kekhasan pada satuan pendidikannya. Tuntutan KTSP yang harus
memperlihatkan situasi dan kondisi sekolah atau daerah semestinya menjadi
bahan dalam materi pelajaran. Hal ini terjadi dikarenakan perumusan indikator
dan tujuan belum dirumuskan sendiri oleh guru. Ada kecenderungan, guru-guru
membuat indikator mengcopy dari buku teks yang mencantumkan indikator
dari masing-masing materi yang akan disampaikan. Selain itu guru harus bisa
membedakan rumusan indikator dan tujuan, sehingga tidak rancu dalam
merumuskan silabus dan RPP. Pemahaman terhadap perbedaan indikator dan
rumusan tujuan, ada perbedaan antara guru dan pengawas di lapangan. Hal ini
dapat menyulitkan guru dalam merumuskan Silabus dan Indikator, karena
kedudukan pengawas sebagai penilai kinerja guru.
5. Struktur Program
Struktur program pada mata pelajaran IPS masih menunjukkan adanya
ketidakseimbangan antara alokasi waktu yang disediakan dengan keluasan
materi yang harus disampaikan kepada siswa. Khususnya pada mata pelajaran
Geografi SMA kelas X, Sejarah untuk kelas X dan program IPA.
6. Strategi Pembelajaran
Ada suatu kecenderungan pemahaman yang salah bahwa pelajaran IPS adalah
pelajaran yang cenderung pada hafalan. Pemahaman seperti ini berakibat pada
pembelajaran yang lebih menekankan pada verbalisme. Guru dalam
menerapkan metode pembelajaran lebih menekankan pada metode yang lebih
menekankan pada aktivitas guru, bukan pada aktivitas siswa. Pembelajaran
yang dilakukan oleh guru kurang variatif. Misalnya guru lebih banyak
menggunakan metode ceramah bahkan menyuruh siswa untuk mencatat.
7. Penilaian
Penilaian merupakan salah satu cara untuk mengukur keberhasilan pencapaian
indikator dan tujuan yang telah ditetapkan baik dalam silabus maupun RPP.

Bentuk penilaian yang digunakan hendaknya harus sesuai dengan tuntutan
indikator dan tujuan. Pada umumnya guru melakukan penilaian lebih banyak
menggunakan alat-alat penilaian yang masih konvensional yaitu tes tertulis.
Tes yang digunakan pun masih banyak mengukur aspek kognitif pada jenjang
yang lebih rendah misalnya kemampuan untuk menyebutkan. Penggunaan
bentuk tes yang demikian disebabkan oleh pemahaman yang salah tentang
materi IPS. Materi IPS dipahami sebagai materi yang hapalan saja, sehingga tes
yang digunakan pun lebih menekankan pada hapalan. Padahal berbagai
keterampilan berpikir dalam IPS bisa diuji melalui penilaian yang dibuat oleh
guru.
8. Sarana Pembelajaran
Sarana pembelajaran sangat penting untuk mencapai tujuan pembelajaran IPS.
Pada umumnya sarana untuk mendukung pembelajaran IPS masih sangat
minim. Belum adanya semacam laboratorium IPS yang dapat dijadikan tempat
siswa untuk mempraktekan materi-materi yang disampaikan di kelas.
Misalnya ada laboratorium bagi siswa untuk mempraktekan bagaimana
melakukan penginderaan jauh, praktek bagaimana cara bertransaksi dengan
bank, praktek bagaimana mengenal benda-benda bersejarah, dan lain-lain.
Dengan adanya sarana pembelajaran yang baik maka pembelajaran IPS dapat
melihat realitas kehidupan sehari-hari yang merupakan suatu fenomena sosial.
Pemahaman seperti inilah menjadikan IPS tidak lagi dipahami sebagai mata
pelajaran hafalan.
9. Kualifikasi Guru
Ada suatu anggapan bahwa pelajaran IPS adalah pelajaran yang mudah karena
hanya hafalan saja, sehingga siapa saja dapat mudah menjadi guru IPS.
Anggapan ini berdampak pada kualifikasi guru IPS. Masih banyak guru yang
mengajar IPS tidak memiliki latar belakang pendidikan IPS. Padahal untuk
menjadi guru IPS harus`memiliki latar belakang pendidikan IPS. Hal ini
disebabkan IPS merupakan satu disiplin ilmu yang memiliki konsep dan teori-
teori, yang hanya dapat dipahami melalui jalur pendidikan profesional. Apabila
guru yang mengajar IPS bukan berlatar belakang pendidikan IPS, maka akan
sulit memahami konsep-konsep atau teori-teori yang ada dalam IPS. Guru yang
demikian akan berdampak pada cara pembelajaran yang dilakukannya. Ada
kemungkinan pembelajaran yang dilakukan lebih menekankan pada hafalan
saja, sehingga keterampilan-keterampilan berpikir dalam IPS tidak
dikembangkan.

C. Pemecahan Masalah Terhadap Pelaksanaan Standar Isi IPS

Berdasarkan uraian masalah terhadap pelaksanaan standar isi IPS, maka perlu
dilakukan berbagai pemecahan masalah sebagai berikut :
1. Sosialisasi KTSP
Sosialisasi KTSP hendaknya tidak hanya mengandalkan pada instansi yang bersifat
struktural seperti BSNP, Dinas Pendidikan (Propinsi, Kabupaten, Kota), dan lain-
lain. Sekolah dalam hal ini Kepala Sekolah lebih bersifat pro aktif dalam
melaksanakan sosialisasi. Hendaknya sekolah sendiri secara internal melakukan
sosialisasi KTSP. Sekolah dapat menggunakan guru yang telah dilatih untuk
menjadi instruktur di sekolahnya dalam pelatihan KTSP. Hal terpenting adalah
adanya kepedulian dari Kepala Sekolah untuk melakukan pelatihan KTSP di
sekolahnya. Dengan cara demikian maka sosialisasi KTSP akan semakin merata.

2. Dokumen
Dokumen standar isi yang memuat Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
perlu ditata kembali. Dalam penataan tersebut harus memperhatikan landasan-
landasan kurikulum yang akan dipakai. Sequens materi harus jelas landasan
konsepnya. Misalnya pada tingkat SD diorganisasikan secara terpadu. Sedangkan
pada tingkat SMP ada dua pilihan, yaitu pertama, kalau ingin mengembangkan IPS
Terpadu, maka SK dan KD yang dikembangkan harus lebih menggunakan
pendakatan tematis. Kedua, apabila disiplin pada masing-masing ilmu sosial masih
nampak maka menggunakan model pengorganisasian yang korelasi. Sedangkan
untuk tingkat SMA pengorganisasian materi digunakan dengan pendekatan
terpisah-pisah, artinya sejarah diajarkan sebagai sejarah, ekonomi sebagai
ekonomi, sosiologi sebagai sosiologi, dan geografi sebagai geografi.
Selain pengorganisasian materi yang jelas, hal yang harus dilakukan adalah
sequens dan content harus jelas. Materi yang dicantumkan harus disederhanakan
dan proporsional. Tidak ada pengulangan materi pada jenjang berikutnya dan
tidak ada penumpukkan materi pada semester-semester tertentu. Sequens bisa
dilihat dari aspek kronologi, tingkat kesulitan, dan keluasan materi. Mulai dari
penyajian materi yang mudah, sedang hingga sulit dipahami. Begitu pula dalam
keluasan materi, mulai dari ruang lingkup yang kecil hingga ke ruang lingkup yang
meluas.
3. Penyusunan Program Silabus dan RPP
Untuk mengatasi kesulitan guru dalam merumuskan Silabus dan RPP, hendaknya
perlu dilakukan pelatihan-pelatihan mengenai bagaimana menyusun Silabus dan
RPP yang baik. Agar guru dapat menyusun Silabus dan RPP yang baik hendaknya
guru dapat mengenal dan mengidentifikasi apa yang menjadi ciri khas sekolah dan
daerahnya. Harus ada pedoman penyusunan Silabus dan RPP baik yang bersifat
umum maupun yang bersifat lokal. Pemahaman guru terhadap kekhasan lokal perlu
adanya sosialisasi dengan pihak pemda, dinas pendidikan dan sekolah. Pemda
harus`menetapkan apa yang menjadi keunggulan lokal dari daerah tersebut yang
akan dituangkan dalam program pendidikan. Program pemda tersebut kemudian
disosialisasikan kepada sekolah melalui dinas pendidikan.
4. Struktur Program
Struktur program mata pelajaran IPS hendaknya proporsional antara lingkup
materi dengan alokasi waktu yang disediakan. Perlu ditata ulang struktur program
mata pelajaran IPS. Apabila ruang lingkup materi akan tetap seperti sekarang maka
perlu ditambah alokasi waktunya. Sebaliknya apabila alokasi waktu tetap seperti
yang tercantum sekarang maka sebaiknya ruang lingkup materi disederhanakan.
Penyederhanaan materi harus menekankan pada materi-materi yang bersifat
esensial.
5. Strategi Pembelajaran
Strategi pembelajaran yang dilakukan oleh guru dalam mata pelajaran IPS
hendaknya lebih menekankan pada aktivitas siswa. Metode pembelajaran yang
dilakukan hendaknya yang menuntut berbagai jenjang kemampuan siswa. Jenjang
kemampuan siswa yang dituntut tidak hanya pada level yang rendah, misalnya
kemampuan menghafal. Berbagai keterampilan berpikir dapat dikembangkan,
misalnya kemampuan berpikir kritis dilakukan dengan metode diskusi,
kemampuan melakukan penelitian atau obserbasi menggunakan metode proyek,
kemampuan afektif menggunakan metode role playing atau sosio drama, dan
contoh-contoh yang lainnya. Agar guru dapat menguasai berbagai metode

mengajar maka perlu dilakukan pelatihan tentang berbagai metode mengajar dalam
mata pelajaran IPS.
6. Penilaian
Penilaian berfungsi untuk mengukur ketercapaian kompetensi, indikator dan tujuan
yang telah ditetapkan dalam silabus dan RPP. Penilaian yang dikembangkan
hendaknya tidak terbatas pada penggunaan tes saja. Guru harus menggunakan
berbagai model alat penilaian, seperti asesmen kinerja, portofolio, dan jenis-jenis
penilaian non tes. Penetapan penggunaan alat penilaian tergantung kepada rumusan
tujuan yang telah ditetapkan. Dalam mata pelajaran IPS berbagai keterampilan
dapat dikembangkan, misalnya keterampilan sosial menggunakan alat penilaian
skala sikap, keterampilan penelitian menggunakan asesmen portofolio, dan yang
lainnya.
7. Sarana Pembelajaran
Sarana pembelajaran sangat penting dalam menunjang ketercapaian tujuan
pembelajaran. Pada umumnya sarana pembelajaran IPS sangat penting. Untuk
memecahkan hal demikian maka sebaiknya guru menggunakan sarana
pembelajaran yang ada di lingkungan sekitar. Misalnya apabila sekolah tersebut
dekat dengan pasar maka gunakanlah untuk mempraktekan pelajaran ekonomi dan
sosiologi. Dalam mata pelajaran ekonomi guru dapat menugaskan kepada siswa
untuk mempraktekan bagaimana jual beli dan pertukaran barang. Pelajaran
sosiologi dapat mempraktekan materi bagaimana interaksi sosial yang terjadi di
pasar. Begitu pula apabila ada situs-situs sejarah yang dekat guru dapat menjadikan
sarana pembalajaran mata pelajaran sejarah. Mata pelajaran Geografi dapat melihat
bagaimana kondisi geografis yang dekat dengan sejarah. Misalnya apabila di dekat
sekolah ada kawasan yang penuh dengan batuan-batuan maka guru dapat
menggunakan daerah tersebut untuk praktek mengenal berbagai jenis batuan.
Dengan cara penggunaan sarana yang demikian, maka model pembelajaran yang
digunakan oleh guru lebih melihat kepada apa yang dapat dilihat langsung oleh
siswa dalam kehidupan sehari-hari. Model seperti ini dikenal dengan istilah
Contextual Teaching Learning (CTL).
8. Kualifikasi Guru
Kurangnya guru yang berkualifikasi dalam mata pelajaran IPS dapat dilakukan
melalui pengangkatan guru yang sesuai dengan bidangnya. Selain itu, guru yang
ada dan berlatar belakang bukan IPS dapat diberikan semacam pelatihan secara
intensif mengenai materi IPS dan bagaimana cara pembelajarannya. Cara seperti
ini dilakukan dalam upaya meningkatkan profesionalisme guru IPS.mpetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan. Ada beberapa rumusan masalah yang akan menjadi point utama dalam pembahasan:
Apa definisi pendidikan IPS?
a.       Mengapa perlu IPS?
b.      Apa hambatan besar dalam pembelajaran IPS di SMP N 3 Karangjati kab ngawi?
c.       Bagaimana seharusnya peran guru dalam meningkatkan mutu pembelajaran IPS?
d.      Bagaimanasolusi terhadap hambatan pembelajarn IPS di SMP N 3 Karangjati?

1.3 Tujuan Penulisan
a.         Mengetahui definisi dan makna pendidikan IPS
b.         Memahami alasan diperlukannya IPS
c.         Mengetahui hambatan besar yang ada dalam pembelajaran IPS di SMP N 3 karangjati
d.         Mengetahui dan memahami peran guru dalam meningkatkan mutu pembelajaran IPS
e.         Mengethui bagaimana solusi terhadap hambatan pembelajarn IPS di SMP N 3 Karangjati































BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian IPS
Ilmu Pengetahuan Sosial atau socialstudies merupakan pengetahuan mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan  masyarakat. Di Indonesia pelajaran ilmu pengetauan sosial disesuaikan dengan berbagai prespektif  sosial yang berkembang di masyarakat. Kajian tentang masyarakat dalam IPS dapat dilakukan dalam lingkungan yang terbatas, yaitu lingkungan sekitar sekolah atau siswa dan siswi atau dalam lingkungan yang luas, yaitu lingkungan negara lain, baik yang ada di masa sekarang maupun di masa lampau.
Somantri (Sapriya:2008:9) menyatakan IPS adalah penyederhanaan atau disiplin ilmu ilmu sosial humaniora serta kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan pedagogis/psikologis untuk tujuan pendidikan.
Mulyono Tj. (1980:8) berpendapat bahwa IPS adalah suatu pendekatan interdisipliner (inter-disciplinary approach) dari pelajaran ilmu-ilmu soial, seperti sosiologi antropologi budaya, psikologi sosial,sejarah, geografi, ekonomi, politik, dan sebagainya.
Saidiharjo (1996:4)  menyatakan bahwa IPS merupakan kombinasi atau hasil pemfusian atau perpaduan dari sejumlah mata pelajaran seperti:geografi, ekonomi, sejarah,sosiologi,politik
Moeljono Cokrodikardjo mengemukakan bahwa IPS adalah perwujudan dari suatu pendekatan interdisipliner dari ilmu sosial.Ia merupakan integrasi dari berbagai cabang ilmu sosial yakni sosiologi, antropologi budaya, psikologi, sejarah, geografi, ekonomi, ilmu politik dan ekologi manusia, yang diformulasikan untuk tujuan instruksional dengan materi dan tujuan yang disederhanakan agar mudah dipelajari.
Nasution mendefinisikan IPS sebagai pelajaran yang merupakan fusi atau paduan sejumlah mata pelajaran sosial. Dinyatakan bahwa IPS merupakan bagian kurikulum sekolah yang berhubungan dengan peran manusia dalam masyarakat yang terdiri atas berbagai subjek sejarah,ekonomi, geografi, sosiologi, antropologi, dan psikologi sosial.
Tim IKIP Surabaya mengemukakan bahwa IPS merupakan bidang studi yang menghormati, mempelajari, mengolah, dan membahas hal-hal yang berhubungan dengan masalah-masalah human relationship hingga benarbenar dapat dipahami dan diperoleh pemecahannya.Penyajiannya harus merupakan bentuk yang terpadu dari berbagai ilmu sosial yang telah terpilih, kemudian disederhanakan sesuai dengan kepentingan sekolah sekolah.
IPS adalah suatu bahan kajian yang terpadu yang merupakan penyederhanaan,adaptasi, seleksi, dan modifikasi yang diorganisasikan dari konsep-konsep danketerampilan-keterampilan Sejarah, Geografi, Sosiologi, Antropologi, dan Ekonomi(Puskur, 2001 : 9). Materi pelajaran IPS merupakan penggunaan konsep-konsep dariilmu sosial yang terintegrasi dalam tematematertentu. Misalkan materi tentang Pasar,maka harus ditampilkan kapan atau bagaimana proses berdirinya (Sejarah), dimana pasar itu berdiri (Geografi), bagaimana hubungan antara orang-orang yang berada dipasar (Sosiologi), bagaimana kebiasaan-kebiasaan orang menjual atau membeli dipasar (Antropologi) dan berapa atau jenis-jenis barang yang diperjualbelikan(Ekonomi).
Muriel Crosby menyatakan bahwa IPS diidentifikasi sebagai studi yangmemperhatikan pada bagaimana orang membangun kehidupan yang lebih baik bagidirinya dan anggota keluarganya, bagaimana orang memecahkan masalah-masalah,bagaimana orang hidup bersama, bagaimana orang mengubah dan diubah olehlingkungannya (Leonard S. Kenworthy, 1981 : 7). IPS menggambarkan interaksiindividu atau kelompok dalam masyarakat baik dalam lingkungan fisik dan lingkungansosial. Interaksi antar individu dalam ruang lingkup lingkungan mulai dari yangterkecil misalkan keluarga, tetangga, rukun tetangga atau rukun warga, desa/kelurahan,
kecamatan, kabupaten, provinsi, negara dan dunia.
Karakteristik tujuan IPS menurut Bruce Joyce (Leonard S. Kenworthy, 1981 : 7)
memiliki tiga katagori yaitu :
1. Pendidikan kemanusiaan.
2. Pendidikan kewarganegaraan.
3. Pendidikan intelektual.
Pendidikan kemanusiaan memiliki arti bahwa IPS harus membantu anak memahamipengalamannya dan menemukan arti atau makna dalam kehidupannya.Dalam tujuanpertama ini terkandung unsur pendidikan nilai. Guru dapat menyajikan materi IPSdalam tujuan ini misalkan dalam materi lingkungan keluarga,.ditanyakan kepadasiswa mengenai pekerjaan apa yang ia lakukan di keluarga dan mengapa ia melakukanpekerjaan tersebut. Siswa mungkin akan menjawab dari pengalamannya sebagai anakyang paling besar harus membimbing adik-adiknya.Ia melakukan hal tersebutmisalkan karena timbulnya rasa tanggung jawab.

2.2 Alasan Utama diperlukannya IPS
Pelajaran IPS sangat penting karena didalamnya memuat materi yang mempersiapkan serta mendidik siswa untuk hidup dan memahami dunianya.Karena kemapuan bersosialisasi sangat diperlukan sekali.
Menurut A.K. Ellis (1991), bahwa alasan dibalik diajarkannya IPS sebagai mata pelajaran di sekolah karena hal-hal sebagai berikut:
a.       IPS memberikan tempat bagi siswa untuk belajar dan mempraktekan demokrasi.
b.      IPS dirancang untuk membantu siswa menjelaskan “dunianya”.
c.       IPS adalah sarana untuk pengembangan diri siswa secara positif.
d.      IPS membantu siswa memperoleh pemahaman mendasar (fundamental understanding) tentang sejarah, geographi, dan ilmu-ilmu sosial lainnya.
e.       IPS meningkatkan kepekaan siswa terhadap masalah-masalah sosial.
Barr dan teman-temannya (Nelson, 1987; Chapin dan Messick,1996) merumuskan tiga perspektif tradisi utama dalam IPS. Ketiga tradisi utama tersebut ialah:
a.       IPS diajarkan sebagai pewarisan nilai kewarganegaraan (citizenship transmission).
b.      IPS diajarkan sebagai ilmu-ilmu sosial.
c.       IPS diajarkan sebagai reflektif inquiry.
Kurikulum pendidikan IPS tahun 1994 sebagaimana yang dikatakan oleh Hamid Hasan (1990), merupakan fusi dari berbagai disiplin ilmu, Martoella (1987) mengatakan bahwa pembelajaran Pendidikan IPS lebih menekankan pada aspek “pendidikan” dari pada “transfer konsep”, karena dalam pembelajaran pendidikan IPS siswa diharapkan memperoleh pemahaman terhadap sejumlah konsep dan mengembangkan serta melatih sikap, nilai, moral, dan keterampilannya berdasarkan konsep yang telah dimilikinya. Dengan demikian, pembelajaran pendidikan IPS harus diformulasikannya pada aspek kependidikannya.
IPS diperlukan karena ilmu sosial ini sangat menentukan jalannya hubungan sosial kehidupan manusia dalam berbangsa, dan bernegara. Ilmu sosial membahas hal yang kompleks dalam kehidupan manusia, dalam hal ini keterkaitan satu dengan yang lain sangat tergantung apabila ada satu yang terganggu maka hubungan yang lain akan ikut terganggu.
IPS dalam kondisi atau realitas pendidikan sangat dibutuhkan karena IPS berperan sebagai media pembelajaran interaksi baik peserta didik dengan peserta didik lainnya, peserta didik dengan pendidik maupun peserta didik dengan lingkungan sosial lainnya. Dalam hal ini IPS juga memegang peranan penting dalam perkembangan pendidikan di Indonesia karena erat kaitannya dengan Kurikulum 2013 yang sekarang dalam tahapan massa sosialisasi yang isi dari Kurikulum itu sendiri salah satunya menciptakan peserta didik yang bisa berkompetensi baik dengan lingkungan sosial dan juga membentuk karakter peserta didik yang berkaitan dengan arah dan tujuan pendidikan nasional.

2.3 Hambatan dan Tantangan Pembelajaran IPS Terpadu
Pengembangan sistem pendidikan IPS memang sering mengalami proses pasang surut. Mata Pelajaran IPS di sekolah, pada jenjang SMP secara legal formal ditetapkan dengan menggunakan model pembelajaran IPS Terpadu. Pengertian terpadu bukan berarti tidak ada lagi sub mata pelajaran seperti Sejarah, Geografi dan Ekonomi, namun program pembelajarannya harus disusun dari berbagai cabang ilmu dalam rumpun sosial dengan memadukan kompetensi dasar yang ada.
Permasalahan yang muncul adalah Kompetensai Dasar (KD) dalam Kurikulum Mata Pelajaran IPS belum terstruktur secara terpadu.Walaupun Sub Mata Pelajaran sudah tidak dikenal lagi, namun KD dalam standar isi tersebut masih menunjukkan secara eksplisit substansi dari masing-masing sub mata pelajaran.Dampaknya dalam mengajar guru cenderung mengikuti kurikulum berdasarkan urutan yang ada.Bahkan masih sering ditemukan guru yang mengajar IPS Ekonomi, IPS Sejarah atau IPS Geografi secara terpisah-pisah.
Di sekolah, guru yang tersedia umumnya merupakan guru dengan disiplin ilmu yang terpisah-pisah.Hal ini tentunya mengundang masalah bagi guru untuk beradaptasi dalam pengintegrasian disiplin ilmu sosial tersebut.Solusi yang dapat diberikan adalah mengajar dengan TeamTeaching yaitu dua-tiga orang guru mengajar secara bersama-sama di dalam kelas.Setiap guru memiliki tugas sesuai dengan keahlian dan kesepakatan team.Namun hal ini terkadang dianggap kurang efektif.Bisa saja siswa merasa kurang nyaman dengan metode pergantian guru pengajar.
ada beberapa kali pertemuan dengan guru mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), terungkap beberapa hal terkait dengan pembelajaran mata pelajaran tersebut di sekolah. Ada guru yang menolak dan/atau merasa terpaksa mengajarkan mata pelajaran IPS secara terpadu, menginginkan model pembelajarannya secara terpisah sesuai dengan bahan kajian keilmuannya.Guru yang bersangkutan merasa tidak sanggup membelajarkan materi IPS yang tidak sesuai dengan latar belakang keilmuan (spesialisasinya).
Misalnya di LPTK ia mengambil spesialisasi ilmu pendidikan sejarah, maka yang ingin dibelajarkan pada peserta didik terbatas pada materi yang bersangkutan dengan materi sejarah saja, sedangkan materi (bahan) kajian lainnya ingin diserahkan pada guru IPS yang memiliki spesialisasi yang sesuai. Pada hal di sekolah guru tetap mata pelajaran IPS sangat terbatas, terkadang hanya tersedia satu atau dua orang yang memiliki spesialisasi khusus di bidangnya. Mengangkat guru honor (guru tidak tetap), merupakan masalah tersendiri bagi sekolah, lebih-lebih bagi sekolah kecil dan pinggiran, karena akan menyangkut anggaran yang terbatas untuk membayar honornya, dan bisa jadi kalau sekolah memasukkan guru honor, jam wajib mengajar (tatap muka di kelas) bagi guru tetap yang bersangkutan menjadi tidak terpenuhi sesuai dengan tuntutan perundang-undangan yang berlaku.
Permasalahan serupa sering pula saya dengar pada saat melakukan diskusi di berbagai kesempatan pelatihan atau pertemuan MGMP, dengan beberapa teman yang memiliki latar belakang pendidikan yang sama atau sama-sama mengajar mata pelajaran IPS. Dalam diskusi itu, beberapa teman mengeluhkan tentang beberapa persoalan yang mengganjal terkait pembelajaran IPS di sekolahnya, misalnya: 1) ketidaksiapan dari guru-guru yang ada di sekolahnya untuk membelajarkan IPS secara terpadu, mengingat terbatasnya tenaga guru yang ada; 2) tidak tersedianya fasilitas pendukung pembelajaran IPS yang sesuai dengan kebutuhan; dan 3) masih rendahnya hasil pembelajaran IPS di sekolah.
Berdasarkan gambaran di atas, pembelajaran IPS di sekolah (SMP) masih memiliki persoalan yang mendasar, terutama yang menyangkut tentang guru yang membelajarkannya.Permasalahan ini tidak bisa didiamkan dan harus dicarikan solusinya, sehingga peserta didik menerima pembelajaran IPS dengan bermakna, baik secara akademis maupun untuk kehidupan sehari-hari mereka.

Mata pelajaran IPS di tingkat SMP dalam Kurikulum 2004, sebagai mana tertuang dalam buku Panduan Pengembangan Pembelajaran IPS Terpadu (Depdiknas, 2006), mencakup bahan kajian ”geografi, ekonomi, sejarah dan sosiologi”, yang dibelajarkan, seperti disebutkan oleh Sapriya (2009), secara ”terpadu (integrated)”. Dalam sistem pembelajaran IPS seperti ini, di lapangan (sekolah) ditemukan beberapa masalah mendasar seperti sudah disebutkan di atas. Permasalahan tersebut, apabila dibatasi maka persoalannya bersangkutan dengan kualitas pembelajaran IPS di sekolah, baik yang berkaitan dengan kualitas guru yang membelajarkannya, maupun yang bertalian dengan cara pembelajarannya. Sejalan dengan itu, Sapriya (2009), mengatakan ”
”Dalam bidang pendidikan IPS (PIPS), baik yang bersifat school based maupun community based tantangan yang dihadapi tidaklah sederhana. Tantangan mendesak yang perlu dijawab adalah terkait dengan upaya peningkatan kualitas (mutu) pendidikan.Salah satu variabel yang punya kontribusi cukup besar terhadap baik buruknya kualitas pendidikan adalah unsur guru atau pendidik”.
Berdasarkan pendapat di atas, maka peningkatan kualitas tenaga pendidik IPS untuk meningkatkan kualitas pembelajaran bagi peserta didik di sekolah, merupakan prioritas yang harus diperhatikan secara serius. Diakui atau tidak, masih ada kecenderungan guru dalam pembelajaran IPS menggunakan cara konvensional atau tradisional, pembelajaran tidak berpusat pada peserta didik. Hal ini di samping disebabkan oleh masih kurangnya fasilitas (sarana) belajar IPS, juga didorong oleh rendahnya pemahaman dan pengelaman guru tentang proses pembelajaran yang bermutu (bermakna) bagi peserta didik, termasuk di dalamnya cara pembelajaran IPS terpadu yang efektif. Di sekolah yang kekurangan tenaga pendidik, model pembelajaran IPS terpadu, tidak bisa terselenggara dengan baik mengingat guru kurang menguasai bahan kajian tentang ilmu-ilmu sosial yang lain, selain yang menjadi spesialisasinya.
Pada hakekatnya pembelajaran IPS di sekolah (SMP) yang bersifat terpadu (integrated) bertujuan ”agar mata pelajaran ini lebih bermakna bagi peserta didik sehingga pengorganisasian materi/bahan pelajaran disesuaikan dengan lingkungan, karakteristik, dan kebutuhan peserta didik” (Sapriya, 2009). Sehingga peserta didik dapat menguasai dimensi-dimensi pembelajaran IPS di sekolah, yaitu: ”menguasai pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), sikap dan nilai (attitudes and values), dan bertindak (action)” (Sapriya, 2009).
Oleh karena itu mata pelajaran IPS, menurut Sapriya (2009), merupakan ”seleksi dan integrasi dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan disiplin ilmu-ilmu lain yang relevan, dikemas secara psikologis, ilmiah, pedagogis, dan sosio-kultural untuk tujuan pendidikan. Untuk memahami masalah pendidikan IPS seseorang hendaknya memiliki pemahaman yang baik tentang disiplin ilmu-ilmu sosial yang meliputi struktur, ide fundamental, pertanyaan pokok (mode of inquiry), metode yang digunakan dan konsep-konsep setiap disiplin ilmu, disamping pemahamannya tentang prinsip-prinsip kependidikan dan psikologis serta permasalahan sosial”.

Menyadari akan hal di atas, maka sesungguhnya pembelajaran IPS yang bersifat terpadu di sekolah-sekolah tidak ada masalah, terutama tingkat satuan pendidikan SMP, walaupun guru IPS yang ada kurang atau tidak tersedia semua guru yang memiliki spesialisasi pendidikan yang lengkap. Misalnya di suatu sekolah hanya tersedia guru IPS dari spesialisasi keahlian pendidikan sejarah atau pendidikan geografi saja, sedangkan yang berasal dari spesialisasi keilmuan pendidikan ekonomi dan sosiologi tidak ada.
Hal ini seyogyanya bukan menjadi masalah apabila tenaga guru yang ada memiliki pemahaman yang baik tentang disiplin ilmu-ilmu sosial, bukan hanya paham terhadap bidang keilmuan yang menjadi spesialisasinya semata.
Guru IPS “dituntut tidak saja perlu menguasai keterampilan atau kiat untuk mendidik dan mengajar, tetapi juga memiliki wawasan vertikal – wawasan yang mendalam dan reflektif tentang bidang studi yang diajarkannya, dan wawasan horizontal – wawasan yang melebar yakni ramah terhadap konsep-konsep, proposisi-proposisi, dan teori-teori ilmu sosial ataupun ilmu-ilmu budaya, bahkan juga ekologi” (Atmadja, 1992). Dengan kata lain, guru IPS harus memiliki kemampuan untuk merancang dan melaksanakan program pembelajaran secara terpadu diorganisasikan dengan baik, dan secara terus menerus menyegarkan, memperluas dan memperdalam pengetahuan tentang ilmu-ilmu sosial dan nilai-nilai kemanusiaan.
Untuk menuju ke arah itu, hendaknya guru IPS memahami, melaksanakan dan memegang teguh tentang landasan-landasan pendidikan IPS, yang terdiri dari: ”landasan filosofis, ideologis, sosiologis, antropologis, kemanusian, politis, psikologis, dan landasan religius” (Sapriya, 2009). Oleh karena itu, setiap guru IPS dituntut untuk mampu menguasai dan melaksanakan pendekatan yang mampu mendorong dan mengantarkan peserta didik untuk memperoleh integrasi dari nilai-nilai secara utuh dan bermakna, dari masa lampau sampai masa kini dalam pembelajaran IPS yang mereka terima. Ini berarti mengandung maksud, bahwa dalam proses pembelajaran IPS harus menerapkan pendekatan terpadu (Depdiknas, 2006) atau pendekatan multidimensional (Atmadja, 1992), disebut pula dengan pendekatan interdisipliner (Dipdiknas, 2006). Adapun yang dimaksud dengan pendekatan terpadu secara lebih lengkap, sebagaimana terdapat dalam buku Depdiknas (2006), bahwa :
Model pembelajaran terpadu pada hakikatnya merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang memungkinkan peserta didik baik secara individual maupun kelompok aktif mencari, menggali, dan menemukan konsep serta prinsip secara holistik dan otentik.Melalui pembelajaran terpadu peserta didik dapat memperoleh pengalaman langsung, sehingga dapat menambah kekuatan untuk menerima, menyimpan, dan memproduksi kesan-kesan tentang hal-hal yang dipelajarinya.
Dengan demikian, peserta didik terlatih untuk dapat menemukan sendiri berbagai konsep yang dipelajari secara holistik, bermakna, otentik, dan aktif.Cara pengemasan pengalaman belajar yang dirancang guru sangat berpengaruh terhadap kebermaknaan pengalaman bagi para peserta didik. Pengalaman belajar lebih menunjukkan kaitan unsur-unsur konseptual menjadikan proses pembelajaran lebih efektif. Kaitan konseptual yang dipelajari dengan sisi bidang kajian yang relevan akan membentuk skema (konsep), sehingga peserta didik akan memperoleh keutuhan dan kebulatan pengetahuan. Perolehan keutuhan belajar, pengetahuan, serta kebulatan pandangan tentang kehidupan dan dunia nyata hanya dapat direfleksikan melalui pembelajaran terpadu.
Keberhasilan dalam menguasai dan menerapkan pendekatan di atas, harus didukung dengan adannya keinginan yang untuk melakukan pengembangan diri secara berkesinambungan, yang bisa dilakukan melalui berbagai cara atau jalur, bisa dengan studi lanjut, pelatihan, MGMP, dan lain sebagainya. Dengan begitu setiap guru IPS dapat menjaga dan mengembangkan pengetahuannya, yang sangat berguna dalam pembelajaran bagi peserta didik.Hal ini menjadi lebih penting lagi mengingat karena ilmu pengetahuan, perkembangan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, serta kebutuhan peserta didik terus mengalami perubahan menuju ke arah yang lebih maju.
Perubahan-perubahan tersebut juga memiliki dampak negatif, termasuk bagi peserta didik.Oleh karena itu, setiap guru IPS dituntut untuk sanggup mengabdi terhadap perubahan kehidupan secara umum, dan perubahan dalam pembelajaran. Tanpa adanya keinginan semacam ini, maka pembelajaran IPS di sekolah akan tetap dilakukan dengan cara konvensional atau tradisional, tidak dilakukan dengan strategi dan metode pembelajaran yang berpusat pada peserta didik.
ada beberapa kali pertemuan dengan guru mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) yang ada di sekolah tempat saya bertugas, terungkap beberapa hal terkait dengan pembelajaran mata pelajaran tersebut di sekolah. Ada guru yang menolak dan/atau merasa terpaksa mengajarkan mata pelajaran IPS secara terpadu, menginginkan model pembelajarannya secara terpisah sesuai dengan bahan kajian keilmuannya.Guru yang bersangkutan merasa tidak sanggup membelajarkan materi IPS yang tidak sesuai dengan latar belakang keilmuan (spesialisasinya).
Misalnya di LPTK ia mengambil spesialisasi ilmu pendidikan sejarah, maka yang ingin dibelajarkan pada peserta didik terbatas pada materi yang bersangkutan dengan materi sejarah saja, sedangkan materi (bahan) kajian lainnya ingin diserahkan pada guru IPS yang memiliki spesialisasi yang sesuai. Pada hal di sekolah guru tetap mata pelajaran IPS sangat terbatas, terkadang hanya tersedia satu atau dua orang yang memiliki spesialisasi khusus di bidangnya. Mengangkat guru honor (guru tidak tetap), merupakan masalah tersendiri bagi sekolah, lebih-lebih bagi sekolah kecil dan pinggiran, karena akan menyangkut anggaran yang terbatas untuk membayar honornya, dan bisa jadi kalau sekolah memasukkan guru honor, jam wajib mengajar (tatap muka di kelas) bagi guru tetap yang bersangkutan menjadi tidak terpenuhi sesuai dengan tuntutan perundang-undangan yang berlaku.
Permasalahan serupa sering pula saya dengar pada saat melakukan diskusi di berbagai kesempatan pelatihan atau pertemuan dinas (kerja), baik tingkat kabupaten maupun tingkat provinsi, dengan beberapa teman kepala sekolah yang memiliki latar belakang pendidikan yang sama atau sama-sama mengajar mata pelajaran IPS. Dalam diskusi itu, beberapa teman mengeluhkan tentang beberapa persoalan yang mengganjal terkait pembelajaran IPS di sekolahnya, misalnya : 1) ketidaksiapan dari guru-guru yang ada di sekolahnya untuk membelajarkan IPS secara terpadu, mengingat terbatasnya tenaga guru yang ada; 2) tidak tersedianya fasilitas pendukung pembelajaran IPS yang sesuai dengan kebutuhan; dan 3) masih rendahnya hasil pembelajaran IPS di sekolah.
Berdasarkan gambaran di atas, pembelajaran IPS di sekolah (SMP) masih memiliki persoalan yang mendasar, terutama yang menyangkut tentang guru yang membelajarkannya.Permasalahan ini tidak bisa didiamkan dan harus dicarikan solusinya, sehingga peserta didik menerima pembelajaran IPS dengan bermakna, baik secara akademis maupun untuk kehidupan sehari-hari mereka.
Mata pelajaran IPS di tingkat SMP dalam Kurikulum 2004, sebagai mana tertuang dalam buku Panduan Pengembangan Pembelajaran IPS Terpadu (Depdiknas, 2006), mencakup bahan kajian ”geografi, ekonomi, sejarah dan sosiologi”, yang dibelajarkan, seperti disebutkan oleh Sapriya (2009), secara ”terpadu (integrated)”.
Dalam sistem pembelajaran IPS seperti ini, di lapangan (sekolah) ditemukan beberapa masalah mendasar seperti sudah disebutkan di atas. Permasalahan tersebut, apabila dibatasi maka persoalannya bersangkutan dengan kualitas pembelajaran IPS di sekolah, baik yang berkaitan dengan kualitas guru yang membelajarkannya, maupun yang bertalian dengan cara pembelajarannya.
Sejalan dengan itu, Sapriya (2009), mengatakan ” ”Dalam bidang pendidikan IPS (PIPS), baik yang bersifat school based maupun community based tantangan yang dihadapi tidaklah sederhana,.....Tantangan mendesakyang perlu dijawab adalah terkait dengan upaya peningkatan kualitas (mutu) pendidikan. Salah satu variabel yang punya kontribusi cukup besar terhadap baik buruknya kualitas pendidikan adalah unsur guru atau pendidik”.Berdasarkan pendapat di atas, maka peningkatan kualitas tenaga pendidik IPS untuk meningkatkan kualitas pembelajaran bagi peserta didik di sekolah, merupakan prioritas yang harus diperhatikan secara serius.
Diakui atau tidak, masih ada kecenderungan guru dalam pembelajaran IPS menggunakan cara konvensional atau tradisional, pembelajaran tidak berpusat pada peserta didik. Hal ini di samping disebabkan oleh masih kurangnya fasilitas (sarana) belajar IPS, juga didorong oleh rendahnya pemahaman dan pengelaman guru tentang proses pembelajaran yang bermutu (bermakna) bagi peserta didik, termasuk di dalamnya cara pembelajaran IPS terpadu yang efektif. Di sekolah yang kekurangan tenaga pendidik, model pembelajaran IPS terpadu, tidak bisa terselenggara dengan baik mengingat guru kurang menguasai bahan kajian tentang ilmu-ilmu sosial yang lain, selain yang menjadi spesialisasinya.
Pada hakekatnya pembelajaran IPS di sekolah (SMP) yang bersifat terpadu (integrated) bertujuan ”agar mata pelajaran ini lebih bermakna bagi peserta didik sehingga pengorganisasian materi/bahan pelajaran disesuaikan dengan lingkungan, karakteristik, dan kebutuhan peserta didik” (Sapriya, 2009). Sehingga peserta didik dapat menguasai dimensi-dimensi pembelajaran IPS di sekolah, yaitu : ”menguasai pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), sikap dan nilai (attitudes and values), dan bertindak (action)” (Sapriya, 2009). Oleh karena itu mata pelajaran IPS, menurut Sapriya (2009), merupakan ”seleksi dan integrasi dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan disiplin ilmu-ilmu lain yang relevan, dikemas secara psikologis, ilmiah, pedagogis, dan sosio-kultural untuk tujuan pendidikan.
.Untuk memahami masalah pendidikan IPS seseorang hendaknya memiliki pemahaman yang baik tentang disiplin ilmu-ilmu sosial yang meliputi struktur, ide fundamental, pertanyaan pokok (mode of inquiry), metode yang digunakan dan konsep-konsep setiap disiplin ilmu, disamping pemahamannya tentang prinsip-prinsip kependidikan dan psikologis serta permasalahan sosial”.
Menyadari akan hal di atas, maka sesungguhnya pembelajaran IPS yang bersifat terpadu di sekolah-sekolah tidak ada masalah, terutama tingkat satuan pendidikan SMP, walaupun guru IPS yang ada kurang atau tidak tersedia semua guru yang memiliki spesialisasi pendidikan yang lengkap. Misalnya di suatu sekolah hanya tersedia guru IPS dari spesialisasi keahlian pendidikan sejarah atau pendidikan geografi saja, sedangkan yang berasal dari spesialisasi keilmuan pendidikan ekonomi dan sosiologi tidak ada.
Hal ini seyogyanya bukan menjadi masalah apabila tenaga guru yang ada memiliki pemahaman yang baik tentang disiplin ilmu-ilmu sosial, bukan hanya paham terhadap bidang keilmuan yang menjadi spesialisasinya semata. Guru IPS “dituntut tidak saja perlu menguasai keterampilan atau kiat untuk mendidik dan mengajar, tetapi juga memiliki wawasan vertikal – wawasan yang mendalam dan reflektif tentang bidang studi yang diajarkannya, dan wawasan horizontal – wawasan yang melebar yakni ramah terhadap konsep-konsep, proposisi-proposisi, dan teori-teori ilmu sosial ataupun ilmu-ilmu budaya, bahkan juga ekologi” (Atmadja, 1992). Dengan kata lain, guru IPS harus memiliki kemampuan untuk merancang dan melaksanakan program pembelajaran secara terpadu diaorganisasikan dengan baik, dan secara terus menerus menyegarkan, memperluas dan memperdalam pengetahuan tentang ilmu-ilmu sosial dan nilai-nilai kemaunisan.
Untuk menuju ke arah itu, hendaknya guru IPS memahami, melaksanakan dan memegang teguh tentang landasan-landasan pendidikan IPS, yang terdiri dari : ”landasan filosofis, ideologis, sosiologis, antropologis, kemanusian, politis, psikologis, dan landasan religius” (Sapriya, 2009). Oleh karena itu, setiap guru IPS dituntut untuk mampu menguasai dan melaksanakan pendekatan yang mampu mendorong dan mengantarkan peserta didik untuk memperoleh integrasi dari nilai-nilai secara utuh dan bermakna, dari masa lampau sampai masa kini dalam pembelajaran IPS yang mereka terima. Ini berarti mengandung maksud, bahwa dalam proses pembelajaran IPS harus menerapkan pendekatan terpadu (Depdiknas, 2006) atau pendekatan multidimensional (Atmadja, 1992), disebut pula dengan pendekatan interdisipliner (Dipdiknas, 2006). Adapun yang dimaksud dengan pendekatan terpadu secara lebih lengkap, sebagaimana terdapat dalam buku Depdiknas (2006), bahwa : Model pembelajaran terpadu pada hakikatnya merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang memungkinkan peserta didik baik secara individual maupun kelompok aktif mencari, menggali, dan menemukan konsep serta prinsip secara holistik dan otentik.
Melalui pembelajaran terpadu peserta didik dapat memperoleh pengalaman langsung, sehingga dapat menambah kekuatan untuk menerima, menyimpan, dan memproduksi kesan-kesan tentang hal-hal yang dipelajarinya.Dengan demikian, peserta didik terlatih untuk dapat menemukan sendiri berbagai konsep yang dipelajari secara holistik, bermakna, otentik, dan aktif.Cara pengemasan pengalaman belajar yang dirancang guru sangat berpengaruh terhadap kebermaknaan pengalaman bagi para peserta didik. Pengalaman belajar lebih menunjukkan kaitan unsur-unsur konseptual menjadikan proses pembelajaran lebih efektif.
 Kaitan konseptual yang dipelajari dengan sisi bidang kajian yang relevan akan membentuk skema (konsep), sehingga peserta didik akan memperoleh keutuhan dan kebulatan pengetahuan. Perolehan keutuhan belajar, pengetahuan, serta kebulatan pandangan tentang kehidupan dan dunia nyata hanya dapat direfleksikan melalui pembelajaran terpadu. Keberhasilan dalam menguasai dan menerapkan pendekatan di atas, harus didukung dengan adannya keinginan yang untuk melakukan pengembangan diri secara berkesinambungan, yang bisa dilakukan melalui berbagai cara atau jalur, bisa dengan studi lanjut, pelatihan, MGMP, dan lain sebagainya.
Dengan begitu setiap guru IPS dapat menjaga dan mengembangkan pengetahuannya, yang sangat berguna dalam pembelajaran bagi peserta didik.Hal ini menjadi lebih penting lagi mengingat karena ilmu pengetahuan, perkembangan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, serta kebutuhan peserta didik terus mengalami perubahan menuju ke arah yang lebih maju.Perubahan-perubahan tersebut juga memiliki dampak negatif, termasuk bagi peserta didik.
Oleh karena itu, setiap guru IPS dituntut untuk sanggup mengabdi terhadap perubahan kehidupan secara umum, dan perubahan dalam pembelajaran. Tanpa adanya keinginan semacam ini, maka pembelajaran IPS di sekolah akan tetap dilakukan dengan cara konvensional atau tradisional, tidak dilakukan dengan strategi dan metode pembelajaran yang berpusat pada peserta didik.
Dalam rangka pengembangan diri berkelanjutan tenaga pendidik, termasuk guru IPS di SMP, pemerintah pusat dan daerah sudah pada tempatnya lebih pro aktif dalam memfasilitasinya.Setelah era otonemi daerah, diakui atau tidak, kesempatan guru untuk mengembangkan diri sangat sedikit dan tidak bisa diikuti secara merata dan berkeadilan.Disamping membantu guru dalam hal studi lanjut, pelatihan dan sejenisnya, pemerintah pusat dan daerah sesungguhnya harus mampu mendorong terselenggaranya kegiatan MGMP IPS yang aktif dan berdaya guna untuk menunjang pembelajaran IPS di sekolah.Ini menjadi sangat penting, mengingat tenaga guru IPS di setiap SMP masih sangat kurang, atau pemerintah belum mampu mengangkat guru IPS secara keseluruhan sesuai dengan spesialisasi keilmuannya.Semakin lebih penting lagi karena guru IPS belum memiliki tingkat kemampuan memahami dan menguasai ilmu-ilmu sosial yang secara mantap, ada kecenderungan di antara mereka hanya mau menggeluti atau menguasai bidang keilmuan sosial yang hanya menjadi spesialisasinya dan tidak bersifat terpadu.Dengan begitu diharapkan terjadi peningkatan perolehan nilai hasil belajar peserta didik secera signifikan dalam mata pelajaran IPS.
Pembelajaran IPS  khususnya di SMP, menunjukan indikasi bahwa pola pembelajaran yang di kembangkan oleh guru cenderung bersifat teks book oriented, hanya memindahkan pengetahuan secara utuh yang ada di kepala guru kepada kepala murid. Akibatnya guru telah merasa mengajar dengan baik, namun pada kenyataannya murid tidak belajar.Disamping itu pola pembelajaran yang demikian menyebabkan siswa jenuh, siwa tidak di ajarkan berpikir logis hanya mementingkan pemahaman dan hafalan.Hal ini yang membuat pelajaran ini kurang di gemari banyak siswa, pembelajar IPS terkesan tidak menarik bagi siwa karena ruang lingkupnya yang luas.Sebagian siswa merasa stres dengan pembelajaran ini karena banyaknya materi yang harus di hafal, sehingga kemampuan berpikir logis, kemampuan mengingat dan konsentrasi jadi menurun. Siswa menganggap pelajaran IPS adalah pelajaran yang monoton dan kurang bervariasi, di perparah lagi sama cara guru yang mengajarkannya terlalu teoritis serta tidak menggunakan media pembelajaran.
 Selain itu, kejenuhan dalam pembelajaran IPS akan membuat siswa kurang  fokus dalam belajar. Ketika siswa jenuh, siswa lebih memilih hal-hal yang menurut mereka lebih menyenangkan, seperti mengobrol dengan temannya atau juga asik dengan imajinasinya sendiri. Hal seperti itu akan berpengaruh terhadap penguasaan materi pelajaran. Siswa tidak akan menyerap apa yang akan di paparkan oleh guru apa bila keadaan siswanya tidak dalam keadaan siap belajar.
  Proses pembelajar yang menyenangkan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang keberhasilan suatu pembelajaran karena ketika pembelajaran itu di lakukan dengan cara yang menyenangkan, maka materi yang di pelajari akan mudah di terima dan di mengerti dengan baik oleh siswa. Untuk mengatasi pembelajaran IPS agar tidak monoton dan lebih bervariasi, maka dapat di gunakan media pembelajaran.Tujuan penggunaan media pembelajaran tersebut adalah untuk memperjelas penyampaian materi pelajaran serta memfokuskan perhatian siswa terhadap materi pelajaran.Menciptakan suasana belajar yang variatif dan aktif sangatlah penting, oleh karenanya pemilihan strategi dengan menggunakan media pembelajaran yang tepat merupakan salah satu kuncinya.
Ada beberapa hal yang di keluhkan oleh guru dalam proses pembelajaran IPS, misalkan fasilitas pendukung pembelajaran IPS yang tidak sesuai dengan kebutuhan, ketidaksiapan dari guru yang ada di sekolahnya untuk membelajarkan IPS secara modern melalui media yang canggih.
Dalam pembelajaran di kelas, guru IPS kurang menggunakan metode pembelajaran yang bervariasi dan masih kurang menggunakan metode diskusi di dalam kelas. Ada beberapa metode pembelajaran yang harus divariasikan oleh guru di kelas, misalnya tanya jawab, kartu berpasangan, mind mapping dan lain sebagainya. Metode pembelajaran yang diterapkan oleh guru sudah baik, namun masih kurang menggali kemampuan siswa untuk menemukan ide-ide baru dan berdiskusi.
 Pembelajaran IPS yang masih jarang menggunakan kegiatan diskusi, bukan merupakan masalah utama dalam proses pembelajaran di kelas. Ada berbagai macam masalah yang sering dialami oleh guru IPS di dalam kelas, misalnya siswa belum aktif di dalam kelas yang ditandai dengan siswa jarang mengeluarkan pendapat maupun bertanya, siswa ribut sendiri bersama temannya saat proses pembelajaran, dan siswa belum aktif dalam kegiatan kelompok.

2.4 Peran Guru dalam Meningkatkan Pembelajaran IPS
Dalam telaah hasil penelitian tentang efektivitas keberhasilan guru dalam menjalankan tugas kependidikannya, Medley menemukan beberapa asumsi keberhasilan guru yang pada gilirannya dijadikan titik tolak dalam pengembangannya, yaitu: Pertama, asumsi sukses guru tergantung pada kepribadiannya. Kedua, asumsi sukses guru tergantung pada penguasaan metode.Ketiga, asumsi sukses guru tergantung pada frekuensi dan intensitas aktivitas guru dengan siswa.Dan keempat, asumsi bahwa apapun dasar dan alasannya penampilan gurulah yang terpenting sebagai tanda memiliki wawasan, ada indikator menguasai materi, ada indikator menguasai strategi belajar mengajar, dan lain sebagainya.Asumsi yang keempat ini memang lebih komprehensif, sehingga dijadikan titik tolak dalam pengembangan guru, yang biasa disebut dengan PTKBK (Pendidikan Tenaga Kependidikan Berbasis Kompetensi).
Dalam konteks pengembangan guru di masa depan, diperlukan secara cermat terhadap fenomena sosial dan kultural yang sedang aktual pada masa sekarang yang notabene juga merupakan bagian dari proses dan produk pendidikan. Mengingat pada saat ini masih banyak orang yang cerdas, terampil, pintar, kreatif, produktif dan profesional, tetapi tidak dibarengi dengan kekokohan akidah dan kedalaman spiritual serta keunggulan akhlak.
Dalam rangka reorientasi peran guru dalam meningkatkan pembelajaran IPS tersebut, maka dibutuhkan model pengembangan profesionalisme guru pendidikan IPS sebagai salah satu alternatif yang dapat dilakukan secara berkesinambungan. Model pengembangan profesionalisme guru meliputi:
Preservice education and training, pembinaan ini secara formal dilakukan pada Fakultas/Jurusan IPS yang memfokuskan pada penyiapan kebutuhan guru di lembaga-lembaga pendidikan IPS.
Inservice training, Pola pengembangan guru ini dilaksanakan oleh lembaga pendidikan dan pelatihan khusus seperti PPPPTK dan IPS.Lembaga ini dimaksudkan untuk meng-up grade tenaga kependidikan IPS di bawah pembinaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Mengingat kemampuan guru pendidikan IPS tidak dapat hanya mengandalkan dari apa yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan guru sebagai lembaga preservice education and training.
On the job training, Pola pembinaan guru on the job training adalah proses pembinaan guru yang diprogramkan atau dilaksanakan secara langsung oleh pimpinan lembaga pendidikan di mana guru itu bekerja. Berbagai bentuk pembinaan tersebut antara lain: Pertama, pengarahan dari pimpinan lembaga pendidikan tentang berbagai kebijakan pendidikan. Kedua, kegiatan dalam rangka pelaksanakan tugas dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh guru yang bersangkutan. Ketiga, pemberian pengalaman dalam pelaksanaan tugas selama proses belajar mengajar, baik di dalam maupun di luar kelas, dalam rangka peningkatan kompetensi guru yang dilaksanakan, baik secara individual maupun kelompok. Keempat, pemberian tugas baik terkait dengan teknis edukatif maupun dalam bidang admnistratif yang diberikan kepada guru.
Dengan dilakukannya pengembangan profesionalisme guru, maka bisa didapat calon guru IPS yang memiliki kualitas serta dedikasi yang tinggi terhadap pembelajaran IPS.Karena hakikatnya, guru memiliki peranan yang penting, guna melahirkan generasi penerus bangsa yang cerdas dan demokratis melalui pendidikan IPS.
Guru Pendidikan IPS harus mampu menunjukkan diri sebagai sosok pendidik dan pengajar yang mampu menguasai materi pembelajaran khususnya bidang mata pelajaran IPS, memiliki kemampuan menyampaikan materi secara ikhlas dan dengan metode atau strategi pembelajaran yang baik, serta mampu menjadi model/percontohan bagi peserta didik dan masyarakat dalam mengamalkan keilmuan yang baik dan benar.Dalam konteks inilah, peran guru pendidikan IPS menjadi niscaya.
Guru dalam Perspektif Karakteristik pendidikan IPS di tingkat SMP sebagai sub-sistem pendidikan nasional tengah mengalami persoalan atau problem yang cukup siginifikan dan kompleks karena guru yang mengajar tidak sesuai dengan kompetensi guru dalam membina mata pelajarannya. Problem klasik yang menjadi masalah pokok lembaga pendidikan adalah rendahnya kualitas sumberdaya manusia pengelola pendidikan terutama guru. Dalam proses yang mencakup rekrutmen, pendidikan pengangkatan, pengelolaan, pembinaan dan sebagainya, masih dirasakan belum memberikan kenyamanan bagi para guru dan selalu menimbulkan berbagai kendala dan masalah yang senantiasa dirasakan oleh guru.
Persoalan yang berkaitan dengan hal tersebut adalah antara lain; (a) rendahnya dedikasi guru pendidikan IPS dalam melaksanakan tugasnya. Dalam kenyataan masih banyak guru yang melaksanakan tugasnya tidak sepenuh hati, sekedar mengajar, sehingga hasilnya tidak maksimal; (b) kecenderungan guru pendidikan IPS yang lebih menekankan aspek kognitif dalam menyampaikan materi pelajaran.Padahal, sebagaimana dijelaskan, pendidikan IPS lebih meng­utamakan aspek afektif-psikomotorik (amal salih) dibanding hanya sekedar pintar tidak inovatif; (c) rendahnya kemampuan guru pendidikan IPS dalam menguasai materi dan strategi penyampaian materi kepada peserta didik. Akibatnya, peserta didik tidak akan memperoleh hasil belajar yang maksimal; (d) minimnya guru pendidikan IPS yang dapat dijadikan sebagai model ideal (uswah hasanah) bagi peserta didik dalam melaksanakan pembelajarannya. Karena seorang guru tidak hanya dituntut untuk mengejar target materi, tapi juga memiliki kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan professional.
Pekerjaan sebagai guru adalah pekerjaan yang luhur dan mulia, baik ditinjau dari sudut masyarakat, negara dan ditinjau dari sudut pandang sosial . Guru sebagai pendidik adalah orang yang berjasa besar terhadap masyarakat dan negara. Tinggi atau rendahnya kebudayaan suatu masyarakat, maju atau mundurnya tingkat kebudayaan suatu masyarakat tergantung kepada pendidikan dan pengajaran yang diberikan oleh guru.Makin tinggi pendidikan guru, makin baik pula mutu pendidikan dan pengajaran yang diterima oleh anak dan makin tinggi pula derajat masyarakat.
Bagi masyarakat modern, citra dan konsep guru sangat jauh berbeda dengan konsep di masa lampau.Bila dulu guru berarti orang yang berilmu yang arif dan bijaksana, kini guru dilihat tidak lebih sebagai fungsionaris pendidikan yang bertugas mengajar atas dasar kualifikasi keilmuan dan akademis tertentu. Untuk tugas tersebut, ia memperoleh imbalan materi dari negara atau pihak pengelola pendidikan lainnya.
Dengan demikian, faktor terpenting dalam profesi guru dewasa ini adalah kualifikasi keilmuan dan akademis tersebut.Faktor-faktor lain seperti kearifan dan kebijaksanaan—yang merupakan sikap dan tingkah laku moral—tidak lagi significant.Padahal dalam konsep klasik, faktor moral berada di urutan teratas kualifikasi keguruan.Sedangkan faktor kompetensi—keilmuan dan akademis—berada di bawah kualifikasi moral.
Selain itu, faktor-faktor dan motivasi ekonomis dan materi semakin menonjol dan turut pula menggeser konsep dan citra guru.Dalam konteks itu, tidak aneh, kalau belakangan ini dalam masyarakat modern ada pemogokon dan demonstrasi guru untuk menuntut kenaikan gaji.Semua ini berujung pada memburuknya interaksi yang terjadi di lingkungan pendidikan.Kurang pentingnya kualifikasi moral, menonjolkan faktor ekonomis berjalin kelindan dengan semakin ketatnya birokrasi dan formalitas dalam dunia pendidikan mengakibatkan interaksi yang terjadi kian kering dari nilai-nilai manusiawi.Hubungan emosional nyaris tidak ada antara guru dengan muridnya.Begitu pula sebaliknya. Pada gilirannya interaksi semacam ini menjadikan sekolah hanya sekedar tempat  memperoleh ilmu, bukan pendidikan. Dengan kata lain, sekolah hanya menjadi tempat mengisi otak dan penalaran, bukan pembentukan watak dan kepribadian.
Maka dari itu, dalam perspektif keindonesiaan, seorang guru haruslah bukan hanya sekedar tenaga pengajar, tetapi sekaligus pendidik. Karena itu, seseorang dapat menjadi guru bukan hanya karena ia telah memenuhi kualifikasi keilmuan dan akademis saja, tetapi lebih penting lagi ia harus terpuji akhlaknya. Dengan demikian, seorang guru bukan hanya mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih penting pula membentuk watak dan pribadi anak didiknya dengan akhlak dan ajaran-ajaran agama.
Guru Pendidikan IPS harus mampu menunjukkan diri sebagai sosok pendidik dan pengajar yang mampu menguasai materi pembelajaran khususnya bidang mata pelajaran IPS, memiliki kemampuan menyampaikan materi secara ikhlas dan dengan metode atau strategi pembelajaran yang baik, serta mampu menjadi model (uswah hasanah) bagi peserta didik dan masyarakat dalam mengamalkan keilmuan yang baik dan benar.
Dalam konteks inilah, profesionalisme guru pendidikan IPS menjadi niscaya.Maka dari itu, diperlukan sebuah pengembangan guru yang berkelanjutan yang berorientasi pada peningkatan kualitas dimensi personal dan sosial, termasuk juga adanya keseimbangan dengan peningkatan kualitas dimensi intelektual dan spiritual.

2.5 Solusi terhadap hambatan pembelajarn IPS di SMP N 3 Karangjati
Untuk membuat siswa bisa aktif, guru disini sangat berperan karena di usahakan seorang guru harus bisa mengkondisikan siswanya untuk bisa terlibat aktif dalam diskusi kelas dan di usahakan murid harus dalam kondisi yang siap menangkap semua pelajaran yang akan di bahas di dalam kelas. Disini guru di tuntut untuk bisa meningkatkan kualitasnya, menurut Depdiknas (2005) peningkatan kualitas guru dapat dilihat dari kinerjanya. beberapa indikator kualitas perilaku pembelajaran guru dapat dicermati antara lain pada: (1) Kemampuan guru dalam membangun perspepsi dan sikap positif siswa terhadap belajar; (2) Penguasaan ilmu yang luas dan mendalam serta mampu memilih, menata, mengemas, dan menyajikan materi sesuai kebutuhan siswa; (3) Kemampuan memahami keunikan setiap siswa dengan segenap kelebihan dan kekurangannya; (4) Kemampuan memahami lingkungan keluarga, sosial budaya, dan kemajemukan masyarakat tempat kehidupan siswa; (5) Kemampuan mengelola pembelajaran yang mendidik berorientasi pada siswa yang tercermin dalam kegiatan merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi pembalajaran secara dinamis untuk membentuk kompetensi siswa; (6) Kemampuan mengembangkan kepribadian dan keprofesionalan secara berkelanjutan.
Kualitas perilaku dan dampak belajar siswa dapat dilihat dari kemampuan mereka.Antara lain: (1) Kemampuan memiliki persepsi dan sikap positif terhadap belajar; (2) Kemampuan mengintegrasikan pengetahuan dengan ketrampilan; (3) Kemampuan memperluas dan memperdalam pengetahuan dan ketrampilan yang telah diperoleh; (4) Kemampuan menerapkan pengetahuan, ketrampilan, dan sikapnya secara bermakna; (5) Kemampuan membangun kebiasaan berfikir, bersikap, dan bekerja produktif. Kualitas Iklim belajar mencakup: (1) Kondisi suasana kelas yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya kegiatan pembelajaran yang produktif, aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan; (2) Adanya keteladanan, prakarsa, dan kreativitas yang dilakukan guru sebagai model. Kualitas materi pembelajaran dapat diketahui dengan indikator antara lain: (1) Adanya kesesuaian materi dengan tujuan pembelajaran dan kompetensi yang harus dikuasai siswa; (2) Adanya keseimbangan keluasan dan kedalaman materi dengan jumlah waktu yang dirancang; (3) Penyajian dilaksanakan secara sistematis dan kontekstual; (4) Mampu memberikan peluang bagi siswa untuk belajar aktif secara maksimal. Kualitas media pembelajaran ditandai dengan ciri -ciri antara lain: (1) Mampu mewujudkan pengalaman belajar bermakna bagi siswa; (2) Mampu menfasilitasi terjadinya interaksi antara guru dan siswa, siswa dengan siswa, dan guru dengan guru; (3) Mampu memperkaya pengalaman belajar bagi siswa; (5) Mampu mengubah suasana belajar dari pasif menjadi aktif.
Kualitas pembelajaran di sekolah diandai dengan ciri-ciri antara lain: (1) Sekolah mampu menonjolkan ciri khasnya sebagai sekolah yang memiliki keunggulan; (2) Sekolah selalu responsif terhadap berbagai tantangan internal dan eksternal; (3) Memiliki perencanaan y ang matang dan strategis dakam bentuk rencana strategis dan rencana operasional sekolah; (4) Adanya semangat perubahan dari warga sekolah melalui berbagai aktivitas pengembangan; (5) Adanya mekanisme pengendalian mutu dan penjaminan mutu sekolah.
Jadi menurut pengamatan penulis, untuk meningkatkan kualitas pembelajaran IPS di sekolah, semua aspek harus berperan maksimal seperti kualitas guru yang harus maksimal dalam mengajar, sarana dan prasarana yang harus memadai, kondisi iklim yang kondusif untuk kenyamanan pembelajaran dan media-media yang bisa membantu pemahaman siswa terhadap materi yang di ajarkan.
guru IPS harus memiliki kemampuan untuk merancang dan melaksanakan program pembelajaran secara terpadu diorganisasikan dengan baik, dan secara terus menerus menyegarkan, memperluas dan memperdalam pengetahuan tentang ilmu-ilmu sosial dan nilai-nilai kemanusiaan.
Untuk menuju ke arah itu, hendaknya guru IPS memahami, melaksanakan dan memegang teguh tentang landasan-landasan pendidikan IPS, yang terdiri dari: ”landasan filosofis, ideologis, sosiologis, antropologis, kemanusian, politis, psikologis, dan landasan religius”
Dalam mengembangkan kemampuan siswa, pendidik harus mampu mengelola proses pembelajaran dengan baik. Proses pembelajaran yang baik dan berkualitas memiliki fungsi dan tujuan untuk mengaktifkan siswa di dalam kelas serta meningkatkan pemahaman siswa terhadap pelajaran. Pembelajaran dikatakan berhasil dan berkualitas, apabila siswa terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran di kelas, serta meningkatnya pemahaman siswa di dalam kelas. Untuk meningkatkan aktivitas dan pemahaman siswa di dalam kelas, maka perlu dibuat suatu rencana pembelajaran yang baik.
Pembelajaran IPS dilaksanakan terpadu menuntut guru IPS dapat menguasai materi Geografi, Sejarah, Ekonomi, Sosiologi. Latar belakang kwalifikasi pendidikan Guru dari berbagai disiplin ilmu non IPS, dari disiplin ilmu IPS terpisah solusinya agar guru IPS selalu belajar konsep-konsep IPS dari berbagai sumber dan menggali sumber belajar IPS dan memberdayyakan MGMP.
Kesulitan menganalis keterkaitan SKL, KI dan KD dan membuat Indikator pencapaian kompetensi untuk dituangkan dalam rancangan pembelajaran solusinya melalui bimbingan dalam pendampingan oleh Widyaiswara dengan mempraktikkan langkah-langkah analisis SKL, KI, dan KD sampai benar-benar dipahami, dilanjutkan bimbingan cara merencanakan pembelajaran, mulai dari memetakan KD, pemilihan tema, penjabaran kompetensi dasar ke dalam indikator, dan menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
Kesulitan melaksanakan penilaian dalam pembelajaran IPS diberikan solusi meningkatkan pemahaman terhadap konsep penilaian dan praktik menyusun instrument penilaian dalam pembelajaran IPS
Dalam mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, kita harus memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi, dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa masyarakat.Untuk mencapai tujuan tersebut, program-program pelajaran IPS di sekolah haruslah diorganisasikan secara baik.
Konsep pengembangan kurikulum masa depan mata pelajaran IPS sebaiknya isinya lebih menekankan pada muatan materi kurikulum yang berlandaskan padakonsep multikultur dan nilai-nilai humanistik. Konsep tersebut menonjolkan prinsip keadilan sosial, pembebasan, kearifan lokal, ekonomi rakyat, nasionalisme, dan kearifan masa lampau untuk melangkah ke masa depan. Pelaksanaan kurikulum mata pelajaran IPS, masih ditemukan berbagai permasalahan, yaitu yang berkaitan dengan isi dokumen kurikulum, utamanya tentang Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD). Selainpermasalahan dokumen kurikulum, permasalahan dalam implementasi kurikulumterutama masalah belum optimalnya guru dalam menyusun program silabus danRencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), struktur program yang tidakseimbang antara alokasi waktu dengan jumlah Kompetensi Dasar (KD), strategipembelajaran yang masih satu arah, penilaian berbasis kelas yang kurang variatif,dansarana pembelajaran yang masih minim, serta kualifikasi guru yang masihrendah.Berkaitan dengan kesimpulan di atas, ada beberapa rekomendasi untuk kebijakanpengembangan kurikulum masa depan mata pelajaran IPS, yaitu:
1. Jangka Pendek
a. Perlu menata ulang Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD)
sesuai dengan proporsi dan pemerataan distribusi pada tiap jenjang
b. Perlu pelatihan dan sosialisasi untuk peningkatan kualifikasi dan kompetensi
guru di berbagai jenjang pendidikan
c. Perlu ada konsistensi antara pengembangan kurikulum mata pelajaran IPS
dengan penilaian hasil belajar
d. Pemerintah diharapkan memperluas akses bagi setiap satuan pendidikan
untuk meningkatkan fasilitas pembelajaran IPS yang memadai dan
berkesinambungan.
2.Jangka Panjang
Pengembangan kurikulum masa depan mata pelajaran IPS harus memiliki
landasan filosofi yang jelas dengan berlandaskan aspek-aspek multikultur, nilai-
nilai humanis, prinsip keadilan dan pembebasan, serta terjaganya kearifan lokal.
Dalam mengatasi hambatan-hambatan tersebut, guru IPS terpadu di SMP Negeri 3karangjati  telah melakukan berbagai upaya. Upaya-upaya tersebut antara lain; (1) belajar sebelum mengajar terutama sebelum mengajar yang bukan merupakan bidang ilmu guru tersebut, (2) membentuk forum guru IPS terpadu disekolah yang kegiatannya antara lain mengembangkan silabus IPS terpadu, diskusi-diskusi dan lain-lain, (3) menambah wawasan melalui MGMP, PLPG dan sebagainya, (4) variasi gaya mengajar dan model-model pembelajaran, (5) penggunaan berbagai sumber dan media belajar antara lain lingkungan sekolah, lingkungan sekitar siswa, buku dan internet sekolah (wifi), dan pemanfaatan fasilitas teknologi yang disediakan oleh sekolah seperti LCD dan komputer.





























DAFTAR PUSTAKA

http://edukasi.kompasiana.com/2011/10/31/permasalahan-pembelajaran-ips-terpadu-406042.html

http://ahmadmuzanni.blogspot.com/2012/11/reorientasi-pengembangan-guru.html

http://www.pips-unm.com/berita-problematika-pembelajaran-ips–dalam-perubahan-global-.html

Strategi Pembelajaran Geografi : Penggunaan Media Sumber Belajar Dalam Proses Belajar Mengajar

Panduan Pengembangan Pembelajaran IPS Terpadu, Jakarta : Depdiknas. Sapriya, 2009 Pendidikan IPS Konsep dan Pembelajaran, Bandung : Penerbit : PT Rosdakarya.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ahmadturmuzi/permasalahan-pembelajaran-ips-terpadu_55090335813311961cb1e33d

Tidak ada komentar:

Posting Komentar