LANDASAN FILOSOFIS DALAM PEDAGOGIK PENDIDIKAN
Sebelum kita bahas
masalah landasan Filosofis dalam pedagogik Pendidikan, perlu kita telaah
terlebih dahulu kompetensi pendidik
khususnya guru, Guru Berdasarkan Kompetensi dikembangkan bertolak dari
perangkat kompetensi yang merupakan syarat bagi pelaksanaan tugas-tugas
keguruan dan kependidikan yang telah ditetapkan dan berujung pada pelaksanaan
perangkat-perangkat kompetensi oleh guru setelah mengikuti sejumlah pengalaman
belajar.
Perangkat
kompetensi meliputi proses pencapaian yang dilandasi oleh asumsi-asumsi
filosofis, yaitu pertanyaan-pertanyaan yang dianggap benar, baik atas dasar
bukti-bukti empirik, dugaan-dugaan maupun nilai-nilai masyarakat berdasarkan
Pancasila. Asumsi-asumsi tersebut merupakan batu ujian di dalam menilai
perancangan dan implementasi program dari penyimpangan-penyimpangan pragmatis
ataupun dari serangan-serangan konseptual.
Pendidikan tidak lepas dari pendewasaan manusia. Dimana manusia
(anak) diharapkan menjadi pribadi yang memiliki norma serta pengetahuan agar
mampu menghadapi dunia yang senantiasa berubah. Disini kita akan membahas mengenai Pancasila sebagai landasan
filosofis dalam pendidikan.
Pancasila merupakan dasar bagi bangsa Indonesia dalam menata kehidupannya
termasuk di dalamnya menata pendidikan. Pancasila merupakan landasan pendidikan nasional sebagaimana
tercantuum dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 Bab 2 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional, yang bunyinya: Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Jadi pancasila merupakan salah satu
dasar pendidikan nasional di Indonesia. Pancasila juga sebagai dasar pengetahuan yang memiliki
nilai-nilai serta norma-norma yang telah diterima oleh masyarakat sebagai
bentuk kepribadian bangsa Indonesia.
1. Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sila pertama mengajarkan kita untuk percaya pada satu Tuhan. Dimana seorang umat
diajarkan untuk mengurus urusan agamanya masing-masing tanpa mencampuri urusan
agama orang lain. Dengan hanya memiliki satu Tuhan, kita sebagai seorang
pemeluk agama akan belajar mengenai bagaimana kita beribadah kepada Tuhan kita,
tentang sifat-sifat-NYA, dengan begitu kita mengetahui apa yang bersumber dari
Tuhan kita, sehingga arah tujuan kita akan lebih terarah dengan tetap
berpedoman kepada apa yang telah diajarkan menurut ajaran secara
dogmatis.
Dalam pendidikan
pancasila mengajarkan untuk melaksanakan pendidikan yang sesuai dengan petunjuk
dari Tuhan. Dimana suatu agama semuanya mengajarkan kebaikan. Semua manusia
memiliki pengetauan yang berasal dari Tuhannya. Karena manusia secara lahir
telah dianugerahi akal dan budi yang memungkinkan manusia berpengetahuan dan
membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya.Sila pertama pancasila tersebut
berperan dalam pendidikan yang menjelaskan bahwa Tuhan menurunkan wahyu kepada
manusia melalui utusanNya, sehingga wahyu tersebut menjadi suatu pengetahuan bagi
manusia. Manusia memperoleh kebenaran dan pengetahuan tersebut melalui wahyu
yang diberikan Tuhan kepada manusia. Pengetahuan tersebut dapat dijadikan
sebagai petunjuk dalam mendidik seseorang agar menjadi pribadi yang bertaqwa
kepada Tuhan-Nya.
Nilai yang
terkandung dalam sila pertama ini adalah bahwa Tuhan Maha Esa, Tuhan lah yang
paling berkuasa atas segala sesuatu yang ada di dunia ini, temasuk pendidikan.
Sila ini juga mendidik bangsa Indonesia agar taat dan patuh kepada Tuhan sesuai
dengan agama yang dianutnya.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
Sila kedua
ini berperan dalam
mengajarkan seorang guru bagaimana cara mendidik manusia dengan rasa
kemanusiaan. Mendidik manusia agar menjadi pribadi yang memiliki rasa kemanusiaan.
Mendidik dengan rasa kemanusiaan agar tidak hanya mementingkan diri sendiri, namun peduli
dengan orang lain. Karena manusia pada hakikatnya sejajar dengan manusia lain,
tak ada golongan yang lebih tinggi dan yang lebih rendah, yang membedakan hanyalah
ketaqwaannya kepada Tuhan. Dari sisi pengetahuan sila tersebut berperan dalam memperoleh pengetahuan yang berasal dari
diri sendiri yang berasal dari manusia itu sendiri. Seperti pengetahuan
mengenai gagasan-gagasan yang muncul saat perumusan pancasila, yang akhirya
menghasilkan pancasila seperti saat ini yang dapat digunakan sebagai dasar
dalam pendidikan. Hubungan sila kedua dengan pengetahuan ini adalah melalui
pemikiran yang berasal dari diri sendiri tersebut dapat memberi pengetahuan
pada manusia lain yang juga dapat menerima pengetahuan sehingga orang lain
tersebut dapat berpikir sendiri sesuai arahan yang telah ada.
3. Persatuan Indonesia
Dari sila ketiga
ini kita diajarkan
untuk bersatu walaupun kita berbeda agama, kebudayaan, ras, suku bangsa dan
sebagainya, namun kita tetap sama yaitu warga negara Indonesia yang berpedoman
pada pancasila. Walaupun kita berbeda, kita tak sama namun dengan adanya sumpah
pemuda, kita memiliki tumpah darah yang sama, bangsa yang sama, dan bahasa yang
sama sebagai pemersatu perbedaan diantara kita semua.
Dari segi
pendidikan sila tersebut berperan dalam cara pengajaran di sekolah.
4.
Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
Sila keempat
ini mengajarkan
kita untuk berdemokrasi, khususnya untuk bemusyawarah dengan menerima pendapat
orang lain. Dalam pendidikan sila ini menjadi acuan dalam pengambilan
keputusan. Melalui kesepakatan bersama yang akan menghasilkan mufakat bersama.
Seperti contohnya saat di kelas, ketika guru menugaskan muridnya untuk
berdemokrasi mengenai suatu permasalahan. Maka melalui tugas ini, anak sudah
mulai diajarkan untuk berdemokrasi dengan mengeluarkan pendapat dan menghargai
pendapat temannya.
Dari sisi
pengetahuan sila ini mengajarkan bahwa pengetahuan dapat diperoleh melalui
suatu demokrasi seperti yang makna tersurat dari sila tersebut yaitu sila
kerakyatan. Melalui demokrasi ini seseorang diajarkan untuk berpendapat dan
memperhatikan kesepakatan-kesepakatan yang telah diambil secara bersama.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia
Sila
kelima ini berperan
dalam suatu pendidikan. Dimana seorang pemimpin harus berlaku adil untuk
seluruh anggota dalam pendidikan. Tidak membeda-bedakan satu dengan yang lainnya. Dalam pendidikan
sila ini berperan dalam pengajaran seperti seorang guru tidak boleh membeda-bedakan muridnya.
Membeda-bedakan antara si kaya dan si miskin, si bodoh dan si pintar dan
sebagainnya. Seorang guru hendaklah bersikap sama kepada semua muridnya.
Dari segi
pengetahuan, sila ini mengajarkan bahwa pengetahuan harus diberikan secara adil
kepada orang lain. Tidak membeda-bedakan agar golongan yang belum mampu
menyerap ilmu pengetahuan tidak merasa dibeda-bedakan serta memiliki semangat
dalam belajar.
Secara keseluruhan sila-sila pancasila,
maka pancasila memiliki beberapa peranan dalam pendidikan, diantaranya adalah.
1.
Sebagai dasar dan
tujuan pendidikan
Pendidikan erat
kaitannya dengan nilai dan norma. Karena hakikat dari pendidikan itu sendiri
adalah memanusiakan manusia. Berdasarkan makna dari isi pancasila tersebut,
maka semua orang yang terlibat dalam pendidikan memiliki dasar untuk menentukan
tujuan, kurikulum, metode pembelajaran, dan sebagainya.
Pancasila sebagai
dasar dan tujuan pendidikan ini merupakan dasar pelaksanaan pendidikan nasional
Indonesia. Melalui pancasila pendikan akan berlangsung dengan arah dan tujuan menjadi lebih terarah. Tujuan pendidikan
di Indonesia yang sesuai pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu mencerdasakan
kehidupan bangsa. Namun cerdas tersebut bukan hanya cerdas dari segi
intelektual saja, namun juga cerdas akal budi pekerti sesuai dengan nilai-nilai
yang berlaku serta cerdas dalam bersikap. Pancasila berperan dalam menciptakan
rakyat Indonesia yang tidak hanya cerdas dalam segi intelektual saja, manun
melalui pancasila ini seseorang diajarkan mengenai nilai-nilai yang akan
membentuk kepribadian mereka sehingga mereka cerdas dalam bersikap. Dengan
adanya pancasila ini diharapkan mampu menciptakan pribadi yang taat kepada
Tuhannya, memilki rasa kemanusiaan, persatuan, kerakyatan serta mampu berlaku
adil kepada semua makhluk ciptaan Tuhan.
2. Sebagai dasar kurikulum
Tujuan pendidikan
yang hendak dicapai haruslah sesuai dengan kurikulum. Maka dalam pembentukan
kurikulum harus berdasarkan pancasila agar tujuan umum pendidikan nasional
Indonesia mampu tecapai. Berdasarkan pancasila tujuan pendidikan yang hendak
diinginkan oleh sekolah pun akan lebih terarah. Kurikulum ini menunjukkan segala hal yang akan dipelajari untuk
mencerdaskan kehidupan bangsanya, untuk itu pembentukan kurikulum disesuaikan
dengan tujuan nasional Indonesia agar tujuan pendidikan dapat tercapai
sebagaimana mestinya.
Mengapa kita perlu mempelajari
landasan filosofis bagi pendidikan, khususnya apabila ada pertanyaan rasional
yang seyogyanya tidak dapat dijawab oleh ilmu atau cabang ilmu-ilmu pendidikan.
Pakar dan praktisi pendidikan memandang filosofis pendidikan membahas konsep
dan praktik pendidikan secara komprehensif sebagai bagian yang sangat penting
dalam menentukan keberhasilan pendidikan. Pada era globalisasi dan modernisasi
yang melaju sangat pesat, pendidikan harus diberi inovasi agar dapat berkembang
dan memiliki arah tujuan yang jelas. Konstruksi filosofis diperlukan untuk melandasi teori dan praktek pendidikan agar
tercapai keberhasilan substantif. Seperti yang dikatakan Langeveld (1955)
Pedagogik mempergunakan pendekatan fenomenologis secara kualitatif dalam metode
penelitiannya: Pedagogik bersifat filosofis dan empiris. Berfikir filosofis
pada satu siti dan di pihak lain pengalaman dan penyelidikan empiris berjalan
bersama-sama. Pada dasarnya fenomenologi adalah suatu tradisi pengkajian yang
digunakan untuk mengeksplorasi pengalaman manusia. Seperti yang dikemukakan
oleh Littlejohn bahwa fenomenologi
adalah suatu tradisi untuk mengeksplorasi pengalaman manusia. Dalam konteks ini
ada asumsi bahwa manusia aktif memahami dunia disekelilingnya sebagai sebuah
pengalaman hidupnya dan aktif menginterpretasikan pengalaman tersebut.Asumsi
pokok fenomenologi adalah manusia secara aktif menginterpretasikan
pengalamannya dengan memberikan makna atas sesuatu yang dialaminya. Oleh karena
itu interpretasi merupakan proses aktif untuk memberikan makna atas sesuatu
yang dialami manusia. Dengan kata lain pemahaman adalah suatu tindakan kreatif,
yakni tindakan menuju pemaknaan.
Beberapa
teori yang berkaitan dengan landasan filosofis dalam pedagodik pendidikan
a. Teori
Kognitifisme atau teori Perkembangan Kognitif.
Teori Kognitifisme dikembangkan oleh Jean Piaget.
Piaget menegaskan bahwa pengetahuan bukanlah duplikat dari objek, dan bukan
pula sebagai tampilan kesadaran dari bentuk yang ada dengan sendirinya dalam
diri individu.
Menurut Hartley & Davies (1978), prinsip-prinsip kognitifisme banyak
diterapkan dalam dunia pendidikan khususnya dalam melaksanakan kegiatan
perancangan pembelajaran. Prinsip-prinsip tersebut adalah :
1.
Peserta didik akan lebih mampu mengingat dan memahami
sesuatu apabila pelajaran tersebut disusun berdasarkan pola dan logika
tertentu;
2.
Penyusunan materi pelajaran harus dari yang sederhana
ke yang rumit. Untuk dapat melakukan tugas dengan baik peserta didik harus
lebih tahu tugas-tugas yang bersifat lebih sederhana;
3.
Belajar dengan memahami lebih baik dari pada menghapal
tanpa pengertian. Sesuatu yang baru harus sesuai dengan apa yang telah
diketahui siswa sebelumnya. Tugas guru disini adalah menunjukkan hubungan apa
yang telah diketahui sebelumnya;
4.
Adanya perbedaan
individu pada siswa harus diperhatikan karena faktor ini sangat mempengaruhi proses
belajar siswa. Perbedaan ini meliputi kemampuan intelektual, kepribadian,
kebutuhan akan suskses dan lain-lain. (dalam Toeti Soekamto 1992:36)
b. Teori
Historis- Kultural ( Cultural Historical Theories )
Lev S. Vygotsky mengembang ini dengan
memusatkan perhatian pada penggunaan simbol sebagai alat, dengan dasar
pemikiran bahwa manusia menemukan alat yang telah mengantarkan kemajuan bagi
umat manusia. Sistem simbol yang dikembangkan adalah bahasa lisan dan tulisan,
sistem matematika, notasi music dan lainnya.Vigotsky mendasarkan teorinya pada
konsep bahwa aktivitas mental adalah sesuatu hal yang unik hanya pada
manusia. Simbol-simbol tersebut merupakan produk dari belajar sosial yaitu proses
penyadaran simbol- simbol sosial dan internalisasi kebudayaan dan hubungan sosial.
Vigostsky mengidentifikasi 3 konsep pokok
yang terkait dengan pembelajaran, yaitu :
1.
Hukum genetic perkembangan atau genetic law of
development. Menurut hukum ini pertumbuhan dan perkembangan kognitif
seseorang berlangsung dalam 2 tataran yaitu lingkungan sosial sebagai ranah
intermental atau interpsikologis dan suasana psikologis dalam diri seseorang
sebagai ranah intramental atau intrapsikologis.
2.
Zona perkembangan proksimal atau zone of proximal
development. Zona ini merupakan ruang antara perkembangan actual, artinya
nyata dan perkembangan potensial seseorang, yang ada di dalam diri atau late.
3.
Mediasi atau mediation. Mediasi merupakan
simbol- simbol seperti bahasa, lambang, semiotika yang ada dalam lingkungan.
Mediasi dibedakan menjadi 2 yaitu ; Mediasi kognitif dan Mediasi
meta kognitif.
c. Teori
Humanistik
Dalam artikel
“some educational implications of the Humanistic Psychologist” Abraham Maslow mengkritisi teori Freud dan behavioristik.
Menurut Abraham, yang terpenting dalam melihat manusia adalah potensi yang
dimilikinya. Humanistik lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian
manusia daripada berfokus pada “ketidaknormalan” atau “sakit” seperti yang
dilihat oleh teori psikoanalisa Freud. Pendekatan ini melihat kejadian setelah
“sakit” tersebut sembuh, yaitu bagaimana manusia membangun dirinya untuk
melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan bertindak positif ini yang disebut
sebagai potensi manusia dan para pendidik yang beraliran humanistik biasanya memfokuskan
pengajarannya pada pembangunan kemampuan positif ini.
Kemampuan positif
erat kaitannya dengan pengembangan emosi positif yang terdapat dalam domain
afektif, misalnya ketrampilan membangun dan menjaga relasi yang hangat dengan
orang lain, bagaimana mengajarkan kepercayaan, penerimaan, kesadaran, memahami
perasaan orang lain, kejujuran intrapersonal, dan pengetahuan interpersonal
lainnya. Intinya adalah meningkatkan kualitas ketrampilan interpersonal dalam
kehidupan sehari-hari.
Selain menitik beratkan
pada hubungan interpersonal, para pendidik yang beraliran humanistik juga
mencoba untuk membuat pembelajaran yang membantu anak didik untuk meningkatkan
kemampuan dalam membuat, berimajinasi, mempunyai pengalaman, berintuisi,
merasakan, dan berfantasi. Pendidik humanistik mencoba untuk melihat dalam
spektrum yang luas mengenai perilaku manusia.
Pendidikan humanistik adalah pendidikan
manusia secara utuh dan menyeluruh yang memusatkan perhatian pada proses
pendidikan yang memungkinkan peserta didik melakukan belajar menikmati
kehidupan atau mencapai kebutuhan lebih tinggi dalam pengertian kebutuhan akan
kehidupan yang optimal atau kemungkinan pertumbuhan yang positif. Karakteristik
pendidikan humanistik antara lain :
1.
Menjadikan peserta didik sebagai isi
2.
Mengenal bahwa imaginasi peserta didik seperti
dicerminkan dalam seni, impian, cerita dan fantasi.
3.
Memberikan perhatian khusus terhadap ekspresi
non-verbal
4.
Menggunakan permainan, improvisasi, dan bermain peran
sebagai wahana simulasi perilaku yang dapat dikaji dan diubah.
Tujuh aspek tujuan pendidikan humanistik meliputi :
a)
Perkembangan personal, contoh kematangan berbicara
b)
Perilaku kreatif yang mencakup kemurnian, kreativitas
imajinasi, interpretasi baru, makna baru
dan sejenisnya
c)
Kesadaran antar pribadi, contohnya setiap orang pasti
membutuhkan orang lain untuk berteman
d)
Orientasi terhadap mapel/ disiplin ilmu
e)
Materi seperti IPS, Matematika, dll
f)
Metode pembelajaran afektif, contohnya bermain peran.
Pandangan Ericson tentang Affective
development terdapat tahap perkembangan manusia yang sehat, yaitu 1)Tahap
bertahan hidup masa bayi; 2)Tahap pengokohan pada masa kanak- kanak;3)Tahap
sosiabilitas; 5)Tahap keahlian pada masa dewasa muda; 6) Tahap kematangan pada
masa dewasa
g)
Guru dan tenaga kependidikan lainnya
Dalam
mempelajari landasan Filosofis dalam pedagogic Pendidikan
perlu kita tinjau dasar filosofisnya yang terkait dalam arti dasar ontologis,
dasar epistemologis, dan aksiologis, dan dasar antropologis ilmu pendidikan.
1. Dasar ontologis ilmu pendidikan
(eksistensi & Esensi)
Dalam
landasan filosofis pendidikan diperlukan dasar ontologis yang berupa aspek
realitas dijangkau melalui pengalaman pancaindra ialah dunia pengalaman manusia
secara empiris. Secara eksistensi/keberadaan objek materiil ilmu pendidikan
ialah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap aspek-aspek kepribadiannya, yaitu
manusia yang berakhlak mulia dalam situasi pendidikan atau diharapkan manusia
sebagai mahluk sosial mengingat juga sebagai warga masyarakat ia mempunyai ciri
warga yang baik (good citizenship atau kewarganegaraan yang sebaik-baiknya).
Sedangkan
Esensial pendidikan berupa objek formal ilmu pendidikan dibatasi pada manusia
seutuhnya di dalam fenomena atau situasi pendidikan. Didalam situasi sosial
manusia itu sering berperilaku tidak utuh, hanya menjadi makhluk berperilaku
individual dan/atau makhluk sosial yang berperilaku kolektif bila dilihat pada
ruang lingkup pendidikan makro yang berskala besar mengingat adanya konteks
sosio-budaya yang terstruktur oleh sistem nilai tertentu.
Akan
tetapi pada ruang lingkup mikro, sistem nilai harus terwujud dalam hubungan
inter dan antar pribadi yang menjadi syarat mutlak (conditio sine quanon) bagi terlaksananya mendidik dan mengajar,
yaitu kegiatan pendidikan yang berskala mikro. Hal itu terjadi mengingat pihak
pendidik yang berkepribadiaan sendiri secara utuh memperlakukan peserta
didiknya secara terhormat sebagai pribadi pula, terlepas dari faktor umur,
jenis kelamin ataupun pembawaanya. Jika pendidik tidak bersikap afektif utuh
demikian maka menurut Gordon (1975: Ch. I) akan terjadi mata rantai yang hilang
(the missing link) atas faktor
hubungan peserta didik-pendidik atau antara siswa-guru. Dengan begitu
pendidikan hanya akan terjadi secara kuantitatif sekalipun bersifat optimal,
misalnya hasil THB summatif, NEM atau pemerataan pendidikan yang kurang
mengajarkan demokrasi jadi kurang berdemokrasi. Sedangkan kualitas manusianya
belum tentu utuh.
2. Dasar epistemologis ilmu pendidikan
(Metode)
Dasar
epistemologis yaitu cara ataumetode yang dipergunakandalam ilmu pendidikan
diperlukan oleh pendidik atau pakar ilmu pendidikan demi mengembangkan ilmunya
secara produktif dan bertanggung jawab. Sekalipun pengumpulan data di lapangan
sebagian dapat dilakukan oleh tenaga pemula namun telaah atas objek formal ilmu
pendidikan memerlukaan pendekatan fenomenologis yang akan menjalin studi
empirik dengan studi kualitatif-fenomenologis. Pendekaatan fenomenologis itu
bersifat kualitatif, artinya melibatkan individu sebagai instrumen pengumpul
data secara pasca-positivisme. Karena itu penelaaah dan pengumpulan data
diarahkan oleh pendidik atau ilmuwan sebagai pakar yang jujur dan menyatu
dengan objeknya. Karena penelitian tertuju tidak hanya pemahaman dan pengertian
(verstehen, Bodgan & Biklen, 1982) melainkan untuk mencapai kearifan
(kebijaksanaan atau wisdom) tentang
fenomena pendidikan maka validitas internal harus dijaga betul dalam berbagai
bentuk penelitian dan penyelidikan seperti penelitian korelasi eksperimental,
penelitian tindakan, penelitian etnografis dan penelitian ex post facto.
Inti
dasar epistemologis ini adalah agar dapat ditentukan bahwa dalam menjelaskan
objek formalnya, telaah ilmu pendidikan tidak hanya mengembangkan ilmu terapan
melainkan menuju kepada telaah teori dan ilmu pendidikan sebagai ilmu otonom
yang mempunyi objek formil sendiri atau problematika sendiri sekalipun tidak
dapat hanya menggunakan pendekatan kuantitatif ataupun eksperimental (Campbell
& Stanley, 1963).
Dengan
demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara korespondensi,
secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau pragmatis (Randall
&Buchler,1942).
3. Dasar aksiologis ilmu pendidikan (manfaat)
Kemanfaatan
teori pendidikan tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi juga
diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai
proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu nilai ilmu pendidikan
tidak hanya bersifat intrinsik sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan
juga nilai ekstrinsik dan ilmu untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak
dalam praktek melalui kontrol terhadap pengaruh yang negatif dan meningkatkan
pengaruh yang positif dalam pendidikan. Dengan demikian ilmu pendidikan tidak bebas
nilai mengingat hanya terdapat batas yang sangat tipis antar pekerjaan ilmu
pendidikan dan tugas pendidik sebagi pedagok. Dalam hal ini relevan sekali
untuk memperhatikan pendidikan sebagai bidang yang sarat nilai seperti
dijelaskan oleh Phoenix (1966). Itu sebabnya pendidikan memerlukan teknologi
pula tetapi pendidikan bukanlah bagian dari iptek. Namun harus diakui bahwa
ilmu pendidikan belum jauh pertumbuhannya dibandingkan dengan kebanyakan ilmu
sosial dan ilmu perilaku, utamanya di Indonesia.
Implikasinya
ialah bahwa ilmupendidikan lebih dekat kepada ilmu prilaku kepada ilmu-ilmu
sosial, dan harus menolak pendirian lain bahwa di dalam kesatuan ilmu-ilmu
terdapat unifikasi satu-sayunyaa metode ilmiah (Karl Pearson,1990).
4.Dasar antropologis ilmu pendidikan
Pendidikan
pada intinya mendidik dan mengajar ialah pertemuan antara pendidik sebagai
subjek dan peserta didik sebagai subjek pula dimana terjadi pemberian bantuan kepada
pihak yang belakangan dalam upayanya belajar mencapai kemandirian dalam batas-batas
yang diberikan oleh dunia disekitarnya. Atas dasar pandangan filsafah yang
bersifat dialogis ini maka 3 dasar antropologis berlaku universal tidak hanya
(1) sosialitas dan (2) individualitas, melainkan juga (3) moralitas. Kiranya
khusus untuk Indonesia apabila dunia pendidikan nasional didasarkan atas
kebudayaan nasional yang menjadi konteks dari sistem pengajaran nasional
disekolah, tentu akan diperlukan juga dasar antropologis pelengkap yaitu (4)
religiusitas, yaitu pendidik dalam situasi pendidikan sekurang-kurangnya secara
mikro berhamba kepada kepentingan terdidik sebagai bagian dari pengabdian lebih
besar kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Kesimpulan
Landasan filosofis
pendidikan memberi perspektif filosofis yang seyogyanya merupakan “kacamata” yang
dikenakan dalam memandang, menyikapi serta melaksanakan tugasnya. Oleh karena
itu maka ia harus dibentuk bukan hanya mempelajari tentang filsafat, sejarah
dan teori pendidikan, psikologi, sosiologi, antropologi atau disiplin ilmu
lainnya, akan tetapi dengan memadukan konsep-konsep, prinsip-prinsip serta
pendekatan-pendekatannya kepada kerangka konseptual kependidikan.
Dengan demikian maka
landasan filosofis pendidikan harus tercermin didalam semua keputusan serta
perbuatan pelaksanaan tugas- tugas keguruan, baik instruksional maupun
non-instruksional, atau dengan pendekatan lain, semua keputusan serta perbuatan
guru yang dimaksud harus bersifat pendidikan.
Akhirnya, sebagai
pekerja professional guru dan tenaga kependidikan harus memperoleh
persiapan yang harus dilandasi oleh seperangkat asumsi filosofis yang pada hakikatnya
merupakan penjabaran dari konsep yang lebih tepat daripada landasan ilmiah
pendidikan dan ilmu pendidikan.
DAFTAR REFERENSI
Campbell & Stanley (1963) Experimental
& Quasi-Experimental Design for Research. Chicago : Rand McNelly
Gordon, Thomas (1974) Teacher
Effectiveness Training. NY: Peter h. Wydenpub
Henderson, SVP (1954) Introduction
to Philosophy of Education.Chicago : Univ. of Chicago Press
Kemeny,JG, (l959), A
Philosopher Looks at Science, New Hersey, NJ: Yale Univ.Press
Ki Hajar Dewantara, (l950), Dasar-dasar
Perguruan Taman Siswa, DIY:Majelis Luhur
Langeveld, MJ, (l955), Pedagogik
Teoritis Sistematis (terjemahan), Bandung, Jemmars
Liem Tjong Tiat, (l968), Fisafat
Pendidikan dan Pedagogik, Bandung, Jurusan FSP FIP IKIP Bandung
Suyitno,Y, (2009), Landasan Filosofis Pendidikan, Bandung,
Fakultas Pendidikan UPI Bandung
Syam,Mohammad Noor.1986.Filsafat
Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila. Surabaya:Usaha Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar