Sabtu, 17 November 2018

LANDASAN FILOSOFIS DALAM PEDAGOGIK  PENDIDIKAN

Sebelum kita bahas masalah landasan Filosofis dalam pedagogik Pendidikan, perlu kita telaah terlebih dahulu  kompetensi pendidik khususnya guru, Guru Berdasarkan Kompetensi dikembangkan bertolak dari perangkat kompetensi yang merupakan syarat bagi pelaksanaan tugas-tugas keguruan dan kependidikan yang telah ditetapkan dan berujung pada pelaksanaan perangkat-perangkat kompetensi oleh guru setelah mengikuti sejumlah pengalaman belajar.
Perangkat kompetensi meliputi proses pencapaian yang dilandasi oleh asumsi-asumsi filosofis, yaitu pertanyaan-pertanyaan yang dianggap benar, baik atas dasar bukti-bukti empirik, dugaan-dugaan maupun nilai-nilai masyarakat berdasarkan Pancasila. Asumsi-asumsi tersebut merupakan batu ujian di dalam menilai perancangan dan implementasi program dari penyimpangan-penyimpangan pragmatis ataupun dari serangan-serangan konseptual.

Pendidikan tidak lepas dari pendewasaan manusia. Dimana manusia (anak) diharapkan menjadi pribadi yang memiliki norma serta pengetahuan agar mampu menghadapi dunia yang senantiasa berubah.  Disini kita akan membahas mengenai Pancasila sebagai landasan filosofis dalam pendidikan. Pancasila merupakan dasar bagi bangsa Indonesia dalam menata kehidupannya termasuk di dalamnya menata pendidikan. Pancasila merupakan landasan pendidikan nasional sebagaimana tercantuum dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 Bab 2 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang bunyinya: Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Jadi pancasila merupakan salah satu dasar pendidikan nasional di Indonesia. Pancasila juga sebagai dasar pengetahuan yang memiliki nilai-nilai serta norma-norma yang telah diterima oleh masyarakat sebagai bentuk kepribadian bangsa Indonesia.
1.     Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sila pertama mengajarkan kita untuk percaya pada satu Tuhan. Dimana seorang umat diajarkan untuk mengurus urusan agamanya masing-masing tanpa mencampuri urusan agama orang lain. Dengan hanya memiliki satu Tuhan, kita sebagai seorang pemeluk agama akan belajar mengenai bagaimana kita beribadah kepada Tuhan kita, tentang sifat-sifat-NYA, dengan begitu kita mengetahui apa yang bersumber dari Tuhan kita, sehingga arah tujuan kita akan lebih terarah dengan tetap berpedoman kepada apa yang telah diajarkan menurut ajaran secara dogmatis.
Dalam pendidikan pancasila mengajarkan untuk melaksanakan pendidikan yang sesuai dengan petunjuk dari Tuhan. Dimana suatu agama semuanya mengajarkan kebaikan. Semua manusia memiliki pengetauan yang berasal dari Tuhannya. Karena manusia secara lahir telah dianugerahi akal dan budi yang memungkinkan manusia berpengetahuan dan membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya.Sila pertama pancasila tersebut berperan dalam pendidikan yang menjelaskan bahwa Tuhan menurunkan wahyu kepada manusia melalui utusanNya, sehingga wahyu tersebut menjadi suatu pengetahuan bagi manusia. Manusia memperoleh kebenaran dan pengetahuan tersebut melalui wahyu yang diberikan Tuhan kepada manusia. Pengetahuan tersebut dapat dijadikan sebagai petunjuk dalam mendidik seseorang agar menjadi pribadi yang bertaqwa kepada Tuhan-Nya.
Nilai yang terkandung dalam sila pertama ini adalah bahwa Tuhan Maha Esa, Tuhan lah yang paling berkuasa atas segala sesuatu yang ada di dunia ini, temasuk pendidikan. Sila ini juga mendidik bangsa Indonesia agar taat dan patuh kepada Tuhan sesuai dengan agama yang dianutnya.
2.     Kemanusiaan yang adil dan beradab
Sila kedua ini berperan dalam mengajarkan seorang guru bagaimana cara mendidik manusia dengan rasa kemanusiaan. Mendidik manusia agar menjadi pribadi yang memiliki rasa kemanusiaan. Mendidik dengan rasa kemanusiaan agar tidak hanya mementingkan diri sendiri, namun peduli dengan orang lain. Karena manusia pada hakikatnya sejajar dengan manusia lain, tak ada golongan yang lebih tinggi dan yang lebih rendah, yang membedakan hanyalah ketaqwaannya kepada Tuhan. Dari sisi pengetahuan sila tersebut berperan dalam memperoleh pengetahuan yang berasal dari diri sendiri yang berasal dari manusia itu sendiri. Seperti pengetahuan mengenai gagasan-gagasan yang muncul saat perumusan pancasila, yang akhirya menghasilkan pancasila seperti saat ini yang dapat digunakan sebagai dasar dalam pendidikan. Hubungan sila kedua dengan pengetahuan ini adalah melalui pemikiran yang berasal dari diri sendiri tersebut dapat memberi pengetahuan pada manusia lain yang juga dapat menerima pengetahuan sehingga orang lain tersebut dapat berpikir sendiri sesuai arahan yang telah ada.
3.     Persatuan Indonesia
Dari sila ketiga ini kita diajarkan untuk bersatu walaupun kita berbeda agama, kebudayaan, ras, suku bangsa dan sebagainya, namun kita tetap sama yaitu warga negara Indonesia yang berpedoman pada pancasila. Walaupun kita berbeda, kita tak sama namun dengan adanya sumpah pemuda, kita memiliki tumpah darah yang sama, bangsa yang sama, dan bahasa yang sama sebagai pemersatu perbedaan diantara kita semua. Dari segi pendidikan sila tersebut berperan dalam cara pengajaran di sekolah.
4.      Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
Sila keempat ini mengajarkan kita untuk berdemokrasi, khususnya untuk bemusyawarah dengan menerima pendapat orang lain. Dalam pendidikan sila ini menjadi acuan dalam pengambilan keputusan. Melalui kesepakatan bersama yang akan menghasilkan mufakat bersama. Seperti contohnya saat di kelas, ketika guru menugaskan muridnya untuk berdemokrasi mengenai suatu permasalahan. Maka melalui tugas ini, anak sudah mulai diajarkan untuk berdemokrasi dengan mengeluarkan pendapat dan menghargai pendapat temannya.
Dari sisi pengetahuan sila ini mengajarkan bahwa pengetahuan dapat diperoleh melalui suatu demokrasi seperti yang makna tersurat dari sila tersebut yaitu sila kerakyatan. Melalui demokrasi ini seseorang diajarkan untuk berpendapat dan memperhatikan kesepakatan-kesepakatan yang telah diambil secara bersama.
5.     Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Sila kelima ini berperan dalam suatu pendidikan. Dimana seorang pemimpin harus berlaku adil untuk seluruh anggota dalam pendidikan. Tidak membeda-bedakan satu dengan yang lainnya. Dalam pendidikan sila ini berperan dalam pengajaran seperti seorang guru tidak boleh membeda-bedakan muridnya. Membeda-bedakan antara si kaya dan si miskin, si bodoh dan si pintar dan sebagainnya. Seorang guru hendaklah bersikap sama kepada semua muridnya.
Dari segi pengetahuan, sila ini mengajarkan bahwa pengetahuan harus diberikan secara adil kepada orang lain. Tidak membeda-bedakan agar golongan yang belum mampu menyerap ilmu pengetahuan tidak merasa dibeda-bedakan serta memiliki semangat dalam belajar.
Secara keseluruhan sila-sila pancasila, maka pancasila memiliki beberapa peranan dalam pendidikan, diantaranya adalah.
1.      Sebagai dasar dan tujuan pendidikan
Pendidikan erat kaitannya dengan nilai dan norma. Karena hakikat dari pendidikan itu sendiri adalah memanusiakan manusia. Berdasarkan makna dari isi pancasila tersebut, maka semua orang yang terlibat dalam pendidikan memiliki dasar untuk menentukan tujuan, kurikulum, metode pembelajaran, dan sebagainya.
Pancasila sebagai dasar dan tujuan pendidikan ini merupakan dasar pelaksanaan pendidikan nasional Indonesia. Melalui pancasila pendikan akan berlangsung dengan arah dan tujuan menjadi lebih terarah. Tujuan pendidikan di Indonesia yang sesuai pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu mencerdasakan kehidupan bangsa. Namun cerdas tersebut bukan hanya cerdas dari segi intelektual saja, namun juga cerdas akal budi pekerti sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku serta cerdas dalam bersikap. Pancasila berperan dalam menciptakan rakyat Indonesia yang tidak hanya cerdas dalam segi intelektual saja, manun melalui pancasila ini seseorang diajarkan mengenai nilai-nilai yang akan membentuk kepribadian mereka sehingga mereka cerdas dalam bersikap. Dengan adanya pancasila ini diharapkan mampu menciptakan pribadi yang taat kepada Tuhannya, memilki rasa kemanusiaan, persatuan, kerakyatan serta mampu berlaku adil kepada semua makhluk ciptaan Tuhan.

2.     Sebagai dasar kurikulum
Tujuan pendidikan yang hendak dicapai haruslah sesuai dengan kurikulum. Maka dalam pembentukan kurikulum harus berdasarkan pancasila agar tujuan umum pendidikan nasional Indonesia mampu tecapai. Berdasarkan pancasila tujuan pendidikan yang hendak diinginkan oleh sekolah pun akan lebih terarah.  Kurikulum ini menunjukkan segala hal yang akan dipelajari untuk mencerdaskan kehidupan bangsanya, untuk itu pembentukan kurikulum disesuaikan dengan tujuan nasional Indonesia agar tujuan pendidikan dapat tercapai sebagaimana mestinya.
Mengapa kita perlu mempelajari landasan filosofis bagi pendidikan, khususnya apabila ada pertanyaan rasional yang seyogyanya tidak dapat dijawab oleh ilmu atau cabang ilmu-ilmu pendidikan. Pakar dan praktisi pendidikan memandang filosofis pendidikan membahas konsep dan praktik pendidikan secara komprehensif sebagai bagian yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan pendidikan. Pada era globalisasi dan modernisasi yang melaju sangat pesat, pendidikan harus diberi inovasi agar dapat berkembang dan memiliki arah tujuan yang jelas. Konstruksi filosofis diperlukan untuk  melandasi teori dan praktek pendidikan agar tercapai keberhasilan substantif. Seperti yang dikatakan Langeveld (1955) Pedagogik mempergunakan pendekatan fenomenologis secara kualitatif dalam metode penelitiannya: Pedagogik bersifat filosofis dan empiris. Berfikir filosofis pada satu siti dan di pihak lain pengalaman dan penyelidikan empiris berjalan bersama-sama. Pada dasarnya fenomenologi adalah suatu tradisi pengkajian yang digunakan untuk mengeksplorasi pengalaman manusia. Seperti yang dikemukakan oleh Littlejohn bahwa fenomenologi adalah suatu tradisi untuk mengeksplorasi pengalaman manusia. Dalam konteks ini ada asumsi bahwa manusia aktif memahami dunia disekelilingnya sebagai sebuah pengalaman hidupnya dan aktif menginterpretasikan pengalaman tersebut.Asumsi pokok fenomenologi adalah manusia secara aktif menginterpretasikan pengalamannya dengan memberikan makna atas sesuatu yang dialaminya. Oleh karena itu interpretasi merupakan proses aktif untuk memberikan makna atas sesuatu yang dialami manusia. Dengan kata lain pemahaman adalah suatu tindakan kreatif, yakni tindakan menuju pemaknaan.
Beberapa teori yang berkaitan dengan landasan filosofis dalam pedagodik pendidikan
a. Teori Kognitifisme atau teori Perkembangan Kognitif.
Teori Kognitifisme dikembangkan oleh Jean Piaget. Piaget menegaskan bahwa pengetahuan bukanlah duplikat dari objek, dan bukan pula sebagai tampilan kesadaran dari bentuk yang ada dengan sendirinya dalam diri individu.
Menurut Hartley & Davies (1978), prinsip-prinsip kognitifisme banyak diterapkan dalam dunia pendidikan khususnya dalam melaksanakan kegiatan perancangan pembelajaran. Prinsip-prinsip tersebut adalah :
1.      Peserta didik akan lebih mampu mengingat dan memahami sesuatu apabila pelajaran tersebut disusun berdasarkan pola dan logika tertentu;
2.      Penyusunan materi pelajaran harus dari yang sederhana ke yang rumit. Untuk dapat melakukan tugas dengan baik peserta didik harus lebih tahu tugas-tugas yang bersifat lebih sederhana;
3.      Belajar dengan memahami lebih baik dari pada menghapal tanpa pengertian. Sesuatu yang baru harus sesuai dengan apa yang telah diketahui siswa sebelumnya. Tugas guru disini adalah menunjukkan hubungan apa yang telah diketahui sebelumnya;
4.       Adanya perbedaan individu pada siswa harus diperhatikan karena faktor ini sangat mempengaruhi proses belajar siswa. Perbedaan ini meliputi kemampuan intelektual, kepribadian, kebutuhan akan suskses dan lain-lain. (dalam Toeti Soekamto 1992:36)

b. Teori Historis- Kultural ( Cultural Historical Theories )
Lev S. Vygotsky mengembang ini dengan memusatkan perhatian pada penggunaan simbol sebagai alat, dengan dasar pemikiran bahwa manusia menemukan alat yang telah mengantarkan kemajuan bagi umat manusia. Sistem simbol yang dikembangkan adalah bahasa lisan dan tulisan, sistem matematika, notasi music dan lainnya.Vigotsky mendasarkan teorinya pada konsep bahwa aktivitas mental adalah sesuatu hal yang unik hanya pada  manusia. Simbol-simbol tersebut merupakan produk dari belajar sosial yaitu proses penyadaran simbol- simbol sosial dan internalisasi kebudayaan dan hubungan sosial.

    Vigostsky mengidentifikasi 3 konsep pokok yang terkait dengan pembelajaran, yaitu :
1.      Hukum genetic perkembangan atau genetic law of development. Menurut hukum ini pertumbuhan dan perkembangan kognitif seseorang berlangsung dalam 2 tataran yaitu lingkungan sosial sebagai ranah intermental atau interpsikologis dan suasana psikologis dalam diri seseorang sebagai ranah intramental atau intrapsikologis.
2.      Zona perkembangan proksimal atau zone of proximal development. Zona ini merupakan ruang antara perkembangan actual, artinya nyata dan perkembangan potensial seseorang, yang ada di dalam diri atau late.
3.      Mediasi atau mediation. Mediasi merupakan simbol- simbol seperti bahasa, lambang, semiotika yang ada dalam lingkungan. Mediasi dibedakan menjadi 2 yaitu ; Mediasi  kognitif dan Mediasi meta kognitif.
c. Teori Humanistik
Dalam artikel “some educational implications of the Humanistic Psychologist” Abraham Maslow  mengkritisi teori Freud dan behavioristik. Menurut Abraham, yang terpenting dalam melihat manusia adalah potensi yang dimilikinya. Humanistik lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia daripada berfokus pada “ketidaknormalan” atau “sakit” seperti yang dilihat oleh teori psikoanalisa Freud. Pendekatan ini melihat kejadian setelah “sakit” tersebut sembuh, yaitu bagaimana manusia membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan bertindak positif ini yang disebut sebagai potensi manusia dan para pendidik yang beraliran humanistik biasanya memfokuskan pengajarannya pada pembangunan kemampuan positif ini.
Kemampuan positif erat kaitannya dengan pengembangan emosi positif yang terdapat dalam domain afektif, misalnya ketrampilan membangun dan menjaga relasi yang hangat dengan orang lain, bagaimana mengajarkan kepercayaan, penerimaan, kesadaran, memahami perasaan orang lain, kejujuran intrapersonal, dan pengetahuan interpersonal lainnya. Intinya adalah meningkatkan kualitas ketrampilan interpersonal dalam kehidupan sehari-hari.
Selain menitik beratkan pada hubungan interpersonal, para pendidik yang beraliran humanistik juga mencoba untuk membuat pembelajaran yang membantu anak didik untuk meningkatkan kemampuan dalam membuat, berimajinasi, mempunyai pengalaman, berintuisi, merasakan, dan berfantasi. Pendidik humanistik mencoba untuk melihat dalam spektrum yang luas mengenai perilaku manusia.
Pendidikan humanistik adalah pendidikan manusia secara utuh dan menyeluruh yang memusatkan perhatian pada proses pendidikan yang memungkinkan peserta didik melakukan belajar menikmati kehidupan atau mencapai kebutuhan lebih tinggi dalam pengertian kebutuhan akan kehidupan yang optimal atau kemungkinan pertumbuhan yang positif. Karakteristik pendidikan humanistik antara lain :
1.      Menjadikan peserta didik sebagai isi
2.      Mengenal bahwa imaginasi peserta didik seperti dicerminkan dalam seni, impian, cerita dan fantasi.
3.      Memberikan perhatian khusus terhadap ekspresi non-verbal
4.      Menggunakan permainan, improvisasi, dan bermain peran sebagai wahana simulasi perilaku yang dapat dikaji dan diubah.

Tujuh aspek tujuan pendidikan humanistik meliputi :
a)      Perkembangan personal, contoh kematangan berbicara
b)      Perilaku kreatif yang mencakup kemurnian, kreativitas imajinasi,  interpretasi baru, makna baru dan sejenisnya
c)      Kesadaran antar pribadi, contohnya setiap orang pasti membutuhkan orang lain untuk berteman
d)     Orientasi terhadap mapel/ disiplin ilmu
e)      Materi seperti IPS, Matematika, dll
f)       Metode pembelajaran afektif, contohnya bermain peran.
Pandangan Ericson tentang Affective development terdapat tahap perkembangan manusia yang sehat, yaitu 1)Tahap bertahan hidup masa bayi; 2)Tahap pengokohan pada masa kanak- kanak;3)Tahap sosiabilitas; 5)Tahap keahlian pada masa dewasa muda; 6) Tahap kematangan pada masa dewasa
g)      Guru dan tenaga kependidikan lainnya
Dalam mempelajari landasan Filosofis dalam pedagogic Pendidikan perlu kita tinjau dasar filosofisnya yang terkait dalam arti dasar ontologis, dasar epistemologis, dan aksiologis, dan dasar antropologis ilmu pendidikan.
1. Dasar ontologis ilmu pendidikan (eksistensi & Esensi)
Dalam landasan filosofis pendidikan diperlukan dasar ontologis yang berupa aspek realitas dijangkau melalui pengalaman pancaindra ialah dunia pengalaman manusia secara empiris. Secara eksistensi/keberadaan objek materiil ilmu pendidikan ialah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap aspek-aspek kepribadiannya, yaitu manusia yang berakhlak mulia dalam situasi pendidikan atau diharapkan manusia sebagai mahluk sosial mengingat juga sebagai warga masyarakat ia mempunyai ciri warga yang baik (good citizenship atau kewarganegaraan yang sebaik-baiknya).
Sedangkan Esensial pendidikan berupa objek formal ilmu pendidikan dibatasi pada manusia seutuhnya di dalam fenomena atau situasi pendidikan. Didalam situasi sosial manusia itu sering berperilaku tidak utuh, hanya menjadi makhluk berperilaku individual dan/atau makhluk sosial yang berperilaku kolektif bila dilihat pada ruang lingkup pendidikan makro yang berskala besar mengingat adanya konteks sosio-budaya yang terstruktur oleh sistem nilai tertentu.
Akan tetapi pada ruang lingkup mikro, sistem nilai harus terwujud dalam hubungan inter dan antar pribadi yang menjadi syarat mutlak (conditio sine quanon) bagi terlaksananya mendidik dan mengajar, yaitu kegiatan pendidikan yang berskala mikro. Hal itu terjadi mengingat pihak pendidik yang berkepribadiaan sendiri secara utuh memperlakukan peserta didiknya secara terhormat sebagai pribadi pula, terlepas dari faktor umur, jenis kelamin ataupun pembawaanya. Jika pendidik tidak bersikap afektif utuh demikian maka menurut Gordon (1975: Ch. I) akan terjadi mata rantai yang hilang (the missing link) atas faktor hubungan peserta didik-pendidik atau antara siswa-guru. Dengan begitu pendidikan hanya akan terjadi secara kuantitatif sekalipun bersifat optimal, misalnya hasil THB summatif, NEM atau pemerataan pendidikan yang kurang mengajarkan demokrasi jadi kurang berdemokrasi. Sedangkan kualitas manusianya belum tentu utuh.


2. Dasar epistemologis ilmu pendidikan (Metode)
Dasar epistemologis yaitu cara ataumetode yang dipergunakandalam ilmu pendidikan diperlukan oleh pendidik atau pakar ilmu pendidikan demi mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab. Sekalipun pengumpulan data di lapangan sebagian dapat dilakukan oleh tenaga pemula namun telaah atas objek formal ilmu pendidikan memerlukaan pendekatan fenomenologis yang akan  menjalin studi empirik dengan studi kualitatif-fenomenologis. Pendekaatan fenomenologis itu bersifat kualitatif, artinya melibatkan individu sebagai instrumen pengumpul data secara pasca-positivisme. Karena itu penelaaah dan pengumpulan data diarahkan oleh pendidik atau ilmuwan sebagai pakar yang jujur dan menyatu dengan objeknya. Karena penelitian tertuju tidak hanya pemahaman dan pengertian (verstehen, Bodgan & Biklen, 1982) melainkan untuk mencapai kearifan (kebijaksanaan atau wisdom) tentang fenomena pendidikan maka validitas internal harus dijaga betul dalam berbagai bentuk penelitian dan penyelidikan seperti penelitian korelasi eksperimental, penelitian tindakan, penelitian etnografis dan penelitian ex post facto.
Inti dasar epistemologis ini adalah agar dapat ditentukan bahwa dalam menjelaskan objek formalnya, telaah ilmu pendidikan tidak hanya mengembangkan ilmu terapan melainkan menuju kepada telaah teori dan ilmu pendidikan sebagai ilmu otonom yang mempunyi objek formil sendiri atau problematika sendiri sekalipun tidak dapat hanya menggunakan pendekatan kuantitatif ataupun eksperimental (Campbell & Stanley, 1963).
Dengan demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara korespondensi, secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau pragmatis (Randall &Buchler,1942).
3. Dasar aksiologis ilmu pendidikan (manfaat)
Kemanfaatan teori pendidikan tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu nilai ilmu pendidikan tidak hanya bersifat intrinsik sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik dan ilmu untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktek melalui kontrol terhadap pengaruh yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam pendidikan. Dengan demikian ilmu pendidikan tidak bebas nilai mengingat hanya terdapat batas yang sangat tipis antar pekerjaan ilmu pendidikan dan tugas pendidik sebagi pedagok. Dalam hal ini relevan sekali untuk memperhatikan pendidikan sebagai bidang yang sarat nilai seperti dijelaskan oleh Phoenix (1966). Itu sebabnya pendidikan memerlukan teknologi pula tetapi pendidikan bukanlah bagian dari iptek. Namun harus diakui bahwa ilmu pendidikan belum jauh pertumbuhannya dibandingkan dengan kebanyakan ilmu sosial dan ilmu perilaku, utamanya di Indonesia.
Implikasinya ialah bahwa ilmupendidikan lebih dekat kepada ilmu prilaku kepada ilmu-ilmu sosial, dan harus menolak pendirian lain bahwa di dalam kesatuan ilmu-ilmu terdapat unifikasi satu-sayunyaa metode ilmiah (Karl Pearson,1990).
4.Dasar antropologis ilmu pendidikan
Pendidikan pada intinya mendidik dan mengajar ialah pertemuan antara pendidik sebagai subjek dan peserta didik sebagai subjek pula dimana terjadi pemberian bantuan kepada pihak yang belakangan dalam upayanya belajar mencapai kemandirian dalam batas-batas yang diberikan oleh dunia disekitarnya. Atas dasar pandangan filsafah yang bersifat dialogis ini maka 3 dasar antropologis berlaku universal tidak hanya (1) sosialitas dan (2) individualitas, melainkan juga (3) moralitas. Kiranya khusus untuk Indonesia apabila dunia pendidikan nasional didasarkan atas kebudayaan nasional yang menjadi konteks dari sistem pengajaran nasional disekolah, tentu akan diperlukan juga dasar antropologis pelengkap yaitu (4) religiusitas, yaitu pendidik dalam situasi pendidikan sekurang-kurangnya secara mikro berhamba kepada kepentingan terdidik sebagai bagian dari pengabdian lebih besar kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Kesimpulan
Landasan filosofis pendidikan memberi perspektif filosofis yang seyogyanya merupakan “kacamata” yang dikenakan dalam memandang, menyikapi serta melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu maka ia harus dibentuk bukan hanya mempelajari tentang filsafat, sejarah dan teori pendidikan, psikologi, sosiologi, antropologi atau disiplin ilmu lainnya, akan tetapi dengan memadukan konsep-konsep, prinsip-prinsip serta pendekatan-pendekatannya kepada kerangka konseptual kependidikan.
Dengan demikian maka landasan filosofis pendidikan harus tercermin didalam semua keputusan serta perbuatan pelaksanaan tugas- tugas keguruan, baik instruksional maupun non-instruksional, atau dengan pendekatan lain, semua keputusan serta perbuatan guru yang dimaksud harus bersifat pendidikan.
Akhirnya, sebagai pekerja professional guru dan tenaga kependidikan  harus memperoleh persiapan yang harus dilandasi oleh seperangkat asumsi filosofis yang pada hakikatnya merupakan penjabaran dari konsep yang lebih tepat daripada landasan ilmiah pendidikan dan ilmu pendidikan.


DAFTAR REFERENSI
Campbell & Stanley (1963) Experimental & Quasi-Experimental Design for Research. Chicago : Rand McNelly
Gordon, Thomas (1974) Teacher Effectiveness Training. NY: Peter h. Wydenpub
Henderson, SVP (1954) Introduction to Philosophy of Education.Chicago : Univ. of Chicago Press
Kemeny,JG, (l959),  A Philosopher Looks at Science, New Hersey, NJ: Yale Univ.Press
Ki Hajar Dewantara, (l950), Dasar-dasar Perguruan Taman Siswa, DIY:Majelis Luhur
Langeveld, MJ, (l955), Pedagogik Teoritis Sistematis (terjemahan), Bandung, Jemmars
Liem Tjong Tiat, (l968), Fisafat Pendidikan dan Pedagogik, Bandung, Jurusan FSP FIP IKIP Bandung
Suyitno,Y, (2009), Landasan Filosofis Pendidikan, Bandung, Fakultas Pendidikan UPI Bandung

Syam,Mohammad Noor.1986.Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila. Surabaya:Usaha Nasional

Tidak ada komentar:

Posting Komentar